Jawa Barat Terus Bergelut dengan Masalah Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan
Setara Institute merilis dalam 14 tahun terakhir Jawa Barat menempati posisi teratas dengan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan terbanyak.
Penulis Iman Herdiana19 Februari 2022
BandungBergerak.id - Sebagai negara yang bhineka, Indonesia memiliki pekerjaan rumah serius di bidang kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB). Laporan Setara Institute menunjukkan kasus pelanggaran KBB masih ada. Laporan tahunan ini juga menempatkan Jawa Barat sebagai provinsi dengan kasus KBB tertinggi dalam 14 tahun berturut-turut.
Secara keseluruhan, pada tahun 2021, kumpulan data Setara Institute menunjukkan ada penurunan jumlah pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Dibandingkan dengan tahun 2020, di mana terdapat 180 peristiwa pelanggaran dan 424 tindakan pelanggaran, dan pada tahun 2021 tercatat ada 171 peristiwa pelanggaran dan 318 tindakan pelanggaran.
Syera Anggreini Buntara, peneliti Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Setara Institute, memaparkan penurunan jumlah peristiwa dan tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan antara 2020 dan 2021 mungkin tidak dapat sepenuhnya mengindikasikan kemajuan dalam kebebasan beragama dan berkeyakinan.
“Dari data tersebut, dapat dipahami bahwa jumlah peristiwa pelanggaran yang sekurang-kurangnya terjadi di tahun 2020 dan 2021 tidak jauh berbeda; serta ada kemungkinan jumlah tindakan pelanggaran mengalami penurunan dari tahun 2020 ke 2021,” jelas Syera Anggreini Buntara, mengutip laporan tahunan Setara Institute yang diakses Sabtu (19/2/2022).
Dari data kebebasan beragama dan berkeyakinan tahun 2021, diketahui bahwa tiga isu pelanggaran KBB yang dominan dilakukan oleh aktor negara adalah: diskriminasi (25 kasus), kebijakan diskriminatif (18 kasus), pentersangkaan penodaan agama (8 kasus). Sementara, enam isu pelanggaran KBB yang dominan dilakukan oleh aktor nonnegara adalah intoleransi (62 tindakan), ujaran kebencian (27 kasus), penolakan pendirian tempat ibadah (20 kasus), pelaporan penodaan agama (15 kasus), penolakan kegiatan (13 kasus), penyerangan (12 kasus), perusakan tempat ibadah (10 kasus).
Tren tersebut masih serupa dengan data KBB Setara Institute tahun 2020 di mana pelarangan kegiatan, gangguan rumah ibadah, dan tuduhan penodaan agama merupakan tiga isu dominan. Di tahun 2021, pelanggaran KBB oleh aktor negara paling banyak dilakukan oleh kepolisian (16 tindakan) dan pemerintah daerah (15 tindakan). Pelanggaran KBB oleh aktor non-negara paling banyak dilakukan oleh kelompok warga (57 tindakan), individu (44 tindakan), dan organisasi masyarakat/ormas (22 tindakan).
Adapun ormas yang paling banyak melakukan pelanggaran KBB adalah MUI dengan 8 tindakan pelanggaran. Tiga di antaranya adalah penyesatan, yaitu menyatakan suatu aliran sebagai sesat dan menyesatkan, yang berimplikasi pada hilangnya hak untuk menganut kepercayaan sesuai nurani karena diberikan pembinaan maupun hilangnya hak menyebarkan suatu ajaran yang telah dianggap sesat oleh MUI.
Baca Juga: Mengapa Pegiat HAM tidak Setuju Pelaku Kejahatan Seksual Dihukum Mati?
Koalisi Masyarakat Penutur Bahasa Sunda: Pernyataan Arteria Dahlan Mencederai Kebebasan Berekspresi
Komnas HAM Beberkan Potret Kekerasan Negara terhadap Rakyatnya dalam Kurun 2020-2021
Jawa Barat dengan Kasus Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Tertinggi
Jika ditinjau dari provinsi dengan kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan terbanyak pada tahun 2021, Jawa Barat menempati posisi pertama dengan 40 kasus. Lalu, disusul oleh DKI Jakarta (26 kasus), Jawa Timur (15 kasus), Kalimantan Barat (14 kasus), Sumatera Utara (11 kasus).
Data Setara Institute tersebut menegaskan dalam 14 tahun terakhir, sejak 2008, Provinsi Jawa Barat secara konsisten menempati posisi teratas sebagai provinsi dengan pelanggaran KBB terbanyak. Adapun DKI Jakarta dan Jawa Timur pada umumnya sering menempati lima teratas (top 5) dengan pelanggaran terbanyak sejak 2007, meski ada beberapa tahun di mana dua provinsi ini ada di luar top 5 dan termasuk dalam top 10.
Meski Jawa Barat selalu berada di urutan tertinggi sebagai provinsi paling intoleran terkait KBB, namun aktivis Jaringan Kerja Antar Umat Beragama (Jakatarub) Wawan Gunawan melihat ada peningkatan praktik-praktik toleransi dan perdamaian. Gerakan ini tumbuh subur di Jawa Barat terutama di masyarakat sipil.
“Praktik baik di Jawa Barat terus bertambah terutama di gerakan masyarkat sipil. Sekarang banyak komunitas-komunitas yang konsens pada isu toleransi dan perdamaian ini,” kata Wawan Gunawan, saat dihubungi BandungBergerak.id, Jumat (18/2/2022) malam.
Kelompok-kelompok properdamaian di Jawa Barat tersebut misalnya Peace Generation Bandung, Sekolah Damai Indonesia (Sekodi), Pemuda Lintas Iman (Pelita) Cirebon, (Gerakan Pemuda untuk Inklusi Cimahi (Gradasi), dan sebagainya.
