• Opini
  • Hikayat Tur Malam Imlek, Robohkan Prasangka dan Membangun Ruang Perjumpaan

Hikayat Tur Malam Imlek, Robohkan Prasangka dan Membangun Ruang Perjumpaan

Imlek mengandung makna kepedulian sosial. Pergantian tahun baru ini menegaskan bahwa Indonesia negeri yang bhineka.

Ibn Ghifarie

Pegiat kajian agama dan media di Institute for Religion and Future Analysis (IRFANI) Bandung.

Umat Konghucu membersihkan altar sembahyang dan patung-patung dewa di vihara Darma Ramsi, Bandung, Rabu (26/1/2022). Jelang Imlek 2022, umat di vihara mulai melakukan persiapan dan pembersihan altar-altar sembahyang dan patung-patung dewa. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

31 Januari 2022


BandungBergerak.idBila malam hari menjelang tahun baru Imlek tiba, niscaya tiap pribadi warga Tionghoa bersembahyang ke hadirat Tuhan, secara jujur melakukan pengakuan dan introspeksi atas kesalahan yang dibuat selama setahun.

Seminggu sesudah tahun baru, malam harinya digunakan untuk Sembahyang Besar, sambil berprasetia untuk berbuat kebajikan sepanjang tahun. Seminggu sebelum jatuhnya tahun baru Imlek, tanggal 24 bulan 12, digunakan untuk menyantuni mereka yang kurang beruntung, disebut Hari Persaudaraan. Dengan demikian Imlek mempunyai makna kepedulian sosial.

Gegap gempita perayaan Imlek dengan pernak-pernik lampion, saling berbagi dodol dan ampao, tarian naga (liong), gotong toapekong tidak terjebak menjadi ajang pesta pora, hura-hura awal tahun.

Merawat Rasa Ingin Tahu

Namun, ada yang unik dan menarik saat malam Imlek. Bila kita sedang asyik bepergian ke kawasan Pecinan Bandung, di sepanjang Jalan Cibadak, Jalan Kelenteng, kita disuguhi kuatnya pengaruh budaya Tionghoa dengan berdiri kokoh bangunan Klenteng Besar Bandung, Vihara Satya Budhi (Xie Tian Gong, Hiap Thian Kong), Vihara Samudra Bhakti, dan Vihara Buddhagaya.

Suasana (malam) Imlek di Kota Bandung dijadikan momentum yang tepat untuk merobohkan tembok prasangka, sekat antaretnis, agama, golongan, membangun ruang perjumpaan agar hidup berdampingan, rukun, toleran, dan damai.

Dalam liputan bertajuk "Tur Malam Imlek Berupaya Robohkan Prasangka" digambarkan secara apik, cuaca dingin tidak menyurutkan semangat 50-an warga, dari berbagai suku dan agama, untuk menjelajahi kawasan Cibadak, Bandung, yang dikenal sebagai Pecinan. Para peserta ini mengunjungi 2 kelenteng, 2 vihara, dan satu rumah ibadah Khonghucu, Kong Miao.

Nungky Satrina Pangestu, mahasiswi ilmu komunikasi Universitas Islam Bandung (Unisba), menjadi salah satu peserta yang ikut berbaris rapi, menuturkan belum pernah mengenal tempat-tempat ibadah ini secara dekat, termasuk ajaran agama masing-masing.

"(Teman-temanku) agama itu kalau nggak Kristen, Buddha. Kalau di sini lebih banyak agama-agama lainnya, kayak Khonghucu. Itu sesuatu hal yang baru. Aku juga ingin tahu tentang agama itu lebih dalam,” ujarnya.

Kuatnya rasa ingin tahu membuat Desi Rachmi Fitri, mahasiswi antropologi Universitas Padjadjaran (Unpad), penasaran dengan ajaran Tri Dharma. “Lebih nambah wawasan lagi, ya. Saya tuh sebenernya awam banget soal apa-apa,” jelasnya.

