• Opini
  • Binadamai di Tengah Pusaran Radikalisme

Binadamai di Tengah Pusaran Radikalisme

Setara Institute merilis provinsi Jawa Barat konsisten menempati urutan pertama dalam kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan selama 14 tahun.

Ibn Ghifarie

Pegiat kajian agama dan media di Institute for Religion and Future Analysis (IRFANI) Bandung.

Di ruang utama dengan altar Budha di Vihara Terang Hati, Bandung, lebih dari seribu nasi bungkus murah disiapkan bagi warga, Minggu (23/5/2021). Aksi baik setiap hari Minggu ini sudah awet bergulir selama beberapa bulan. (Foto: Prima Mulia)

14 Maret 2022


BandungBergerak.idLaporan Kebebasan Beragama Berkeyakinan (KBB) dari Setara Institute tahun 2021 bertajuk "Mengatasi Intoleransi, Merangkul Keberagaman" menunjukkan bahwa provinsi Jawa Barat konsisten menempati urutan pertama dalam kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan selama 14 tahun.

"Sejak Setara Institute menerbitkan laporan KBB sejak tahun 2007, Jawa Barat adalah provinsi yang konsisten di teratas dengan pelanggaran terbanyak dari 2007 ke sekarang, sudah 14 tahun,” kata Peneliti Setara Institute, Syera Anggreini Buntara secara virtual, Kamis (10/2/2022).

Meskipun Wakil Gubernur Jawa Barat Uu Ruzhanul Ulum membantah temuan Setara Insitute yang menempatkan Jabar sebagai provinsi intoleran tertinggi di Indonesia, dengan 40 peristiwa sepanjang 2021.

Pasalnya, tidak sesuai dengan hasil survei yang dilakukan Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Provinsi Jabar yang menyatakan kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) di Jabar menempati peringkat terbaik ke-6 di Indonesia.

"Kalau ada yang bilang Jabar ini intoleran, itu tidak benar. Kita sudah kroscek ke Bakesbangpol, hasilnya Jabar menempati peringkat 6 sebagai daerah dengan KBB terbaik. Tidak benar jika Jabar disebut intoleran," kata Uu, Kamis (10/2/2022).

Menurutnya sangat tidak adil jika yang dihitung hanya pelanggaran KBB, namun tidak menghitung penghargaan masyarakat terhadap KBB (Berita Satu, 10/2/2022 dan Tribunnews, 10/2/2022).

Pudarnya Ki Sunda

Dalam tulisan Radikalisme di Jawa Barat, Prof Dadang Kahmad menyampaikan masyarakat tatar Sunda dikenal dengan sopan santun; someah hade ka semah, menjungjung tinggi falsafah; silih asih, silih asah dan silih asuh, ka cai jadi saleuwi ka darat jadi salebak, kudu akur ka batur salembur, kudu hadé gogog hadé tagog, ulah nyieun pucuk ti girang. Ini mencerminkan ajaran karuhun yang sangat menjunjung tinggi kerukunan dan sikap toleransi.

Sepertinya falsafah Sunda itu sekarang telah lentur dan banyak digantikan oleh pengaruh budaya baru yang sangat berbeda dengan budaya Sunda baheula. Melihat tingginya angka kekerasan di Jawa Barat, khususnya yang menimpa penganut Ahmadiyah, melahirkan kesan baru bagi masyarakat Jawa Barat.

Dalam pemikiran sosiologis telah terjadi distorsi pada budaya Sunda disebabkan berbagai faktor yang mempengaruhinya. Pertama, pengaruh berbagai krisis yang melanda bangsa Indonesia yang tak kunjung selesai memberikan tekanan psikologis, sehingga urang Sunda cepat marah dan bertindak tidak rasional. Kedua, pengaruh modernisasi yang menjadikan urang Sunda individualistis yang tidak memperhatikan lingkungan sekitar, sehingga dijadikan kesempatan oleh orang yang tidak baik melakukan aktivitasnya tanpa gangguan tetangga. Ini dibuktikan pada saat terjadi penangkapan kelompok teroris, tetangga merasa terkejut karena tidak mengetahui sebelumnya.

