JEJAK PRAKTIK BAIK DI BANDUNG #3: Hidupkan 12 Nilai, Ciptakan Budaya Damai
Setara Insitute mempublikasikan temuan tentang Tipologi Keberagaman Mahasiswa di Perguruan Tinggi Negeri. Hasilnya, ada kampus paling terpapar fundamentalisme.
Ibn Ghifarie
Pegiat kajian agama dan media di Institute for Religion and Future Analysis (IRFANI) Bandung.
9 April 2022
BandungBergerak.id - Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati (UIN SGD) Bandung telah genap berusia 54 tahun (8 April 1968-8 April 2022), seperti dimuat pada akun resmi kampus (uinsgd.official) dengan 1.035 postingan, 61,4 ribu pengikut, 135 mengikuti.
#DiesNatalis54UINSGD
SGDFighters !
54 tahun UIN Sunan Gunung Djati Bandung hadir memberikan kontribusi terbaik bagi peradaban bangsa, mencetak insan mulia dalam bingkai akhlak karimah.
Ke Margahayu naik roda 4
Cuaca mendung hati pun gembira
Dirgahayu ke – 54
UIN Bandung semakin jaya.
Dari Pelatihan ke Mata Kuliah
Pada hari Minggu, 30 Juni 2019, Setara Insitute mempublikasikan hasil temuannya tentang Tipologi Keberagaman Mahasiswa: Survei di 10 Perguruan Tinggi Negeri.
Hasilnya menunjukkan kampus terpapar paling konservatif, fundamentalis, radikalis dalam beragama justru ditempati UIN SGD Bandung dengan 45,0 poin, UIN Jakarta (33,0 poin), Unram (32,0 poin), IPB (24,0 poin), UNY (22,0 poin), UGM (12,0 poin), Unibra (13,0 poin), ITB (10,0 poin), Unair (8,0 poin) dan UI (7,0 poin).
Ikhtiar melawan sikap intoleransi, ekstremisme, radikalisme, kekerasan atas nama agama, agar tumbuh subur 12 nilai universal, hidup berdampingan, budaya damai, menjunjung tinggi segala perbedaan di lingkungan UIN SGD Bandung, Magister Religious Studies (RS) melakukan program: pelatihan, work shop LVE-RS (Living Values Education-Religious Studies) yang pada akhirnya menjadi mata kuliah wajib bagi mahasiswa RS; membuka nonmuslim untuk kuliah; menghadirkan dosen tamu lintas agama dalam proses pembelajaran; menerbitkan buku LVE-RS.
Pada hari Rabu-Jumat, 10-12 Juni 2015, ALIVE Indonesia bersama Prodi Religious Studies PPs. UIN SGD Bandung menggelar Educator Workshop LVE, yang diikuti oleh mahasiswa PAI supervisi PPs. UIN SGD Bandung, perwakilan dari RSCJ, penyuluh agama Kota Bandung, mahasiswa dan dosen.
Pada mulanya, banyak peserta menganggap workshop LVE layaknya mata kuliah, “Alhamdulillah pada saat saya mengikuti perkuliahan, dosen saya menawarkan tentang program pelatihan Living Values, awalnya saya tidak begitu respons dari penawaran tersebut karena saya beranggapan bahwa kegiatan tersebut hanya membuang-buang waktu saja, dan tentu kegiatannya akan menjenuhkan dan membosankan,” kata Uha Nasuha.
Memang ada kesan yang sangat berbeda, “Ternyata eh ternyata, kegiatan tersebut memberikan makna buat saya, tidak seperti yang saya bayangkan sebelumnya, ternyata kegiatan tersebut bervariatif, ada renungan, ada penyampaian materi tentang living value, ada kreasi, menggali skill, hiburan, menangani resolusi konflik. Dan yang lebih penting ada kegiatan menghidupkan nilai (living values), sebagai upaya memahami diri sendiri, lingkungan dan orang lain,” ujarnya.