Rupanya rasa ingin tahu itulah yang mendorong para peserta ikut tur malam ini. Selama tiga jam, peserta berjalan kaki mengunjungi rumah-rumah ibadah yang letaknya di Jalan Kelenteng dan Jalan Cibadak. Di masing-masing tempat, tuan rumah akan mengenalkan ajaran agama masing-masing termasuk sejarah bangunan.

Tur ini diawali di Kelenteng Xie Tian Gong, dikenal sebagai Kelenteng Besar, berdiri sejak 1885 dan jadi Kelenteng tertua di Kota Bandung. Pengurus kelenteng, Sugiri Kustedja, antusias menyambut para peserta.

“Ini miniatur Indonesia. Bisa rukun, guyub, bisa rukun, bisa barengan, itu yang kita harapkan sebenarnya. Tidak secara formalitas saja tapi dalam kehidupan sehari-hari. Itu yang kita harapkan,” ujarnya.

Sugiri Kustedja, peneliti Pusat Studi Tionghoa Diaspora, Universitas Kristen Maranatha mengatakan para peserta punya keingintahuan yang sangat besar dan luas. “Hahaha mulai dari dodol sampai filsafat. Luas saja,” paparnya.

Lewat proses bertanya, tur ini mampu melunturkan prasangka terhadap masyarakat Tionghoa yang masih ada. “Kecurigaan antar ras, itu kan paling gampang dibakar. Mengkafirkan orang lain. Kan itu paling gampang, ya. Itu ketika tidak tahu. Ketika sudah tahu, oh begitu ceritanya, saya harap ini membantu kerukunan sesama anak bangsa,” ujarnya (VOA Indonesia, 5 Februari 2019).

Ide Sederhana

Ingat, Tur Malam Imlek ini digagas oleh Jaringan Kerja Antarumat Beragama (Jakatarub) sejak 2012 sampai sekarang. Idenya sederhana, ingin memberikan pengalaman bertemu dan bertanya langsung ke sumbernya.

Tujuannya memberikan ruang bersama untuk silaturahmi dan mengenal antar umat beragama. Momen ini ada pengenalan keragaman keyakinan dalam tradisi Tinghoa, khususnya dalam merayakan awal tahun luni-solarnya (kalender luni-solar – atau syamsiah-kamariah dalam Islam – menggunakan fase bulan sebagai acuan penanggalan). Para peserta diajak untuk melihat dari kacamata budaya Tionghoa secara umum, maupun sudut pandang teologis konfusianisme, taoisme, dan buddhisme.

Setiap tahunnya keikutsertaan peserta meningkat terus, mulai dari Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati, Universitas Padjadjaran (Unpar), KMHDI (Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia) Jawa Barat, GKI (Gereja Kristen Indonesia) Jawa Barat, Ikatan Wanita Katolik Jawa Barat, Komunitas Literasi, Komunitas Histori, Komunitas Enterpreneur, dan masayarakat umum lainnya.

Dari liputan bertajuk “Tiga Jam Menandangi Vihara” dan “Umat Pupuk Kebinekaan”, dijelaskan sudah empat tahun berturut-turut komunitas Jakatarub mengadakan tur malam perayaan Imlek. Jumlah peserta selalu bertambah dari tahun ke tahun. Tahun 2018 lalu, tak kurang dari 150 anak muda ambil bagian.

Peserta jalan-jalan malam itu datang dari berbagai latar belakang. Ada yang sudah bekerja, ada yang masih mahasiswa. Ada yang ramai-ramai dari komunitas, ada yang sendirian.

Berkumpul di Vihara Satya Budhi, Jalan Kelenteng, rombongan berjalan kaki keempat Vihara lain, yakni Tanda Bhakti, Dharma Ramsi, Kong Miao, dan terakhir Sinar Mulai. Di tiap-tiap Vihara, mereka mendapatkan sambutan hangat dari masing-masing pengelola.

