Cerita tentang Keberagaman bagi Para Penghayat Cilik
Lewat cerita, para penghayat cilik Aliran Kebatinan Perjalanan (AKP) di Bandung Raya belajar tentang keberagaman. Mereka juga memupuk rasa percaya diri.
Penulis Virliya Putricantika28 Februari 2022
BandungBergerak.id - Tatapan setiap anak di Pasewakan Kerta Tataning Hirup Linuwih, Ciparay, Kabupaten Bandung, Minggu (27/2/2022) siang, tertuju pada Bunda Cinta dan Asep, boneka berbaju kotak-kotak merah dengan celana biru yang dipeganginya. Mereka memperhatikan dengan penuh minat setiap kalimat dalam cerita diucapkan.
Dikisahkan, Ujang adalah seorang anak yang tinggal bersama neneknya setelah kedua orang tuanya meninggal. Di Sekolah Lestari, ia kerap oleh Tigor, teman sekelasnya. Pertemuan dengan Pak Amir di perpustakaan sekolah membuat Ujang gemar membaca, terutama pelajaran agama. Ia pun tumbuh menjadi anak yang jujur sehingga membuat Pak Amir bangga dan sang kelapa sekolah memberinya hadiah berupa apel. Tigor pun akhirnya meminta maaf pada Ujang, lalu keduanya berteman baik.
Cerita yang disampaikan Bunda Cinta dan Asep menyemarakkan rangkaian kelas keliling yang digulirkan oleh para penyuluh Aliran Kebatinan Perjalanan (AKP) di kawasan Bandung Raya, bekerja sama dengan Yayasan Akasia. Anak-anak yang jadi peserta didiknya datang dari Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kota Cimahi, dan Kabupaten Bandung Barat.
Penyampaian cerita (storytelling) merupakan salah satu cara pembelajaran yang dipilih para penyuluh. Materi tentang keberagaman yang dikemas secara lebih interaktif terbukti mampu menarik perhatian para penghayat kecil. Selain intonasi dan ekspresi muka sang pendongeng, kehadiran boneka tangan membuat para peserta didik lebih mudah memahami pesan cerita.
“Jadi yang kita ajarkan pada peserta didik di kegiatan ini adalah menerapkan nilai Bhineka Tunggal Ika pada kehidupan sehari-hari,” ujar Setiawan, ketua pelaksana kegiatan storytelling di kelas keliling akhir pekan itu.
Para generasi muda AKP sendiri telah diajarkan tentang sejarah diri sendiri dengan analogi anggota tubuh. Walaupun tiap-tiap anggota tubuh memiliki fungsinya masing-masing, tetapi semua tergabung dalam satu individu yang sama. Pemahaman yang dimulai dari hal kecil tersebut kemudian dikembangkan dalam melihat keberagaman yang ada di Indonesia.
Proses penanaman nilai keberagaman dilakukan lewat permainan yang memungkinkan para perserta didik terlibat aktif selama kegiatan berlangsung. Mereka dengan antusias menjawab setiap pertanyaan dan mengingat pesan cerita yang disampaikan.
“Kami bekerja sama mengajarkan keberagaman budaya agar kita saling menghargai satu sama lain dalam perbedaan yang ada di Indonesia,” tutur Umi, perwakilan Yayasan Akasia.
Baca Juga: Ruang bagi Transgender dan Penghayat Kepercayaan di Kolom KTP Kota Bandung
Mengikis Stigma dengan Meningkatkan Kapasitas Para Perempuan Penghayat
Saling Mengenal, Lebih Percaya Diri
Menjadi bagian dari keberagaman yang ada di Indonesia, para penghayat tidak jarang masih mengalami sikap dan kebijakan diskriminatif semata-mata karena minoritas di lingkungannya. Dalam urusan administratif, misalnya, negara yang dikenal dengan kekayaan suku, bangsa, dan agama ini baru bersedia mencantumkan aliran kepercayaan dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) sejak tahun 2019 lalu.
Para penghayat cilik dan penghayat muda Aliran Kebatinan Perjalanan (AKP) pun kadang masih merasakan dampaknya dalam pergaulan keseharian, termasuk di sekolah. Meski memiliki teman dari berbagai macam suku yang ditemui di kelas, menjadi penghayat tetap terasa berbeda dari individu lainnya. Melalui kelas keliling setiap akhir pekan ini, para penghayat cilik dan penghayat muda se-Bandung Raya bisa bertemu dan saling mengenal.
“Bertemu sesama penghayat Aliran Kebatinan Perjalan dari berbagai tempat di Bandung Raya ini secara nggak langsung menumbuhkan rasa percaya diri anak-anak,” ungkap Setiawan.
Kelas keliling di Pasewakan Kerta Tataning Hidup Linuwih sudah bergulir selama beberapa pekan. Akhir pekan lalu, menggandeng komunitas Danurweda, kelas ini digelar berbarengan dengan perayaan Hari Bahasa Ibu Internasional. Para peserta didik yang datang dari berbagai daerah di Bandung Raya bersama-sama mempelajari huruf hanacaraka sebagai bagian dari upaya mengenal lebih jauh Bahasa Sunda.