• Opini
  • JEJAK PRAKTIK BAIK di BANDUNG #1: Mengokohkan Rumah Bersama

JEJAK PRAKTIK BAIK di BANDUNG #1: Mengokohkan Rumah Bersama

Laporan Setara Insitute menempatkan Jawa Barat sebagai provinsi intoleran. Bagaimana dengan Kota Bandung?

Ibn Ghifarie

Pegiat kajian agama dan media di Institute for Religion and Future Analysis (IRFANI) Bandung.

Umat Katolik menyalakan lilin di goa Maria di Gereja Katedral Santo Petrus, Bandung, Sabtu (25/12/2021). Pihak katedral memberlakukan pembatasan jemaat guna meminimalisir potensi penularan Covid-19. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

27 Maret 2022


BandungBergerak.id - Laporan Setara Insitute tahun 2020, menempatkan Tanah Pasundan sebagai kota intoleran. Pasalnya, Indeks Kota Toleran (IKT) di bumi Parahyangan ini berada pada urutan ke-74 dari 94 kota seluruh Indonesia, dengan skor 4,513. Bahkan pada tahun 2018, IKT Jawa Barat menempati posisi ke-69 (4,410).

Intoleransi memiliki kecendrungan bertahan dan semakin menguat dengan adanya katalisator sosio-kultural, seperti mobilisasi massa, politisasi identitas keagamaan, serta katalisator legal struktural seperti hukum positif dan peradilan. Tanpa upaya menyeluruh untuk mengatasi berbagai katalisator itu, supremasi intoleransi akan terus berlanjut dan semakin memburuk dari tahun ke tahun. Intoleransi seperti bibit kanker yang jika tidak diatasi hingga ke akarnya, ia akan terus menyebar semakin cepat.

Rendahnya tingkat toleransi di satu kota adalah akumulasi dari sikap dan perilaku intoleran sebagian warganya yang mendapat legitimasi dari sikap aparatusnya yang berpihak atau dari kebijakan yang tidak inklusif. Sebaliknya, tingginya toleransi di satu kota juga adalah hasil dari saling mendukungnya berbagai variabel tersebut, seperti adanya komitmen pemerintah yang kuat yang tercermin mulai dari kebijakan, pelaksanaan hingga dukungan terhadap budaya harmoni dan saling menghormati perbedaan dan hak-hak asasi di tengah warganya.

Umat Islam melaksanakan salat Idul Fitri 1442 H di Masjid Agung Bandung, Jawa Barat, Kamis (13/5/2021). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)
Umat Islam melaksanakan salat Idul Fitri 1442 H di Masjid Agung Bandung, Jawa Barat, Kamis (13/5/2021). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)
Indeks Kota Toleran, Praktik Toleransi Terbaik

Indeks Kota Toleran disusun dalam kerangka mengutamakan praktik-praktik toleransi terbaik kota-kota di Indonesia, dengan memeriksa seberapa besar kebebasan beragama, berkeyakinan dijamin, dilindungi melalui regulasi, tindakan, menyandingkannya dengan realitas perilaku sosial kemasyarakatan dalam tata kelola keberagaman kota, khususnya dalam isu agama, keyakinan.

Pengukurannya menggunakan paradigma negative rights, sesuai dengan karakter kebebasan beragama, berkeyakinan yang merupakan rumpun kebebasan sipil politik, yang diukur secara negatif.

Kehadiran Indeks Kota Toleran diharapkan dapat memeriksa tindakan positif pemerintah kota dalam mempromosikan toleransi, baik yang tertuang dalam kebijakan, pernyataan resmi, respons atas peristiwa, maupun membangun budaya toleransi di masyarakat.

Kota Bandung yang dinyatakan sebagai kota dengan tingkat kebijakan diskriminatif tertinggi didasarkan pada 2 kebijakan diskriminatif: Pertama, Perda Kota Bandung No. 23 tahun 2012 tentang Wajib Belajar Diniyah Taklimiyah; Kedua, Pergub Jabar No. 12 Thn. 2011 tentang Larangan Kegiatan Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Jawa Barat.

Perda tentang Diniyah Takmiliyah dianggap sebagai sebuah bentuk favoritisme agama dalam tubuh negara melalui pengaturannya di ruang publik.