Sugurih Kustedja menjadi teman diskusi selama hampir satu jam di Vihara Satya Budhi. Dengan fasih, ia menerangkan sejarah dan pengetahuan terpencil tentang kepercayaan masyarakat Tionghoa. Ia bercerita mulai dari tiga ajaran yang berkembang di Tiongkok, yakni Tao, Konfusius dan Buddha, hingga bagaimana dampak kebijakan pemerintah Indonesia terhadap cara hidup masyarakat keturunan Tionghoa di tanah air.

Malam itu, kompleks Vihara Satya Budhi tengah bersiap menyambut perayaan tahun baru Imlek. Deretan lampion membuat cantik suasana. Satu regu polisi mulai berjaga. Beberapa keluarga sudah datang.

Baca Juga: Jejak Peradaban Tionghoa di Pecinan Kota Bandung
Hari Toleransi Internasional, Refleksi Bandung Lautan Damai
Diskusi Buku Wajah Damai Milenial Reformis

Poster Tur Malam Tahun Baru Imlek 2018. (Sumber: Instagram Bandung Lautan Damai)
Poster Tur Malam Tahun Baru Imlek 2018. (Sumber: Instagram Bandung Lautan Damai)

Pupuk Toleransi

Pesan toleransi tidak hanya ditunjukkan lewat kedatangan lebih dari 100 anak muda ke vihara malam itu, mereka juga mempelajari seluk beluk vihara dan tata cara peribadatan. Mereka belajar menghormatinya, misalnya dengan tidak menyalakan lampu kilat kamera dan tidak mengambil gambar umat yang sedang berdoa.

Sambutan hangat selalu diterima para peserta di vihara-vihara berikutnya. Di Vihara Tanda Bhakti, mereka disuguhi kopi hangat, selain cerita tentang sejarah bangunan tersebut. Di Vihara Dharma Ramsi, semangkok bubur hangat menjadi teman diskusi. Di Kong Miao, pengelola bahkan menyiapkan presentasi yang begitu lengkap.

"Ini pengalaman pertama saya masuk ke vihara. Biasanya hanya tahu ketika melintas jalan di depan," kata Nur Hasanah (23), salah seorang peserta tur malam. Nur merupakan mahasiswa kedokteran Unpad. Perempuan asal Kota Banjar ini ikut tur setelah diajak temannya. Mereka datang berdua.

"Banyak pengetahuan baru, pengalaman baru. Sedikit-sedikit, saya jadi tahu sejarah dan cerita di balik bangunan-bangunan ini," ucap perempuan berkerudung ini.

William Aribowo, salah seorang pengurus Jakatarub, mengungkapkan tur malam Imlek merupakan satu dari beberapa kegiatan rutin Jakatarub. Anggota komunitas ini adalah para sukarelawan yang datang dari berbagai macam agama, kepercayaan, dan latar belakang.

"Lewat tur malam Imlek ini, kami mengajak anak-anak muda untuk mulai mengenal keragaman yang ada di sekeliling mereka. Keragaman itu ada, nyata," ucapnya.

Asifa Khoirunnisa dari Salim (Sahabat Lintas Iman) menyatakan ajakan tur malam Imlek banyak disebar lewat jejaring media sosial. Kegiatan itu bisa efektif menyasar anak-anak muda. "Generasi milenial ini perlu pendekatan berbeda. Ya, kami aktif juga di medsos. Kegiatan-kegiatan kami sebar via medsos. Kami tampilkan secara menarik di mata anak-anak muda," tuturnya.

Dimulai dari pukul 19.00, tur malam tahun baru Imlek baru tuntas tiga jam kemudian. Ratusan anak muda itu barangkali lelah berjalan kaki. Tetapi pastilah setimpal dengan banyak pengetahuan dan pemahaman baru yang mereka peroleh.

Diakuinya, perayaan malam Imlek di Vihara Dharma Ramsi di Kelurahan Cibadak, Bandung berlangsung meriah.