Pengalaman mendalam disampaikan oleh Cepi Hudaya, “Saya adalah peserta yang berumur lebih dewasa dari mereka, dengan pengalaman hidup saya, saya bagikan di depan mereka dengan lancar agar mereka dapat menimba manfaat dari diri saya. Selama mengikuti kegiatan saya merasa puas dan bahagia, saya mendapat penguatan jiwa dari apa yang saya lakukan selama ini," tegasnya.
Sebelumnya, pengembangan LVE di UIN SGD Bandung diawali koordinasi antara Religious Studies dan ALIVE Indonesia, lalu lahirlah LVEP sebagai mata kuliah di Prodi Religious Studies dengan nama Living Values, Spirituality, and Religions (LVSR) yang digawangi oleh Budhy Munawar-Rachman, Bambang Q. Anees, dan Mochamad Ziaulhaq. LVSR dirintis sejak Desember 2014 hingga Mei 2015, dan September-Desember 2015 dilanjut dengan LVSR-II.
“Bersama Religious Studies, bergabung bersama aktivis Living Values Education di 120 negara untuk menciptakan budaya perdamaian dunia,” ujar Bambang Q. Anees, Ketua Prodi RS yang giat melakukan kajian diskusi dan workshop LVEP di Jawa Barat.
Pada hari Selasa-Sabtu, 12-16 Mei 2015, Yayasan Paramadina bekerjasama dengan Sekolah Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati, Bandung dan didukung oleh The Asia Foundation (TAF) mengadakan Workshop The Most Siqnificant Change (MSC). Workshop diikuti oleh 20 orang peserta yang terdiri dari dosen dan mahasiswa Pascasarjana jurusan Religious Studies.
Yayasan Paramadina merasa perlu untuk melakukan evaluasi secara mendalam dalam rangka ingin melihat dampak yang telah ditimbulkannya. Evaluasi ini dimaksudkan untuk menganalisa sejauh mana program ini berhasil dan mampu membawa pada sikap hidup yang lebih baik.
Studi evaluasi ini menggunakan pendekatan kualitatif untuk menggali data informasi dengan mengumpulkan cerita-cerita tentang perubahan yang signifikan untuk kemudian ditentukan mana cerita yang mengandung The Most Siqnificant Change (MSC).
Untuk melihat sejauhmana efektivitas program yang telah dilakukan oleh mitra TAF, hasil pantauan dan evaluasi selama kami melakukan research dan interview dengan sejumlah dosen dan mahasiswa, hasilnya sangat menggembirakan — meskipun tak bisa dimungkiri ada sejumlah kendala, dalam pelaksanaan program. Namun di atas segala kelemahannya, semangat dan kerja keras para trainer layak mendapat apresiasi yang luar biasa.
Pada hari Kamis-Jumat, 5-6 November 2015 ALIVE Indonesia menyelenggarakan Workshop Living Value Education dari pukul 07.30-17.30 WIB di Gedung PPs UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Dengan menghadirkan para trainer dan fasilitator LVE: Rani A. Dewi (Jakarta), Mochamad Ziaulhaq (Bandung), Rifah Zainani (Jakarta), Fitria Laurent (Subang) dan Tim LVe-RS: Bambang Q-anees, Eni Zulaiha Mutqi, Ucu Hayati Samsul, dan Pungkit Wijaya.
Peserta berjumlah 54 orang yang terbagi pada 2 kelas; Kelas #1 terdiri atas penyuluh agama dari Kota Bandung, Bekasi, dan Jakarta, mahasiswa pasca PAI, dosen Ushuludin, dan Guru Madrasah. Pada kelas ini, hampir semua peserta telah mengikuti 1 kali workshop LVE dan NVC. Keterlibatan mereka dalam rangka persiapan Training The Training LVEP.
Kelas #2 melibatkan mahasiswa Ushuluddin dan mahasiswa Psikologi.Pendekatan LVE diharapkan mampu meyakinkan kalangan akademisi untuk membumikan teori-teori yang dipelajari di runag kelas, menyadari pentingnya nilai-nilai (values) dalam rutinitas kehidupan, betapa pentingnya 12 nilai universal yang menjadi pijakan dalam melangkah masa depan yang lebih positif, menjadi pribadi yang damai.
