Koalisi Masyarakat Sipil Kecam Penyegelan Pembangunan Masjid Ahmadiyah di Kampung Nyalindung Garut
Kini, masjid yang akan mereka dirikan telah disegel Satpol PP Kabupaten Garut, di tengah persiapan jemaat ibadah Ramadan dan bersiap menyambut Hari Raya Idul Fitri.
Penulis Iman Herdiana8 Mei 2021
BandungBergerak.id - Kebebasan berkeyakinan dan beragama terusik, menyusul terbitnya Surat Edaran Bupati Garut Nomor 451.1/1605/Bakesbangpol tentang Pelarangan Aktivitas Penganut Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Penghentian Kegiatan Pembangunan Tempat Ibadah JAI di Kampung Nyalindung, Kecamatan Cilawu, Kabupaten Garut, tanggal 6 Mei 2021.
Padahal, warga JAI di Kampung Nyalindung telah lama memeluk ajaran Ahmadiyah, yaitu sejak tahun 1970. Mereka hidup berdampingan dengan damai bersama warga lainnya. Sebelum terbitnya surat edaran tersebut, sejumlah warga JAI di Kampung Nyalindung biasa melaksanakan ibadah di rumah salah satu anggota. Karena kebutuhan mendesak terkait sarana prasarana tempat ibadah, mereka berinisiatif membangun masjid dengan ukuran 10×10 meter di Kampung Nyalindung, RT/RW 02/01, pada 19 Oktober 2020.
Kini, masjid yang akan mereka dirikan telah disegel Satpol PP Kabupaten Garut, di tengah persiapan jemaat ibadah Ramadan dan bersiap menyambut Hari Raya Idul Fitri 1442/2021.
“Kondisi terakhir setelah penyegelan, masjid tidak bisa lagi digunakan, warga JAI beribadah di rumah masing-masing,” kata Direktur LBH Bandung, Lasma Natalia, saat dihubungi BandungBergerak.id, Sabtu (8/5/2021) malam.
Sebelum penyegelan, warga JAI Kampung Nyalindung sempat didatangi ormas, selanjutnya menggelar rapat dengan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkominda) Kabupaten Garut.
“Sebelumya kegiatan beribadat JAI di sana baik-baik saja. Warga hidup damai berdampingan. Ini adalah kejadian penyegelan pertama bagi JAI Nyalindung,” katanya.
LBH Bandung yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil kemudian menyampaikan pernyataan bersama. Koalisi menyatakan, Surat Edaran Bupati Garut tersebut mengandung nilai-nilai diskriminnasi terhadap kelompok JAI. Salah satu poinnya, memaksa untuk memberhentikan pembangunan masjid di Kampung Nyalindung dengan dalih pelarangan kegiatan JAI.
Koalisi menilai, kebijakan melalui surat edaran itu telah mencederai nilai-nilai toleransi di tengah khidmatnya bulan Ramadan dan menjelang lebaran 2021. Selain itu, Koalisi menyatakan, penyegelan tersebut menunjukkan bahwa negara masih menjadi penghalang terhadap penghormatan hak kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Padahal, Konstitusi melalui UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan beribadah menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali. Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat (Pasal 28 E ayat (1), (2), (3), UUD 1945).
Selain itu, negara semestinya hadir dalam wujud penghormatan bagi siapa pun yang akan melakukan kegiatan ibadah keagamaan, sebagaimana dalam Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Sebagai turunannya, yakni Pasal 22 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, menyatakan bahwa (1) setiap orang bebas memeuk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Sehingga adanya Surat Edaran Bupati Garut menambah perlakuan negara yang diskriminasi terhadap kelompok agama tertentu. Selain mencederai hak asasi manusia, Bupati Garut beserta Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kabupaten Garut telah keluar dari koridor kewenangannya, mengingat urusan agama sepenuhnya adalah kewenangan pemerintah pusat, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 10 ayat (1) UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Koalisi Masyarakat Sipil pun menyatakan, mengecam tindakan Bupati Garut Rudy Gunawan yang menghalangi kebebasan beribadah Jemaat Ahmadiyah lewat Surat Edaran tentang Pelarangan Aktivitas Penganut Jemaat Ahmadiyah Indonesia dan Penghentian Kegiatan Pembangunan Tempat Ibadah Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Kampung Nyalindung, Kecamatan Cilawu, Kabupaten Garut;
Koalisi mendesak segera mencabut Surat Edaran Bupati Garut Nomor 451.1/1605/Bakesbangpol tersebut; koalisi menuntut perlindungan kepada seluruh masyarakat Kabupaten Garut khususnya kelompok JAI Kampung Nyalindung agar dapat melaksanakan kegiatan beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya tanpa tindakan diskriminasi.