Dengan mengunjungi rumah ibadah dan melihat perayaan agama penting untuk terus memupuk semangat toleransi antar umat beragama. "Apalagi kini banyak bermunculan kerawanan paham radikal dan yang antitoleransi di masa milenial. Kami terus mendorong kaum muda, terlebih kalangan mahasiswa turut menjaga kerukunan dan toleransi antar umat beragama," ujar mahasiswa Program Studi Agama-agama UIN Sunan Gunung Djati Bandung ini (Pikiran Rakyat, 17 Februari 2018 dan Kompas, 17 Februasi 2018).

Dalam artikel “Wawan Gunawan, Setia Semai Benih Keberagaman” (Kompas, 29/09/2020), kita dapat belajar tentang membangun dialog antarumat beragama selama dua dasawarsa. Agar menyemai benih keberagaman untuk melahirkan generasi toleran.

Salah satu caranya melalui Tur Malam Imlek yang digelar hampir setiap tahun. Pemuda lintas agama diajak mengunjungi sejumlah vihara dan kelenteng di Kota Bandung. Mayoritas pesertanya anak muda.

Melalui tur itu, peserta dapat lebih mengenal tradisi warga Tionghoa. Mengetahui sejarah vihara dan kelenteng yang dibangun sebelum kemerdekaan Indonesia. Ini menandakan, sejak lama warga Bandung telah hidup rukun dalam kemajemukan.

Bagi Wawan Gunawan, membangun dialog untuk menghindari konflik horizontal. “Salah satunya membuat langkah-langkah jika terjadi konflik dalam penutupan rumah ibadah. Kekerasan harus dihindari,” ujarnya.

Dialog itu dibangun lewat kerja sama antarkomunitas keagamaan dan budaya. Dimulai dengan saling mengenal, berdiskusi, dan saling memahami. “Tidak ada dialog antaragama tanpa dialog antarsahabat. Kalau sudah bersahabat, untuk bertanya sesuatu tentang hubungan keagamaan tidak akan tersinggung,” ujarnya.

Kesadarannya untuk menjaga keberagaman tidak lahir secara instan. Deretan cerita masa kecil, remaja, hingga dewasa yang menjadi pengalaman mental untuk mensyukuri keberagaman dalam kehidupannya.

Kang Wawan lahir dari keluarga muslim di Bandung. Lingkungannya di Kiaracondong, Bandung, juga mayoritas beragama Islam. “Akan tetapi, ayah sering mengajak saya ke rumah sahabatnya yang beragama Kristen. Mereka berteman baik. Jadi, sejak kecil sudah ditanamkan untuk bersahabat dengan siapa saja. Bahkan, dodol Cina menjadi makanan yang paling disukai anak-anak di sana saat lebaran. Hubungan dengan warga Tionghoa sangat akrab,” ujarnya.

Ihwal Tur Malam Imlek yang setiap tahunnya diikuti anak muda mulai dari 70 peserta pada 2017, 100 orang (2018), tahun 2019 diikuti oleh 150 peserta, dan 90 orang tahun 2020, Wawan mengatakan:

“Kami Jakatarub tidak hanya melakukan kampanye dan pendidikan perdamaian, tapi juga peace experience, pengalaman perdamaian. Bahwa perdamain itu tidak hanya cukup diperckapkan, tapi juga harus dialami. Orang langsung merasakan perdamaian, terlihat. Kami percaya, perubahan cara berpikir seseorang itu bukan karena teori-teori pluralisme yang berat, tapi karena berinteraksi. Salah satunya melalui Tur Malam Imlek,” tegasnya, jelas aktivis Jakatarub ini.    

Perjumpaan di Rumah Ibadah  

Dalam buku Anak Muda dan Dialog Keagamaan ditegaskan selama ini Jakatarub menjadi media untuk semua orang yang rindu akan kebersamaan dalam satu perjumpaan. Dampak dari perjumpaan ini akan mengurangi kecurigaan antarumat beragama.