Padahal urusan agama, keyakinan adalah kebebasan sipil yang diserahkan sepenuhnya kepada warga negara. Bagi kalangan penganjur agama, Diniyah Takmiliyah dianggap sebagai bagian dari tanggung jawab negara dalam memenuhi hak atas pendidikan (agama).

Alih-alih pengaturan yang kurang sosialisasi, di lapangan seringkali justru menimbulkan diskriminasi, baik langsung maupun tidak langsung. Tentunya, dalam konstruksi IKT, Setara Institute menempatkan jenis-jenis perda semacam ini sebagai perda yang berpotensi diskriminatif.

Ingat, toleransi merupakan salah satu variabel kunci dalam membina dan mewujudkan kerukunan dan inklusi sosial, serta membangun negara Pancasila yang bersendikan kemerdekaan beragama sebagaimana diafirmasi oleh Sila Pertama Pancasila dan dijamin oleh UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945, terutama Pasal 29 Ayat (2).

Pemerintah kota yang heterogenitas sosio-kulturalnya lebih tinggi dibandingkan kabupaten, merupakan kantung masyarakat (social enclaves) dituntut untuk memainkan peran positif sebagai representasi negara dalam wajahnya yang lebih spesifik dan partikular.

Dalam konteks itu dan memperingati Hari Toleransi Internasional yang diperingati setiap tanggal 16 November setiap tahun, SETARA Institute melakukan kajian dan indexing terhadap 94 kota di Indonesia dalam urusan promosi dan praktik toleransi.

Tujuan pengindeksan ini untuk mempromosikan kota-kota yang dianggap berhasil membangun dan mengembangkan toleransi di wilayahnya masing-masing, sehingga dapat menjadi pemicu bagi kota-kota lain untuk turut bergegas mengikuti, membangun dan mengembangkan toleransi di wilayahnya.

Dengan demikian, Kota Toleran dalam studi indexing ini adalah kota yang memiliki empat atribut. Pertama, pemerintah kota tersebut memiliki regulasi yang kondusif bagi praktik dan promosi toleransi, baik dalam bentuk perencanaan maupun pelaksanaan. Kedua, pernyataan dan tindakan aparatur pemerintah kota tersebut kondusif bagi praktik dan promosi toleransi.

Ketiga, di kota tersebut, tingkat peristiwa dan tindakan pelanggaran kebebasan beragama, berkeyakinan rendah atau tidak ada sama sekali. Keempat, kota tersebut menunjukkan upaya yang cukup dalam tata kelola keberagaman identitas keagamaan warganya (Ringkasan Eksekutif Indeks Kota Toleran 2020: 1-13 dan Indeks Kota Toleran 2020: 2-3, 6, 41-42).

Baca Juga: Binadamai di Tengah Pusaran Radikalisme
Harmoni Sunda dan Islam dalam Puisi Isra Miraj
Hikayat Tur Malam Imlek, Robohkan Prasangka dan Membangun Ruang Perjumpaan

Menepis Bandung sebagai Kota Intoleran

Upaya Pemerintah Kota Bandung bersama Forum Kerukunan Umat Beragama Kota Bandung (FKUB) menepis isu intoleransi antarumat beragama di Kota Bandung dengan cara menggelar Parade Bandung Rumah Bersama di Jalan Asia-Afrika, Kota Bandung, Sabtu 15 Februari 2020.

Parade Bandung Rumah Bersama diikuti 6.000 orang yang berasal dari sejumlah kelompok budaya, agama yang berbeda-beda, 5 kampung toleransi di Kota Bandung. Wali Kota Bandung Oded M Danial (almarhum) menegaskan bahwa Parade Bandung Rumah Bersama bukan merayakan hari raya sebuah agama, kebudayaan tertentu seperti Imlek, Cap Go Meh yang dirayakan masyarakat Tionghoa.

"Kita berkumpul di Jalan Asia Afrika ini saya tegaskan bukan merayakan satu kebudayaan atau merayakan suatu agama. Saya tegaskan Bandung adalah rumah bersama, rumah dari berbagai agama, suku, budaya, yang ada di Indonesia. Saya berharap acara ini bisa menepis penilaian sebagian kalangan bahwa Bandung Kota intoleran," kata Oded.