UIN SDG Bandung memiliki investasi SDM dari kalangan akademisi yang memiliki cara untuk membentuk pribadi-pribadi damai dan mewujudkan budaya masyarakat damai di Indonesia. (www.livingvaluesindonesia.org dan Budhy Munawar- Rachman, Moh. Shofan, Siti Nurhayati, 2015:iii).
Segala pelatihan pendidikan karakter dengan pendekatan LVE ini mendapat respons yang baik dari sejumlah dosen dan mahasiswa Pascasarjana UIN Bandung, sampai-sampai LVE diusulkan menjadi mata kuliah wajib di Pascasarjana Jurusan Religious Studies, yakni mata kuliah “Religion and Living Values Education” yang sering disebut dengan LVE-RS (Living Values Education-Religious Studies) dengan kredit 3 SKS.
Ketua Prodi Religious Studies, Bambang Q. Anees yang biasanya disapa BQ menegaskan mata kuliah LVE-RS ini dimaksudkan sebagai mata kuliah dasar kepribadian agar mahasiswa atau alumni UIN bisa melakukan proses hidup di tengah-tengah masyarakat yang majemuk.
“Pendidikan di Indonesia masih berorientasi pada capaian-capaian kognitif di bandingkan misalnya, lebih ke arah skill kehidupan. Dunia pendidikan di Indonesia saat ini, harusnya lebih menyentuh untuk bagaimana menghidupkan nilai sebagai modal utama profil lulusan. Sehingga dengan demikian, para sarjana siap terap di masyarakat,” terangnya.
LVE-RS, diyakini dapat menumbuhkan nilai-nilai yang memungkinkan mereka untuk hidup bersama dan melakukan dialog antarbudaya, etnis, suku, bahasa, dan agama. Mata kuliah ini, semakin menemukan signifikansinya, karena terintegrasi dengan mata kuliah lain, dan menjadi kekuatan yang saling mendukung, yakni: Interfaith Dialogue dan Resolusi Konflik.
Baca Juga: JEJAK PRAKTIK BAIK di BANDUNG #1: Mengokohkan Rumah Bersama
JEJAK PRAKTIK BAIK DI BANDUNG #2: Merawat Spirit Konferensi Asia Afrika
Binadamai di Tengah Pusaran Radikalisme
Dinamika Perubahan Diri
Uniknya dari berbagai pelatihan LVE, menjadi mata kuliah LVE-RS ini bisa dibaca dalam buku Sepotong Catatan: Cerita Motivasi dan Inspirasi dari UIN Sunan Gunung Djati, Bandung yang bahan dasarnya berasal dari program interview dengan para dosen dan mahasiswa Pascasarjana Jurusan Religious Studies, UIN SGD Bandung, yang didedikasikan untuk mengekplorasi dampak positif dari intervensi program TAF.
20 tulisan ini menceritakan perubahan setelah mereka mengikuti sejumlah pelatihan LVE dan workshop MSC. Rupanya, strategi pembangunan karakter melalui pelatihan LVE, terbukti sangatlah efektif. Signifikansi perubahan, dampak yang ditimbulkannya cukup positif.
Hasil interviewnya menunjukkan, tidak sedikit di antara dosen dan mahasiswa yang secara sadar mengakui bahwa sebelum mengenal LVE, mereka menjalani kehidupan sesuai dengan rutinitasnya, baik sebagai dosen maupun mahasiswa. Mereka bisa memainkan dan menjadikan LVE sebagai alat advokasi untuk pembentukan kepribadian. Misalnya, ada sejumlah mahasiswa, aktivis DI TII yang memandang perbedaan sebagai sesuatu yang tabu. Mereka curiga pada perbedaan, pada pemikiran bebas, pada orang-orang yang berbeda keyakinan, pada dosen yang pemikirannya dianggap aneh.
