Diskusi Buku Wajah Damai Milenial Reformis, Menyemai Nilai-nilai Toleransi pada Generasi Muda
Generasi muda diajak keluar dari jebakan pemikiran kolot warisan Orde Baru yang tidak ramah pada keberagaman manusia Indonesia.
Penulis Bani Hakiki17 Desember 2021
BandungBergerak.id - Yayasan Mulia Raya meluncurkan buku Wajah Damai Milenial Reformis yang berisikan kumpulan esai tentang menerapkan sikap toleransi dan menyebarkan nilai pluralisme di kalangan pemuda. Peluncuran buku dibarengi diskusi yang dihelat di Kantor DPD KNPI Jawa Barat, Bandung, Kamis (16/12/2021).
Diskusi berjalan interaktif di antara para peserta dan ketiga narsumber yang diketahui memiliki latar belakang kepercayaan yang berbeda. Masing-masing pembicara mengutarakan pendapatnya tentang kondisi keberagaman di Indonesia saat ini masih menemui beragam potensi konflik sosial, seperti diskriminasi gender, isu rasial, hingga kebebasan beragama. Isu-isu ini dinilai memecah esensi kemanusiaan dan justru menumbuhkan sifat egosentris yang kuat.
Salah satu pembicara sekaligus pendiri Yayasan Mulia Raya, Musdah Mulia memandang kondisi tersebut sebagai hasil yang dituai dari pemikiran lama yang mengakar sejak rezim Orde Baru. Hal yang paling disoroti pada era itu yakni dampak negatif dari polarisasi masyarakat akibat maraknya praktik pengelompokan sosial.
“Makanya, kita harus mulai beralih dari pemikiran-pemikiran tua. Yang muda-muda jangan mau dikotak-kotakan, harus mulai membekali diri untuk menyebarkan nilai-nilai toleransi dan pluralisme,” ungkap Musdah Mulia, dalam diskusi.
Ada tiga pesan utama yang dipaparkan dalam buku Milenial Reformis, masing-masing merangkum bagaimana pentingnya hidup dalam kebegeragaman di Indonesia. Hal pertama yang dikemukakan yakni mengenai kondisi kesadaran antara segi spiritual dan kemanusiaan dalam konteks menganut kepercayaan atau agama yang setara. Pada poin tersebut, buku ini juga mengedepankan pentingnya pembebasan diri masyarakat dari budaya patriarki yang sifatnya intoleran.
Tidak hanya itu, penulisan Milenial Reformis memiliki visi untuk mendorong kalangan pemuda agar lebih peka dan bisa memanfaatkan perkembangan teknologi. Strategi ini diterapkan untuk menyebarkan paham-paham yang coba dikedepankan di dalam buku. Oleh karena itu, kalangan pemuda juga diimbau untuk membekali diri masing-masing, salah satunya dengan memperkuat jaringan literasi.
Sementara itu, diskusi peluncuran buku ini telah memicu perbincangan mengenai perubahan pola pikir yang perlu dibangun di antara masyarakat maupun pemangku kebijakan melalui sistem pendidikan. Dengan demikian, unsur keberagaman yang ada diharapkan bisa menunjang terwujudnya keadilan dan kesetaraan.
“Upaya-upaya rekonstruksi ini harus dimulai dari pendidikan, artinya pendidikan seluas-luasnya. Mulai dari pendidikan di rumah, pendidikan formal, sampai tahap-tahap administratif kemudan pemerintah,” kata Musdah.
Baca Juga: Transpuan, Penyandang Disabilitas, dan Persma Berbicara: Jurnalis Mendengarkan
Kelompok Marginal Bandung Rentan tidak Mendapat Vaksinasi Covid-19
Kesetaraan untuk Transgender
Ira Imelda dari Women’s Crisis Center (WCC) Pasundan-Durebang, mengungkapkan diskirimasi yang ada di Indonesia juga banyak terjadi pada masyarakat transgender. Padahal sebagai warga negara, mereka juga patut mendapat hak berkehidupan yang setara.
Sampai saat ini, masih banyak masyarakat transgender yang melaporkan bahwa mereka mendapatkan diskiriminasi sosial baik oleh para pemangku kebijakan maupun sesama warga negara. Tidak sedikit di antaranya yang mengalami tekanan mental sehingga sulit berinteraksi di tengah masyarakat.
“Mereka sering dianggap bukan manusia, padahal mereka juga seharusnya dilindungi oleh perundang-undangan. Harus ada kesetaraan yang sama,” tegas Ira Imelda yang menjadi salah satu pembicara dalam diskusi peluncuran buku tersebut.
Ira juga mengajak para peserta diskusi turut menyebarkan paham kesetaraan gender untuk melunturkan generasi yang melanggengkan patriarki. Konsep patriarki dianggap sebagai pelemahan gender yang membuat nilai pluralisme semakin jauh untuk diwujudkan.
Dilematika Kaum Pengkhayat
Diskriminasi juga masih dialami masyarakat penganut kepercayaan atau penghayat. Ini diutarakan Sekretaris Jenderal Generasi Muda Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan YME Indonesia (Gema Pakti), Cakra Arganata. Misalnya, kata Cakra, masyarakat pengkhayat masih sering dihadapkan urusan administrasi layanan publik yang diskriminatif.
Salah satu contoh kasusnya, yakni penamaan dalam kolom agama dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang terus berubah dan tidak ada keabsahan yang jelas. “Dari waktu ke waktu itu penulisannya terus berubah-ubah, mulai dari strip, kepercayaan, dikosongkan, sampai sekarang berubah lagi. Soalnya kami masih dianggap ke dalam kelompok agama, kepercayaan yang tidak diakui negara,” paparnya, di acara yang sama.
Sering berjalannya waktu, paham pengkhayat mulai diakui oleh segelintir sekolah di Indonesia, termasuk di wilayah Bandung Raya. Beberapa sekolah kini telah memberikan kesempatan pendidikan agama secara khusus bagi muridnya yang pengkhayat. Hal ini menunjukkan, keberadaan pengkhayat perlahan mulai diakui oleh masyarakat.
Meskipun demikian, Cakra yang juga berprofesi sebagai guru pengkhayat merefleksikan bahwa saat ini ia masih sering menemukan sikap-sikap rasisme di lingkungan sekolah. Saat ini, ia mengajar di beberapa sekolah di wilayah Lembang.
“Saya ngerti maksud mereka mungkin bercanda, bukan cuma di antara murid tapi bahkan dipraktikkan langsung oleh gurunya sendiri. Entah dari mana (sikap) itu bisa tertanam,” ujarnya.
Maka dari itu, sikap egosentrisme itu perlu segera dihapuskan melalui sektor-sektor pendidikan sejak dini. Pemerintah dinilai punya tanggungjawab besar untuk menunjang upaya tersebut.
Perlu diketahui, Gema Pakti adalah organisasi resmi pengkhayat Indonesia. Organisasi ini diakui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud RI) pada tahun 2019. Peresmiannya didorong oleh data survei Kemendikbud RI tahun 2017 yang mencatat ada sekitar 12 juta masyarakat pengkhayat yang tersebesar di 14 provinsi dan 72 kabupaten di Indonesia.