Bila ada masalah keagamaan di suatu tempat, misalkan, Jakatarub sangat mudah untuk saling berkomunikasi, sehingga masalah yang ada dapat diselesaikan dengan cepat, tidak berlarut-larut menjadi masalah yang lebih besar.

Jakatarub telah mengupayakan sejauh yang bisa dilakukan dengan keterbatasan sumberdaya yang ada. Jakatarub membuka ruang perjumpaan langsung antar umat beragama di Kota Bandung. Di sisi lain, Jakatarub juga mengadvokasi isu-isu kebebasan beragama bersama mitranya seperti LBH Bandung, SAPA Insitute, dan sebagainya (Dwi Wahyuni, 2020:112-113).

Menurut Anggi Afriansyah, peneliti sosiologi pendidikan di Puslit Kependudukan LIPI, dalam tulisan Mengoptimalkan Ruang Perjumpaan, ikhtiar memperteguh kebhinekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia memerlukan kebijakan pendidikan kebhinekaan dan menciptakan ruang-ruang dialog antarwarga.

Sebagai contoh, seribuan siswa sekolah di Purwakarta menggelar botram (makan Bersama) di Bale Paseban Pemerintah Kabupaten Purwakarta, 27 Maret 2017, dalam rangka perayaan Nyepi. Dari perjumpaan langsung yang diisi dengan makan bersama itu menjadi pintu masuk untuk kegiatan lain yang lebih konstruktif. Pada tahapan selanjutnya, perjumpaan dapat dijadikan medium pertukaran gagasan. Oleh karena itu, perjumpaan dengan pemeluk agama, etnik, maupun kelompok politik, menjadi penting dilakukan secara reguler.

Praktik-praktik melalui perjumpaan-perjumpaan lintas budaya, agama, maupun kelas sosial secara langsunglah yang akan dikenang oleh siswa hingga mereka dewasa. Membiasakan siswa untuk respek terhadap mereka yang berbeda ialah upaya yang harus dikuatkan terus menerus oleh guru.

Kebanggaan terhadap agama masing-masing bukan berarti menegasikan dan merendahkan keyakinan orang lain. Guru punya peran vital dalam mendesiminasikan pentingnya penghargaan terhadap kelompok yang berbeda. Anak-anak harus diberikan keleluasaan perspektif. Agar mereka tak picik dalam memandang hidup, mereka harus dikenalkan pada realitas kebangsaan. Indonesia yang bhineka hanya dapat dirawat anak-anak yang mencintai bangsa ini sepenuh hati. Mereka yang insaf bahwa Indonesia yang beragam harus tetap lestari (Media Indonesia, 1 April 2017).

Dalam buku Hidup Damai di Negeri Multikultural kita diingatkan untuk terus mengadakan kegiatan-kegiatan lintas iman bersama dalam merespons situasi sosial yang ada. Membuka ruang perjumpaan di antara kelompok berbeda untuk mengurangi prasangka dan kebencian serta membangun ras saling percaya dalam bekerja sama menciptakan perdamaian (Forum Alumni MEP Australia-Indonesia, Cici Hardjono [editor], 2017: 480).

Bagi Arfi Pandu Dinata, dalam tulisan Anjangsana dan Sawala Bhineka Muda menegaskan jika model wacana toleransi lama cenderung melibatkan kalangan dewasa, maka pada model yang ditawarkan ini akan dipelopori oleh kalangan muda dari berbagai latar belakang identitas baik secara personal maupun komunal sebagai cerminan kebhinekaan.