Namun, begitu setelah mahasiswa mengenal LVE melalui sejumlah pelatihan, mereka secara perlahan tapi pasti, bisa menerima siapa pun, termasuk kehadiran suster Sr. Gerardette Philips, RSCJ, MA, seorang biarawati, dan dosen Interfaith Dialogue Program Pascasarjana Jurusan Religious Studies, UIN SGD Bandung.
Gerard bangga dan senang melihat para mahasiswa begitu antusias menerima kehadirannya sebagai seorang dosen. Puncak dari cerita perubahan itu tampak lebih festival, saat mereka diajak ke Gereja Katedral. Dengan aktivitas seperti ini, mahasiswa mengetahui bagaimana umat Kristen menata agamanya dan mempertahankan imannya. Di sinilah, LVE mendasari mahasiswa dengan ketulusan dan memberikan kemampuan untuk bisa menerima perbedaan.
Dari 20 cerita ini memberikan gambaran tentang kisah perubahan sebuah pandangan dan tanggapan yang unik dan “apa adanya” namun mengandung makna penting untuk dikaji. Mulai dari menceritakan kisah perubahan sosial, dan toleransi beragama, seraya menentang segala bentuk penindasan, kekerasan, kesenjangan sosial dan sikap intoleran. Hingga mereka berperan aktif dalam mentransformasikan kesadaran nilai-nilai secara lebih intensif dan massif di masyarakat.
Dengan demikian, 20 cerita ini penting untuk didengar sebagai kontribusi dalam melawan sikap intoleransi dan ekstremisme kekerasan (Budhy Munawar-Rachman, Moh. Shofan, Siti Nurhayati, 2015:iv-vi).
Menurut BQ pascapelatihan LVE dan selama proses perkuliahan tampak ada beberapa perubahan yang terjadi pada sejumlah mahasiswa, misalnya ada mahasiswa pascasarjana UIN aktivis DI TII yang memandang perbedaan sebagai sesuatu yang tabu.
Mereka curiga pada perbedaan, pada pemikiran bebas. Begitu ada pendalaman LVE dan diterangkan bahwa ini dari Brahmakumaris yang diyakini oleh umat Hindu sebagai nabi terakhir dari Hindu yang mempunyai visi membuat dunia damai.
Setelah mahasiswa mengenal LVE ia bisa menerima siapa pun, termasuk suster Gerardette Philips yang mengajar dialog antariman. LVE menjadi dasar untuk tidak curiga pada yang lain (the others). Kecurigaan-kecurigaan itu terpupus secara otomatis setelah akrab dengan nilai-nilai LVE-RS. Perilaku ini, merupakan kemajuan yang bisa dipandang sangat signifikan.
Orientasi mahasiswa menjadi (lebih) jelas. Suster Gerard sendiri merasa nyaman dan kerasan mengajar di pasca. Dia sendiri baru mengikuti LVE setelah diberitahu oleh BQ. “LVE asyik ya,” kata Gerard seperti dituturkan BQ. Gerard merasa tidak masalah jika bergabung dengan mahasiswa pasca yang dia ajar. LVE, menurut Gerard, sebagaimana dijelaskan BQ mampu mendorong dirinya untuk bersikap dan memandang lebih positif kepada sesamanya meskipun berbeda keyakinan.
Begitu antusiasnya Suster Gerard mengikuti LVE, ia bahkan mengajak temannya dari Jakarta yang juga biarawati untuk mengikuti pelatihan. Bahkan, Suster Gerard dan temannya bukan hanya mengikuti pelatihan LVE saja tetapi juga mengikuti pelatihan NVC (Non-Violent Communication).
Gerard bangga dapat melihat mahasiswa yang begitu antusias dan mampu berbicara tentang pengalaman mereka yang tidak ia dapatkan di ruangan kelas saat ia mengajar. Puncaknya, mahasiswa diajak ke Gereoja Katedral dan mereka melakukan akivitas dialog antariman. Mereka berdialog dan saling menyapa.
Dengan aktivitas seperti ini, mahasiswa akhirnya tahu bagaimana umat Kristen menata agamanya dan mempertahankan imannya. Dalam kunjungan itu, mahasiswa juga mengikuti sakramen ekaristi.