Koalisi meminta kepada pemerintah Kabupaten Garut untuk memberikan jaminan kebebasan setiap warga negara untuk menjalankan ibadah yang telah diatur dalam konstitusi pasal 28 E dan pasal 29 ayat 2 UUD 45.
Akar Kasus Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Belum Selesai
Lasma Natalia mengatakan, kasus intoleransi terhadap kebebasan berkeyakinan dan beragama (KBB) sejak dua tahun terakhir memang terkesan sepi. Kasus penyegelan masjid JAI Nyalindung sebagai kasus KBB pertama yang ditangani LBH Bandung pada 2021 ini.
“Tahun ini dan kemarin-kemarin kasus KBB memang tak terlihat. Tetapi bukan berarti kasusnya tidak ada,” terang Lasma.
Dengan kata lain, ketiadaan kasus bukan berarti kondisi KBB di Jawa Barat membaik. Sebab, karakter kasus KBB biasanya terkait akar persoalan lama yang belum selesai dan suatu waktu dapat bangkit kembali atau mencuat.
“Kasus KBB akarnya tidak pernah diselesaikan oleh pemerintah. Dalam beberapa tahun seperti tak ada masalah. Tapi tiba-tiba seperti ini (penyegelan masjid JAI Nyalindung). Ke depan kasus KBB masih bisa meningkat, karena akarnya masih ada,” terangnya.
Pada tahun 2020, LBH Bandung mencatat ada 1 kasus terkait KBB, yakni soal penghalangan pembangunan makam Sunda Wiwitan di Kuningan, Jawa Barat. Namun kasus ini ditangani lembaha lain, LBH Bandung hanya melakukan pemantauan.
Tahun 2019, LBH Bandung menangani 29 kasus sipil dan politik, 7 di antaranya terkait KBB. Lalu tahun 2018, LBH menangani 15 kasus KBB, terdiri dari legalisasi pendirian Gereja Kristen Oikumene (GKO), pendirian rumah ibadah JAI Cianjur, penghalangan ibadah penganut Syiah di Bandung, penghalangan ibadah Jalsah JAI di Kota Bandung.
Kemudian tahun 2017, di antaranya, intimidasi kegiatan kebaktian kebangunan rohani (KKR) di Sasana Budaya Ganesha, munculnya peraturan pernikahan diskriminatif di wilayah Manis Lor, Indramayu, yang berlaku bagi jemaat Ahmadiyah; rencana unjuk rasa ormas di lokasi gereja di kawasan desa Sindang Layang Kabupaten Cianjur; penyegelan masjid JAI Depok oleh Pemkot Depok.
Salah satu akar persoalan yang menimpa warga JAI adalah Peraturan Gubernur Jawa Barat No. 12 Tahun 2011 tentang Larangan Kegiatan JAI di Jawa Barat. LBH Bandung memandang peraturan sangat diskriminatif diikuti oleh peraturan serupa di kota/kabupaten lainnya di Jawa Barat, seperti di Kota Bogor, Depok, dan Banjar.
Gambaran peristiwa KBB di atas adalah potret bahwa negara sebagai pelaku dominan terhadap pelanggaran hak beragama, baik dari sisi peraturan perundang-undangan maupun kebijakan di berbagai level pemerintahan.
Perlu diketahui, Koalisi Masyarakat Sipil yang mengecam penyegelan Masjid JAI Nyalindung terdiri dari LBH Bandung, PC PMII Kabupaten Garut, Forum Bhinneka Tunggal Ika, YLBHI, Jakatarub, LBH Padang, LBH Pekanbaru, LBH Semarang, LBH Yogyakarta, LBH Manado, LBH Palangka Raya, LBH Samarinda, Yayasan Lembaga Studi Sosial dan Agama (ELSA), Paritas Institute, LBH Bali, LBH Banda Aceh, LBH Makassar;
LBH Surabaya, LBH Medan, LBH Jakarta, LBH Palembang, Satu Lentera Indonesia, Sobat KBB, Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK), SAPA Institute, Lakpesdam Tasik, LBH Ansor Jawa Barat, Gusdurian, Inisiatif Sosial untuk Kesehatan Masyarakat (SAFETY), PARALEGAL JABAR, DROUPADI, Task Force Jawa Barat, Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI), Konfederasi Serikat Nasional (KSN);
Federasi Serikat Buruh Karya Utama (FSBKU), Lingkar Studi Advokat, Gerakan Indonesia Kita (Gita) Kabupaten Garut, BEM SI, BEM se-UNNES, BEM Se-Semarang, GUSDURian Semarang, GUSDURian UNNES, dan individu (Selviana Yolanda, Pdt. Kongkin Atmodjo, Pdt Palti H Panjaitan, Kadus Firbud).