Wawan juga melihat banyaknya organisasi atau lembaga di Jawa Barat yang mulai menggarap isu kebebasan beragama dan berkeyakinan, yang tadinya mereka tidak melirik isu KBB ini. “Artinya kelompok yang mengerjakan isu ini semakin banyak dan ini kemajuan,” tandas Wawan.
Dari sisi pemerintah, Wawan juga mencatat beberapa kemajuan. Di level nasional, sudah mulai terjadi pengarusutamaan toleransi dan perdamaian. Contohnya mengenai adanya SKB 11 menteri tentang mengikis radikalisme di kalangan ASN. Kemudian pembubaran HTI dan rencana pembubaran FPI, walaupun menjadi perdebatan di kalangan pegiat HAM, namun Wawan melihat langkah ini sebagai bagian dari pengarusutamaan isu toleransi.
Di level daerah, Wawan juga merasakan ada komunikasi cukup intens terkait isu toleransi ini selama tiga tahun belakangan. Hal ini belum pernah ia rasakan sebelumnya selama bergiat sebagai aktivis Jakatarub.
“Dalam dua tiga tahun terakhir komunikasi dengan birokrasi pemerintah meningkat. Jadi dari praktik baik itu ada sedikit perubahan,” katanya.
Kendati demikian, di antara praktik-praktik baik tersebut masih menyisakan pekerjaan rumah yang cukup serius. Wawan memaparkan, masih ada kelompok rentan atau minoritas yang perlu dirangkul dan dilindungi, yaitu Jemaat Ahmadiyah, Syiah, penganut kepercayaan, komunitas Tionghoa.
Menurut Wawan, kelompok-kelompok tersebut rentan mengalami diskriminasi, intoleransi, persekusi, dan sebagainya. Selain itu, praktik penutupan rumah ibadah dan penolakan ibadah masih kerap terjadi di Jawa Barat.
“Ada PR yang belum terselesaikan. Inklusi sosial belum total karena belum melibatkan kelompok rentan tadi,” katanya.
Pemerintah Harus Berani Merangkul Kelompok Rentan
Indonesia lahir sebagai negara bhineka dengan beragam suku bangsa, etnis, dan agama. Sehingga menjunjung tinggi keberagaman, bukan keseragaman, menjadi syarat keutuhan negeri ini. Semangat ini pula yang mestinya dilakukan kepada kelompok-kelompok rentan seperti warga Ahmadiyah, Syiah, dan penghayat kepercayaan.
“Perlu akselerasi, sering kali kita bilang masyarakat takut belum siap. Tapi mau gimana lagi. Ahmadiyah dan Syiah, misalnya, mereka sudah ada sebelum Indonesia merdeka,” kata Wawan.
Dalam hal ini, kata Wawan, pemerintah sebagai pemegang otoritas menjadi kunci dalam melakukan akselerasi terhadap kelompok-kelompok rentan. Di saat gerakan perdamaian di masyarakat sipil menguat, ketegasan pemerintah dalam membela kelompok rentan dari praktik diskriminasi dan intoleran semakin diperlukan.
Peran Pucuk Pimpinan
Pengarusutamaan isu kebebasan beragama dan berkeyakinan tidak cukup hanya terjadi di level pusat. Upaya ini harus terjadi pula di level-level pimpinan daerah, misalnya gubernur, wali kota, dan bupati. Namun sejauh ini Wawan tidak melihat peran pucuk pimpinan di Jawa Barat yang siap pasang badan mengawal isu KBB.
Selama ini, komunikasi terkait isu KBB baru sebatas dengan birokrat, khususnya Kesbangpolinmas, belum ke tingkat pucuk pimpinan daerah. Padahal peran pucuk pimpinan daerah ini amat penting dalam menciptakan kerukunan antarumat beragama.
“Karena dia (kepala daerah) yang mengendalikan daerah. Termasuk soal memberikan izin mendirikan rumah ibadah dan perizinan acara ibadah itu kan kewenangan kepala daerah. Berani tidak pemerintah daerahnya pasang badan,” katanya.
Masalahnya, setiap kepala daerah memiliki “aliran politik” masing-masing. Kepala daerah berbeda dengan Kebangpolinmas yang langsung di bawah arahan Kementerian Dalam Negeri. Sementara kepala daerah merupakan pimpinan politik.
Sebagai contoh, kata Wawan, baru-baru ini Jakatarub kedatangan tamu dari Forum Kerukunan Antarumat Beragama (FKUB) Jawa Tengah. Ternyata FKUB Jawa Tengah sudah melibatkan Jemaat Ahmadiyah dan penghayat kepercayaan. Menurut Wawan, pelibatan kelompok rentan ini tidak lepas dari peran pimpinan kepala daerah Jawa Tengah.
Kembali ke Jawa Barat, Wawan belum melihat ada kemungkinan atau peluang pelibatan kelompok rentan ke FKUB Jawa Barat. “Di Jabar kan ga mungkin terjadi. Susah kalau Ahmadiyah dan penghayat ikut FKUB. Karena di Jabar ga ada goodwill dari pimpinannya. Jabar juga kalau ada goodwill pimpinan daerahnya akan jauh lebih efektif (terkait KBB),” katanya.
Jadi, PR kebebasan beragama dan berkeyakinan di Jawa Barat masih panjang selama kepala daerahnya belum menyadari bahwa dia bekerja untuk semua umat dan kelompok, bukan untuk umat tertentu saja.
“Menurut saya ini masalah kesadaran. Bahwa kepala daerah adalah untuk (melindungi) semua agama dan kelompok rentan yang sering dijadikan korban,” terangnya.