Bagi BQ perubahan itu tidak bisa dilihat secara spontan. Ada proses di mana mereka berubah, dari yang tadinya apatis, selalu memandang curiga yang lain, kini mereka sudah mulai terbuka. Bahkan sering kali ia lihat mahasiswa dialog dan berdiskusi secara intens dengan Suster Gerard. Sebut saja namanya Eni, mahasiswa S-3, yang semula mengkhawatirkan imannya berantakan karena bersinggungan dengan orang lain yang berbeda keyakinan. Justru ikut dalam acara sakramen ekaristi, dan tampak menangis sesenggukan dalam acara itu. Apa pasal? Ia sangat terharu dengan kehidupan para biarawati.
BQ menjelaskan, jika hati kita tulus, sebenarnya kita akan memuji cara beragama orang lain. Untuk bisa seperti itu dibutuhkan ketiadaan prasangka. Secara teoritis, kita bisa epoche, tapi epoche tanpa dasar ketulusan tetap tidak bisa jalan. Epoche itu sebagaimana LVE, jika kita terbiasa dengan LVE, kita bisa menunda prasangka. Di sini sebenarnya dibutuhkan ketulusan, dan LVE ini sebenarnya mendasari ketulusan dan memberika kemampuan untuk bisa menerima perbedaan.
Meskipun perubahan itu berproses. Ada perubahan yang lambat ada juga perubahan yang relatif lebih cepat. Dengan melihat realitas seperti ini, tujuan untuk menjadikan LVE sebagai mata kuliah tercapai. (Budhy Munawar- Rachman, Moh. Shofan, Siti Nurhayati, 2015:7-9).
Menghidupkan Nilai
Ingat, Living Values Education (LVE) adalah program UNESCO 22 tahun yang lalu, tapi bukan berarti LVE merupakan program yang tidak relevan untuk saat ini. Justru LVE sangat layak untuk kondisi saai ini. Pasalnya, di saat nilai-nilai kebaikan di tengah-tengah masyarakat semakin terkikis dan tergerus.
Paling tidak ada dua pengertian dalam memaknai Living Values Education Programme (LVEP). Pertama adalah Living Values diartikan sebagai sebuah “nilai-nilai kehidupan”, kata Living diartikan “kehidupan”. Kedua Living Values diartikan sebagai sebuah usaha “menghidupkan nilai-nilai”, kata Living diartikan “menghidupkan”. “Kehidupan” dengan “menghidupkan” adalah berbeda. Namun, bagi Budhy Munawar Rahman, officer program The Asia Foundation (TAF), menegaskan lebih cenderung pada pengertian yang kedua, yaitu “menghidupkan nilai-nilai”.
Setidaknya ada 12 nilai dalam Living Values Education: kedamaian, penghargaan, kasih sayang, toleransi, kerendahan hati, kejujuran, kerjasama, kebahagiaan, tanggung jawab, kesederhanaan, kebebasan, persatuan. Tentunya, ke-12 nilai inilah yang harus ada dalam Living Values Education Programme, walaupun tidak menutup kemungkinan ada nilai-nilai lain dari ke 12 nilai tersebut.
Dalam menentukan nilai-nilai LVEP, maka saat pelatih meminta peserta menyebutkan 6 nilai-nilai yang menurut masing-masing peserta sangat urgent untuk dihidupkan. Setelah dituliskan, panitia merekap dan melist 6 nilai yang paling banyak disebutkan, yaitu: kejujuran, kasih sayang, menghargai, tanggung jawab, persatuan, cinta, ikhlas, sabar, bahagia dan toleran. Tertulis sepuluh nilai, karena ada 4 nilai yang memiliki perolehan suara sama yaitu 8 suara (M. Arfan Mu’ammar, 2019: 187-191).
Saat kekerasan, pelecehan, dan sikap tidak toleran terus saja terjadi, bahkan bisa berujung pada amuk massa. Titah politik, sikap tidak menghargai terhadap keyakinan, perebutan atas lahan (tanah), dan kediktatoran pemimpin sering disaksikan dalam setiap televisi.