Ketiga, urang Sunda tidak mempunyai ikatan kesukuan seperti marga pada suku Batak atau trah pada masyarakat Jawa, yang diyakini mempu mengikat berbagai latar belakang individu dalam kesatuan primordial. Jadi ketika ada orang yang berbeda dari sisi agama dan kepercayaan, orang Sunda menganggapnya orang lain (the other). Keempat, menghilangnya budaya gotong royong, sabilulungan, silih tulungan karena tersisih oleh budaya transaksional. Sesuatu itu selalu diorientasikan kepada transaksi ekonomis. Inilah yang menghilangkan perasaan kebersamaan di antara anggota masyarakat (Pikiran Rakyat, 16/8/2011).

Baca Juga: Jalan Menuju Kasepuhan Ciptagelar
Jawa Barat Terus Bergelut dengan Masalah Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan
Mengapa Pegiat HAM tidak Setuju Pelaku Kejahatan Seksual Dihukum Mati?

Bayangan seorang pria kala berdoa saat itikaf atau tinggal di masjid di 10 hari terakhir bulan suci  Ramadan di masjid Pusat Dawah Islam, Bandung, Jawa Barat, 2 Mei 2021. Berbeda dengan itikaf tahun-tahun sebelumnya, kali ini jumlah peserta itikaf hanya sedikit akibat pandemi Covid-19. (Foto: Prima Mulia)
Bayangan seorang pria kala berdoa saat itikaf atau tinggal di masjid di 10 hari terakhir bulan suci Ramadan di masjid Pusat Dawah Islam, Bandung, Jawa Barat, 2 Mei 2021. Berbeda dengan itikaf tahun-tahun sebelumnya, kali ini jumlah peserta itikaf hanya sedikit akibat pandemi Covid-19. (Foto: Prima Mulia)

Praktik Baik

Kendati Jawa Barat selalu berada di urutan tertinggi sebagai provinsi paling intoleran terkait KBB, namun aktivis Jaringan Kerja Antar Umat Beragama (Jakatarub) Wawan Gunawan melihat ada peningkatan praktik-praktik toleransi dan perdamaian. Gerakan ini tumbuh subur di Jawa Barat terutama di masyarakat sipil.

“Praktik baik di Jawa Barat terus bertambah terutama di gerakan masyarkat sipil. Sekarang banyak komunitas-komunitas yang konsens pada isu toleransi dan perdamaian ini,” kata Wawan Gunawan, Jumat (18/2/2022).

Kelompok-kelompok properdamaian di Jawa Barat tersebut misalnya Peace Generation Bandung, Sekolah Damai Indonesia (Sekodi), Pemuda Lintas Iman (Pelita) Cirebon, (Gerakan Pemuda untuk Inklusi Cimahi (Gradasi), dan sebagainya.

Wawan melihat banyaknya organisasi (lembaga) di Jawa Barat yang mulai menggarap isu kebebasan beragama dan berkeyakinan, yang tadinya mereka tidak melirik isu KBB ini. “Artinya kelompok yang mengerjakan isu ini semakin banyak dan ini kemajuan,” tandas Wawan.

Mesti demikian, di antara praktik-praktik baik tersebut masih menyisakan pekerjaan rumah yang cukup serius. Wawan memaparkan, masih ada kelompok rentan atau minoritas yang perlu dirangkul dan dilindungi, yaitu Jemaat Ahmadiyah, Syiah, penganut kepercayaan, komunitas Tionghoa.

Menurut Wawan, kelompok-kelompok tersebut rentan mengalami diskriminasi, intoleransi, persekusi, dan sebagainya. Selain itu, praktik penutupan rumah ibadah dan penolakan ibadah masih kerap terjadi di Jawa Barat.

