• Foto
  • Jejak Peradaban Tionghoa di Pecinan Kota Bandung

Jejak Peradaban Tionghoa di Pecinan Kota Bandung

Jejak panjang peradaban Tionghoa di Kota Bandung bisa ditengok dari bangunan-bangunan tua di kawasan pecinan. Banyak yang terawat, ada juga yang nyaris hancur.

Fotografer Prima Mulia29 Januari 2022

BandungBergerak.idVihara Dharma Ramsi di Pecinan Bandung sibuk disolek saat saya berkunjung pada pekan terakhir Januari 2022. Tak lama lagi, vihara yang berdiri tahun 1952 itu siap menyambut Tahun Baru Imlek. Sejumlah pengurus vihara giat membersihkan altar dan mencuci rupang atau patung dewa.

Di altar pojok sebelah selatan, suhu Yunsin khidmat memimpin ritual untuk mendoakan arwah para leluhur. Prosesi ini hanya berlangsung sekitar 20 menit saja. Sebelum akhirnya altar tersebut dibersihkan.

Vihara Dharma Ramsi menjadi titik awal yang saya kunjungi dalam penelusuran jejak-jejak peradaban di Pecinan Bandung, baik Pecinan Lama maupun Pecinan Baru. Hasilnya, sejumlah bangunan tua masih berdiri di antara bangunan-bangunan baru. Pamflet Komunitas Aleut tentang "Napak Tilas Pecinan di Bandung" (2017) menjadi jembatan tak kasat mata yang menghubungkan masa lalu dan kini.

Pamflet itu menjadi panduan dalam menyusuri kembali kawasan Pecinan Bandung yang meliputi sekitar Pasar Baru, Suniaraja, Oto Iskandardinata, Jalan Klenteng, dan Gang Luna. Dari Vihara Dharma Ramsi, saya pun bergerak menuju Pecinan Lama, Banceuy, Alketeri, Suniaraja, dan Pasar Baru yang masih berada dalam satu lingkungan.

Kawasan Pecinan Lama ini disebut sebagai kawasan pertama yang jadi permukiman bagi warga etnis Tionghoa di Kota Bandung. Sebelum tiba di Pecinan Lama, saya mampir sebentar ke Vihara Satya Budhi di Jalan Kelenteng, vihara tertua di Bandung yang dibangun tahun 1865.

Menurut catatan Komunitas Aleut, kelenteng tersebut dibangun hasil sumbangan warga Tionghoa. Pada awalnya, kelenteng ini bernama Kuil Hiap Thian Liong atau Istana Para Dewa. Perencanaan pengerjaan pembangunan kelenteng dilakukan oleh pekerja yang didatangkan langsung dari Tiongkok Selatan.

Sayang, petugas tak memberi izin masuk ke halaman kelenteng tua tersebut walau hanya untuk sekedar melihat dari luar dan memotretnya. Jadi saya hanya bisa mengambil gambar gerbang vihara berwarna merah itu saja.

Tiba di Jalan Suniaraja, sebuah bangunan tua dengan arsitektur cantik mengganggu pandangan mata. Sepintas terlihat ada sentuhan gaya Eropa dan Cina pada arsitekturnya. Bangunan ini bekas Hotel Surabaya milik saudagar batik Tan Djin Gie. Menurut Komunitas Aleut, Tan Djin Gie berjualan batik di Pasar Baru. Hotel Surabaya kini beralih fungsi menjadi hotel, sampai sekarang.

Bekas Hotel Surabaya tersebut terdiri dari dua bangunan utama, yang pertama lebih kental nuansa Eropanya. Bangunan yang satu lagi lebih bergaya oriental. Bagian bangunan tertua dibangun tahun 1884.

Sayang, bangunan paling tua di bagian belakang sudah berganti jadi hotel modern di bawah grup Kagum Hotel. Masih menurut Pamflet Komunitas Aleut, Tan Djin Gie merupakan saudagar batik Solo yang bisa disebut sebagai pelopor perdagangan batik di Pasar Baru. Kiprah keluarga Tan Djin Gie di Bandung bisa ditemui dalam roman Rasia Bandoeng yang terbit pada tahun 1918.

Pasar Baru sendiri mulai dibangun pada 1884, pasca-Pasar Ciguriang (kini di Kepatihan) ludes dilalap api, suatu kebakaran yang disengaja sebagai umpan untuk membunuh Asisten Residen Priangan dan Bupati Bandung, kala itu.