Kegusaran inilah yang dialami oleh para peserta pelatihan Living Values Education Program (LVEP) Prodi Religious Studies Program Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati, Bandung yang dilaksanakan pada Desember 2014. Dengan menghadirkan instruktur Muqowirn, dosen UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, trainer LVEP Mochamad Ziaulhaq dan dosen Paramadina Budhy Munawar Rachman.
Sejatinya, damai itu diciptakan oleh diri kita sendiri, bermula dari pikiran yang berwujud pada tingkah laku (action). Kedamaian bisa terlaksana asal ada niat baik dari dalam diri. Tanpa itu, sejitu apa pun konsep, jika tidak dirindaklanjuti dengan pelaksanaan, akan seperti rumah tak berpenghuni. Oleh karena itu, sebagai peserta merasakan nilai-nilai perdamaian dapat diaktualisasikan dengan teman sejawat, lingkungan hunian, pekerjaan, dan sekolah.
Aspek emosi dari pelatihan menghidupkan nilai itu benar-benar terwujud dalam keseharian. Saat menyapa teman, tersenyum dan menghargai setiap pendapat mereka. Kami berdialog tentang banyak persoalan. Berusaha menghidupkan dialog itu penting karena sebagai wujud menghargai orang secara utuh.
Ini pula yang penting dalam tradisi keagamaan. Leonard Swidler dalam bukunya Tøward a Universal Theology of Religion menyebutkan, tujuan utama dialog adalah untuk saling belajar. Ini akan mengubah dan menumbuhkan persepsi dan pemahaman tentang realitas, juga tentang cara harus bersikap. Dialog antaragama menjadi penting agar tercipta hubungan saling memahami, bukan menghakimi satu dengan lainnya.
Menariknya, program pendidikan menghidupkan nilai (Living Values Edwation Program) ini sudah diikuti 100 negara, termasuk Indonesia. Tujuannya, untuk mendukung pengembangan pendidikan holistik yang didukung oleh UNESCO, Empat konsep pendidikan menghidupkan nilai; pendidikan mengetahui (how to know), melakukan (how to do), keberadaan (how to be), dan untuk hidup bersama (how to togetber).
Dari sejumlah program kegiatan pcngembangan pendidikan holistik itu, LVEP membuat empat seri buku yang menarik untuk dibaca dan dikembangkan. Seri Pendidikan Karakter, Pendidikan Menghidupkan Nilai untuk Pesantren, Madrasah dan Sekolah, sejalan dengan 12 nilai universal, Buku itu sernacam antologi tulisan yang kontributornya pelatih LVEP yang telah melaksanakan pengembangan program ke 50 pesantren, madrasah, dan sekolah di seluruh Indonesia.
Membudayakan sikap damai menjadi tema sckaligus aksi penting di tengah bangsa yang dilanda budaya tandingan, di rengah birokrasi yang tak harmonis, politikus yang korup, serta kampus yang kchilangan nyakola. Dengan nada utopis, mari kita mcnghidupkan nilai, menciptakan budaya (Pungkit Wijaya, 2016:29-31).
Untuk menciptakan perdamaian harus dilakukan upaya memenuhi rasa keadilan, kesejahteraan dan rasa aman individu (komunitas), baik dari ancaman fisik maupun ekonomi. Pasalnya, dengan kedamaian kita bisa mengontrol emosi dan pikirannya agar tidak melakukan tindakan yang merugikan orang lain yang bisa memicu terjadinya konflik, kekerasan atas nama agama secara terbuka.
Dengan demikian, membangun kedamaian tidak hanya sekadar tidak adanya perang, konflik, tetapi keadaan pikiran yang tenang dan santai, karena jika setiap orang merasa damai, maka ia akan memiliki pikiran dan perilaku yang positif dan dunia akan menjadi damai. Semoga.
IBN GHIFARIE, Pegiat kajian agama dan media di Institute for Religion and Future Analysis (IRFANI) Bandung.