“Ada PR yang belum terselesaikan. Inklusi sosial belum total karena belum melibatkan kelompok rentan tadi,” katanya (BandungBergerak.id, Sabtu (19/2/2022)).

Ikhtiar menekan tumbuh suburnya radikalisme, fundamentalisme, kekerasan atas nama agama di bumi Parahyangan ini BNPT, bersama Pemerintah Jawa Barat berkomitmen melakukan pencegahan terorisme dengan konsep Pentahelix.

Penanggulangan terorisme bersama multistakeholders yang meliputi pemerintah, akademisi, pelaku usaha, komunitas, dan media. Caranya diimplementasikan melalui program Kawasan Terpadu Nusantara (KTN) dan Wadah Akur Rukun Usaha Nurani Gelorakan (WARUNG) NKRI, serta berkolaborasi dengan program Pemerintah Jawa Barat seperti program Ajengan Masuk Sekolah, Sekolah Perempuan Capai Impian dan Cita-cita (Sekoper Cinta), Duta Pancasila, dan Duta Bela Negara.

"Kita berharap propaganda yang dilakukan kelompok teror akan dipatahkan dengan kontra radikalisasi. Kita diskusikan dengan Bapak Gubernur dan jajaran, perencanaan program berkaitan kontra radikalisasi dan deradikalisasi," jelas  Komjen. Pol. Dr. Boy Rafli Amar, M.H (www.bnpt.go.id).

Dalam buku Pekerja Binadamai dari Tanah Pasundan ditegaskan berbagai laporan pemantauan tentang kebebasan beragama (survey) mengenai tingkat toleransi sering menyebut wilayah Jawa Barat sebagai hot spot, titik panas, di mana berbagai jenis ekspresi diskriminasi agama (intoleransi) banyak ditemukan.

Bentuknya bermacam-macam: antaragama, misalnya terkait kontroversi mengenai pembangunan rumah ibadah, khususnya gereja; intraagama, misalnya diskriminasi terhadap sekte-sekte tertentu di dalam Islam seperti Ahmadiyah; terbitnya berbagai peraturan pemerintah – di tingkatan yang berbeda – yang memihak kepada kelompok agama tertentu, yang sering disebut sebagai “perda-perda Syariah”.

Ada banyak pertanyaan yang masih perlu dijawab terkait pandangan umum mengenai Jawa Barat. Misalnya, mengingat wilayah Pasundan sangat luas (penduduknya terbesar dibanding provinsi lain di Indonesia), apakah ekspresi diskriminasi (intoleransi) itu berlangsung secara merata di seluruh pelosok wilayah itu (hanya terkonsentrasi di tempat-tempat tertentu saja? Karena jawaban yang terakhirlah yang lebih masuk akal, pertanyaan berikutnya: mengapa tempat-tempat tertentu di Jawa Barat; Bogor, Bekasi, Banten (yang dulu masuk ke wilayah ini) yang menjadi hot spot?

Salakah jika kita mengajukan hipotesis bahwa hal itu terkait dengan geografinya yang dekat dengan Jakarta, pusat hampir segala hal di Indonesia, khususnya uang dan kekuasaan?

Lepas dari itu semua, yang memerlukan telaah lebih lanjut, kesan umum ini telah mengabaikan dan mengaburkan fakta bahwa ada orang-orang (komunitas-komunitas) tertentu di Jawa Barat yang bekerja dalam arah yang berbanding terbalik dengan anggapan selama ini.

Mereka, secara bersama-sama (sendiri-sendiri), dan dalam bidangnya masing-masing, justru bekerja untuk menegakkan dan memperkokoh kebersamaan di antara berbagai kelompok agama.

Kita berusaha untuk mengungkap kisah personal dan peran sosial mereka – dan seraya menghargai mereka, untuk mengambil pelajaran dari mereka dan memperluas panggilan mereka ke tempat-tempat lain.