Oded membantah jika Kota Bandung merupakan salah satu daerah di provinsi Jawa Barat yang menyumbangkan kasus dan isu intoleransi. "Dulu pernah disampaikan Jawa Barat salah satu provinsi intoleran. Tapi saya pastikan bahwa Bandung adalah kota toleransi. Bandung adalah rumah bersama, Bandung rumah semua agama, semua suku," tegasnya.

Pemuka Agama Katolik, Romo Agustinus Sugiharto dari Gereja Santo Odelia mengaku sangat terkesan dengan kegiatan Parade Bandung Rumah Bersama. "Ini baru pertama kali dan kesan pribadi saya sangat luar biasa," jelasnya.

Romo Agustinus berharap kegiatan Parade Bandung Rumah Bersama bisa memperkuat silahturahmi antarumat beragama di Kota Bandung agar tidak terprovokasi isu-isu intoleransi yang terjadi di daerah lain. "Kami dari katolik uskup Bandung, mengimbau kepada umat agar tidak terprovokasi dengan apa saja (isu intoleransi) yang mungkin terjadi di luar Bandung," tandasnya (Kompas, 16 Februari 2020).

Ketua FKUB Kota Bandung Ahmad Suherman menyebutkan, mencintai perdamaian, kerukunan, persahabatan merupakan ciri-ciri bangsa beradab. Kerukunan antarumat beragama bukan berarti mencampuradukan ajaran (agama) masing-masing. Kerukunan berlandaskan sikap saling menghormati keyakinan masing-masing.

Parade Bandung Rumah Bersama menunjukkan bentuk perdamaian, kerukunan, persahabatan konkret di Kota Bandung. Parade ini menegaskan Kota Bandung sebagai tempat tinggal yang ramah bagi berbagai etnik, umat beragama yang menjalani kehidupan secara rukun di tengah keberagaman.

"Salah satu hari bersejarah. Kami berharap, parade memberi tambahan semangat bagi pesatuan, dan kesatuan bangsa. Sesi historical walk Forkopimda Kota Bandung beserta para pemuka agama dari Sayov Homann menuju Gedung Merdeka, dan parade mengingatkan akan kenangan derap langkah delegasi Konferensi Asia Afrika (pada 1955), dan kemunculan Dasa Sila Bandung sebagai upaya mewujudkan persatuan, dan kesatuan antarbangsa," ucapnya. (Pikiran Rakyat, 16 Februari 2020).

Menurut Radea Juli A Hambali ikhtiar mewujudkan rumah bersama dimulai dari mengakui, menghargai, menjunjung tinggi keragaman (sosial, budaya, agama) sebagai fakta alamiah yang tak bisa ditampik. Keragaman ini mesti menjadi modal bagi pemimpin Kota Bandung dalam penataan suatu ruang-ruang publik di tengah warganya yang memiliki persepsi dan kesadaran yang majemuk.

Pemimpin harus memberikan contoh dalam kemajemukan, kehadiran yang lain (yang berbeda) baik dalam nilai maupun ideologi (keyakinan) tidak dipersepsi sebagai bahaya laten yang mengancam keutuhan dan persatuan. Di tangan pemimpin yang berkualitas inilah kehadiran yang lain (berbeda) menjadi media pembelajaran untuk memperkaya konsepsi diri yang pada kenyataannya selalu dalam proses menjadi.

Bila terjadi perbedaan pandangan dalam menyikapi kehadiran yang lain (yang berbeda), maka pemimpin di Kota Bandung diharapkan menjadi ujung tombak dalam membuka dialog dan komunikasi yang tulus dan bermartabat. Dengan demikian, penggunaan tindakan yang melanggar prinsip-prinsip dasar kemanusiaan akan diletakkan sebagai cara-cara yang tidak dibenarkan dan melukai hati nurani (Kompas, 1 Agustus 2008, 8 Desember 2016 dan 29 Januari 2017).

Keberagaman dari segala aspek sosial yang menjadi kekayaan serta kebanggan bangsa Indonesia.  Ternyata menjadi sebuah tantangan besar untuk terus memupuk sikap tolerasi terhadap keberagaman itu sendiri.