Tan Djin Gie mengembangkan bangunan rumah tinggalnya jadi hotel. Pada prasasti cagar budaya di dinding luar bangunan, tercatat pembangunan hotel ini antara tahun 1900 dan 1910. Perubahan rumah tinggal jadi hotel ada kemungkinan setelah jalur kereta Batavia Bandung tersambung tahun 1884. Nama hotel berganti-ganti, dari Express, Tung Hua, Soerabaja.

Jejak peradaban Tionghoa berikut adalah Jalan Pecinan Lama. Kawasan ini bersinggungan langsung dengan permukiman Tionghoa di masa lalu di kawasan Banceuy dan Pasar Baru. Banyak bangunan-bangunan tua bergaya Cina di sekitar Jalan Belakang Pasar, Pasar Selatan, Pasar Utara, dan Babatan.

Pabrik dan Warung Kopi

Di ujung Pecinan Lama dan Jalan Banceuy berdiri sebuah pabrik kopi yang sangat mashyur, yaitu Aroma. Berdiri sejak 1930 dengan arsitek Liem A Goh, Koffie Fabriek Aroma digagas oleh Tan Houw Sian. Sembilan puluh dua tahun kemudian, pabrik kopi ini tetap tegak berdiri, dengan bangunan dan peralatan pabrik yang sama sejak pertama kali berdiri, di kelola oleh generasi ke-3.

Sebagian bangunan lainnya bernuansa Eropa dengan ornamen dan langgam khas Cina yang cukup kental. Bentuk pagar kayu di lantai dua bagian fasad bangunan, bentuk bingkai-bingkai jendela, sampai ornamen-ornamen di atap rumah dan lekukan di atap bagian bawah dekat talang air.

Ada kesamaan gaya antara beberapa bangunan tua di Jalan Baros dan Rasamala yang dulunya merupakan komplek permukiman pegawai rendah di pusat pemerintahan Hindia Belanda di Gedung Sate.

Di Jalan ABC dan Alketeri juga terdapat beberapa bangunan tua tersisa yang bergaya oriental dengan sedikit sentuhan Eropa. Sebagian bangunan ada yang kondisinya mengkhawatirkan, bahkan rusak tak terawat, terutama bagian-bagian yang terbuat dari kayu.

Ada pula bangunan yang masih sangat terawat, salah satunya Warung Kopi Purnama di Jalan Alketeri, Bangunan klasik tersebut berdiri sejak tahun 1930. Menurut Komunitas Aleut, Warung Kopi Purnama awalnya bernama Chang Chong Se (silakan mencoba). Kedai kopi didirikan Yong A Thong yang hijrah dari Kota Medan sekitar abad ke-20.

Ia datang ke Bandung membawa tradisi kopi tiam, tradisi peranakan Tionghoa di daerah Melayu. Istilah kopi tiam merupakan perkembangan dari istilah “yam cha” di Tiongkok yang berarti “sarapan sambil minum teh”. Dalam tradisi Melayu termasuk Indonesia, budaya minum teh berganti dengan minum kopi. Di Tahun 1966, kedai kopi ini berganti nama menjadi Warung Kopi Purnama. Usaha turun-temurun yang kini telah memasuki generasi ke-4.

Sedikit menyeberang ke Pasar Baru, masih bisa kita temui bangunan-bangunan rumah tua yang kental bergaya oriental. Di Jalan Belakang Pasar yang kumuh oleh lapak pedagang, masih terselip satu dua rumah yang terawat dengan baik. Beberapa rumah lainnya mulai bobrok dimakan usia. Toko herbal atau jamu Babah Kuya yang legendaris dan toko kopi cap Kapal Selam adalah beberapa yang masih terawat baik. Toko Babah Kuya disebut mulai bergeliat di kawasan tersebut sejak tahun 1800-an.

Bangunan-bangunan tua lain di Jalan Pasar Selatan, Pasar Utara, Babatan, dan Dulatip, juga demikian kondisinya. Hanya tersisa beberapa saja. Sebagian besar kurang terawat dan hanya satu dua yang kondisinya masih bagus.

Konon permukiman Tionghoa di sekitar Kampung Suniaraja terbentuk tahun 1840-an akibat meletusnya perang Diponegoro (1825-1830). Awalnya warga warga keturunan Tionghoa yang hijrah ke Bandung hanya belasan orang, populasinya terus bertambah dan menyebar ke arah barat.

Gang Luna dan Jalan Klenteng yang berada di sisi barat dari kawasan Pecinan Lama barangkali bisa jadi bukti pertumbuhan dan penyebaran warga etnis keturunan Tionghoa yang hidup damai di kawasan permukiman cukup padat dengan warga pribumi dari generasi ke generasi. Potret toleransi tergambar jelas di dua kawasan ini, jauh sebelum jargon-jargon kampung toleransi digaungkan.

Foto dan teks: Prima Mulia

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//