Sedangkan format relasi yang dikembangkan, yaitu persahabatan. Oleh karena itu, ruang perjumpaan menjadi sebuah modal yang niscaya untuk memulai perkenalkan yang menghantarkan pada pemahaman yang mendalam tentang kebhinekaan, yang sering kali menjadi alasan untuk berseteru. Dengan demikian, sebuah forum yang menyenangkan, kreatif, dan partisipatif merupakan wadah yang ideal untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

Namun sebelum melangkah pada pertemuan di dalam ruang bersama, inklusivitas dari masing-masing identitas keagamaan mesti dikonfirmasi terlebih dahulu. Dengan mengadakan program kunjungan ke berbagai lembaga dan komunitas keagamaan, sebagai ajang silaturahmi, perkenalan, pembukaan relasi dan media penghimpunan aspirasi. Setelah cukup mengenal dan dapat memastikan kesediaan beragam lembaga, komunitas beragama untuk berpartisipasi dalam isu toleransi dan perdamaian, maka saatnya bertemu dalam ruang perjumpaan bersama (Heri Gunawan, 2020:110).

Pendekatan Anak Muda yang Kreatif

Dari buku Guys, Indonesia Tuh Bineka Loh! Disimpulkan ternyata "bakudapa" di forum pelatihan ini mempu membuka ruang perjumpaan, membuka keran-keran kesalahpahaman antargenerasi milenial dengan generasi old, mempererat persahabatan dan kasih sayang lintas generasi. Kalau saja tidak “bakudapa” mungkin para mama masih berpikir sempit tentang anak-anak muda yang kreatif ini.

Sebaliknya, anak-anak muda yang sebelumnya mungkin jarang bersentuhan dengan aktivitas grassroot generasi old, nggak belajar pola komunikasi yang baik, yang bisa diterima oleh generasi old. Begitulah kehebatan “bakudapa.” Dari “bakudapa” lalu menjadi sayang (Milastri Muzakkar, 2020:156-157).

Dalam buku Perjalanan Menuju Tuhan, Anick HT menuliskan Upaya Kecil Menembus Sekat Ignoransi melalui ruang perjumpaan di rumah ibadah. Menurutnya, harus ada terobosan lebih jauh untuk masuk wilayah "perbedaan" itu. Ia ada bukan untuk disembunyikan, tetapi justru untuk dikenal, dikelola, dan pada akhirnya dirayakan.

Di tengah tebalnya tembok-tembok penyekat antaragama, mengenal perbedaan adalah barang mahal saat ini. Perjumpaan kemanusiaan dengan penganut agama lain memang bukan perkara sulit di negeri ini. Ruang publik seperti sekolah umum, pasar, mal, gelanggang olahraga, maupun tempat hiburan adalah ruang publik yang cair, ruang publik sekuler yang "tak beragama". Ruang ini menjanjikan relasi kemanusiaan tanpa sekat.

Namun, sekali lagi, "cair"-nya ruang tersebut justru karena melupakan (menyembunyikan perbedaan). Sekat itu hanya menghilang sementara. Bukan karena ditembus, melainkan karena dihindari.

Salah satu simbol penting sekat antaragama adalah rumah ibadah. Rumah ibadah merupakan sebenar-benarnya zona nyaman yang diciptakan oleh pemuka agama. Bagi sebagian besar dari mereka, rumah ibadah ini disakralkan sedemikian rupa, sehingga ia menjadi titik terdalam dari kotak segregasi agama.

Membongkar tembok pemisah dengan mengenal dan memperbincangkan perbedaan, di titik terdalam simbol utama segregasi agama adalah terobosan awal yang penting dari upaya mengelola dan merayakan perbedaan (Anich HT dan Gita Widya Laksmini, 2015:3-4).

Mudah-mudahan dengan adanya Tur Malam Imlek yang dilakukan oleh Jakatarub ini dapat dijadikan sebagai ajang momentum silaturahmi antarlintas beragama dan ikhtiar bersama dalam membangun ruang perjumpaan untuk merobohkan tembok prasangka, sekat antaretnis, agama, golongan, agar hidup berdampingan, rukun, toleran dan damai.  Selamat Tahun Baru Imlek 2573 Kongzili. Gong Xi Fa Cai.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//