Mengingat mereka orang-orang biasa, kita perlu mengenal mereka lebih jauh, mengapresiasi sumbangan mereka, menjadikan mereka sumber inspirasi kita, dan sebisa mungkin mendakwahkan hasrat, cita-cita dan langkah-langkah aktual mereka, dengan segala kekuatan dan keterbatasannya. Di tengah tantangan yang tak kecil dan dengan sumberdaya seadanya, mereka terus membangun jembatan, tanpa kenal lelah.

Harus diakui, ada aspek-aspek tertentu dari agama yang mengajarkan dan mengamalkan cita-cita kekerasan dan kehancuran, seperti tampak dalam langkah-langkah Negara Islam di Irak dan Syam (ISIS), kami sudah lelah dengan penekanan aspek-aspek itu saja dari agama, sedang aspek-aspek lainnya diabaikan.

Di sisi yang lain, kami juga sudah capek dengan tokoh-tokoh agama yang mendakwahkan agama sebagai jalan kedamaian dan keadilan, tetapi sehari-harinya mengamalkan yang sebaliknya.

Kelima pejuang binadamai itu, Ahmad Syafi’i Mufid, Yoyoh Indayah, Rahmat Syukur Maskawan, Nisya Wargadipura serta suaminya Ibang Lukmanurdin, dan Dewi Kanti berada di luar dua ekstrem. Pada aksi sehari-hari merekalah kita temukan ekspresi wajah agama yang damai dan mendamaikan; agama yang tidak membangun tembok, tapi jembatan.

Misa Natal di Gereja Katedral Santo Petrus, Bandung, Sabtu (25/12/2021). Pihak katedral memberlakukan pembatasan jemaat guna meminimalisir potensi penularan Covid-19. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)
Misa Natal di Gereja Katedral Santo Petrus, Bandung, Sabtu (25/12/2021). Pihak katedral memberlakukan pembatasan jemaat guna meminimalisir potensi penularan Covid-19. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Perjuangan Binadamai

Aktivitas binadamai dan orang-orang yang mengabdikan hidup mereka kepada binadamai. Mereka berasal dari latarbelakang yang berbeda-beda. Masing-masing menunjukkan kemungkinan binadamai datang dari jalan yang berbeda-beda.

Uniknya, para pekerja binadamai menunjukkan dua jenis binadamai yang sama-sama penting. Kadang-kadang mereka dengan sengaja melakukan aksi binadamai, mengadakan pelatihan binadamai, membangun jaringan masyarakat pembela lingkungan, dan lain-lain.

Binadamai ada karena para pekerja binadamai dengan sengaja melakukan aksi atau program  binadamai. Tetapi, kadang-kadang binadamai bukan sesuatu yang dilakukan dengan sengaja, melainkan implikasi dari kiprah dan relasi aktor di berbagai bidang kehidupan. Misalnya, hubungan dan kontak yang dilakukan berbagai kelompok masyarakat lama-kelamaan menghasilkan suasana damai, kerja sama sosial, dan penanganan masalah dengan cara-cara nirkekerasan. Suasana damai dan kerja sama sosial tersebut tidak dilakukan dengan sengaja. Binadamai ada sebagai hasil dari interaksi dan kerjasama berbagai pihak yang terlibat.

Binadamai digunakan dalam konteks masyarakat yang berbeda-beda. Pertama, binadamai digunakan dalam konteks masyarakat yang sedang (baru saja keluar) dari perang dan kekerasan. Di masyarakat ini, binadamai mencakup aneka proses dan pendekatan yang tujuannya adalah supaya situasi damai bertahan dan kekerasan tidak terulang. Fokus dan tantangan binadamai dalam konteks ini adalah bagaimana mentransformasi masyarakat pascaperang menuju masyarakat yang memiliki  hubungan damai yang berkelanjutan.