Padahal sangat dibutuhkan sikap toleransi yang tinggi untuk mewujudkan keharmonisan, kerukunan, dan kedamaian dalam menyikapi keberagaman yang sangat kompleks seperti di Indonesia. Sikap toleransi yang tinggi dapat mencegah munculya tindakan-tindakan intoleransi yang dapat dikaitkan dengan penyebab berbagai tindakan anarkisme, diskriminasi, perpecahan, dan munculnya gerakan radikalisme di Indonesia.

Tindakan-tindakan anarkis dan radikal akibat rendahnya sikap tolerasi. Tentunya tidak selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan, semboyan "Bhineka Tunggal Ika", dan nilai-nilai agama apa pun termasuk Islam. Meskipun Islam sebagai agama yang memiliki pemeluk terbesar di Indonesia sering dikaitkan dengan masalah-masalah akibat berkembangnya sikap intoleransi (Dzikrina Dian Cahyani, 2020:1-2).

Ikhtiar mewujudkan Kota Bandung yang harmoni, aman, dan damai dengan berusaha menyejukkan dan membawa kebahagiaan bagi bersama, terlebih ciri-ciri bangsa yang beradab itu mereka yang mencintai persahabatan, kerukunan, perdamaian dan hidup berdampingan yang menjunjung tinggi nilai-nilai keragaman, menghargai segala perbedaan.

Rupanya pada Parade Bandung Rumah Bersama yang ditandatangani oleh Wali Kota Bandung, Oded M Danial, Tedy Rusmawan (Ketua DPRD Kota Bandung), Kolonel Infantri M. Herry Subagyo (Dandim 0618/BS Kota Bandung), Kombes Pol. Irman Sugema (Kapolrestabes Kota Bandung), Nurizal Nurdin (Kajari Kota Bandung), Edson Muhammad (Ketua PN Kota Bandung), KH. Miftah Faridl (Ketua MUI Kota Bandung), Ahmad Suherman ( FKUB Kota Bandung), Yusuf Umar (Kepala Kemenag Kota Bandung), Ferdi Ligaswara (Kepala Badan Kesbangpol Kota Bandung).

Pembacaan Deklarasi Bandung Rumah Bersama yang berisi delapan kekuatan ini diharapkan dapat menepis anggapan sebagai Kota Intoleran dan mengokohkan persaudaraan lintas Iman di Tatar Sunda, seperti dilansir Humas Kota Bandung.

Pertama, bertekad setia dan menjunjung tinggi tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945

Kedua, bertekad mendukung Pemerintah Kota Bandung dalam rangka menciptakan situasi kondusif penuh kedamaian demi terwujudnya Kota Bandung yang unggul, nyaman, sejahtera, dan agamis

Ketiga, bertekad menjaga kerukunan hidup umat beragama dilandasi semangat toleransi, persaudaraan, persatuan, dan kesatuan dalam upaya melindungi bangsa dari pengaruh paham-aham yang bertentangan dengan prinsip-prinsip persatuan Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika

Keempat, secara aktif dan penuh kesadaran bertekad menjadikan Kota Bandung sebagai "Rumah Bersama"

Kelima, bertekad untuk senantiasa memelihara dan merawat Tri Kerukunan Umat Beragama (Rukun Intern Umat Beragama, Rukun Antar Umat Beragama, dan Rukun Antar Umat Beragama dengan Pemerintah).

Keenam, bertekad untuk senantiasa memelihara adanya perbedaan Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan (SARA) sebagai realitas dan fakta nyata akan keragaman Keluarga Besar Kota Bandung.

Ketujuh, menolak segala bentuk penyebaran berita bohong atau hoax, ujaran kebencian yang berpotensi menimbulkan konflik, menciderai kerukunan hidup umat beragama.

Kedelapan, bertekad untuk menciptakan kondisi Kota Bandung sebagai Masyarakat Madani (Civil Society) yaitu masyarakat berperadaban menjungjung tinggi etika, moralitas, dan toleransi.

Bagi Ketua DPRD Kota Bandung, Tedy Rusmawan mengatakan, pembacaan deklarasi di Gedung Merdeka menjadi momentum untuk semakin mengokohkan persatuan di Kota Bandung.

"Kota Bandung adalah miniatur Indonesia, seluruh agama, suku hadir di sini. Dengan semangat persatuan Indonesia dan roh Bhineka Tunggal Ika, mari kita wujudkan dan kokohkan semangat merapatkan barisan untuk mewujudkan Bandung Juara," pungkasnya.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//