Ketika perang berhenti, keadaan tidak otomatis berubah menjadi damai dan stabil, dengan ekonomi yang tumbuh dan sistem politik yang demokratis. Harus ada proses dan kegiatan binadamai supaya kekerasan berhenti dan tidak terulang lagi. Pembangunan dan demokratisasi menjadi bagian dari binadamai ini. Tetapi ada banyak kegiatan lain di berbagai bidang, seperti keamanan, politik dan pemerintahan, kemanusiaan, reformasi hukum, rekonsiliasi, dan lain-lain.

Kedua, binadamai dalam konteks masyarakat yang tidak mengalami perang atau kekerasan yang meluas. Dalam masyarakat yang relatif normal ini, binadamai menjadi proses dan mekanisme yang memungkinkan masyarakat terhindar dari kekerasan dan perang, walaupun ada masalah dan ketegangan.

Bagi Johan Galtung, pengkaji studi-studi perdamaian senior, binadamai adalah proses menciptakan struktur mandiri “yang meniadakan sebab-sebab perang dan menawarkan alternatif terhadap perang dalam situasi ketika perang dapat terjadi.” Itu berarti, struktur mandiri mengandung banyak mekanisme resolusi konflik yang dapat digunakan sewaktu-waktu sesuai keperluan. Serupa tubuh sehat yang memiliki kemampuan menumbuhkan antibodi sehingga tidak memerlukan penggunaan obat secara ad hoc.

Galtung menegaskan binadamai tak terbatas ke situasi pascaperang. Binadamai bukan suatu fase atau tahapan waktu, tetapi proses yang dinamis yang melibatkan banyak kegiatan baik dalam keadaan normal maupun sesudah perang dan kekerasan berhenti.

Binadamai tidak terbatas kepada tingkat nasional, internasional. Binadamai dapat berlangsung pada tingkat subnasional, khususnya kota dan kabupaten. Para pekerja binadamai yang kisahnya diterakan tidak berasal dari masyarakat yang mengalami (baru saja mengalami) kekerasan terbuka dalam bentuk perang atau kekerasan komunal. Mereka hidup di masyarakat yang pada umumnya stabil, tetapi mengandung ketidakselarasan dan potensi kekerasan.

Semuanya menyadari ada ketidakselarasan di lingkungan masing-masing, kemudian berusaha mengelolanya secara langsung, sehingga tidak berubah menjadi kekerasan terbuka. Semuanya menjalin kontak dan kerjasama, khususnya melalui asosiasi dan organisasi, dengan berbagai pihak di lingkungan mereka (Rizal Panggabean & Ihsan Ali-Fauzi [Editor], 2017:i-iv dan 1-5).

Keikutsertaan pemerintah menjadi penting dalam memupus tindak kekerasan ini. Johan Galtung, membedakan antara kekerasan yang bersifat persolan (pemukulan, perampokan, peperangan) dan struktural (ketidakadilan, ketidakmerataan, atau struktur vertikal dan asimetris). Meskipun, tak dapat dinafikan kekerasan personal merupakan reaksi atas kekerasan struktural (Johan Galtung, 1980:68).

Mari kita kutuk bersama aksi radikalisme, bom bunuh diri, intoleransi sambil berusaha sekuat tenaga menahan amarah untuk tidak melakukan tindakan kekerasan balik terhadap kelompok (pelaku) teroris, dan menebarkan benih-benih kecintaan, kasih sayang, dengan menghadirkan pekerja binadamai. Agar “ketika kekerasan susul-menyusul silih berganti, dunia jatuh ke dalam spiral kekerasan” seperti yang diyakini Johan Galtung.

Kiranya falsafah hidup urang Sunda yang dipegang teguh oleh Anis Djatisunda, ”Kalau berjalan maju setapak, kita ternyata harus mundur satu langkah untuk melihat hari kemarin. Itulah falsafah hidup yang sesungguhnya” perlu kita pegang teguh dan jalankan dalam kehidupan sehari-hari, niscaya tidak akan ada upaya menciptakan masyarakat Pasundan itu radikal, intoleran, akrab dengan kekerasan dalam setiap menyelesaikan persoalan.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//