• Opini
  • JEJAK PRAKTIK BAIK DI BANDUNG #2: Merawat Spirit Konferensi Asia Afrika

JEJAK PRAKTIK BAIK DI BANDUNG #2: Merawat Spirit Konferensi Asia Afrika

Ramadan menjadi momentum penting dalam merawat ingatan kita untuk melawan lupa terhadap peristiwa Dasasila Bandung pada yang lahir dari Konferensi Asia Afrika.

Ibn Ghifarie

Pegiat kajian agama dan media di Institute for Religion and Future Analysis (IRFANI) Bandung.

Situasi sekitar Gedung Merdeka, Jalan Asia Afrika, Kota Bandung , Kamis (1/4/2021). Sebagian warga Bandung memakai bahasa Sunda sebagai bahasa percakapan sehari-hari. (Foto: Prima Mulia)

3 April 2022


BandungBergerak.idBila seorang muslim menerapkan prinsip Islam secara khaffah, termasuk dalam penanggalan hijriah, maka dapat dipastikan ketika memasuki awal Ramadan menjadi momentum yang tepat untuk merawat kembali ingatan tentang peristiwa Dasasila Bandung.

Pasalnya, salah satu warisan Indonesia untuk perdamaian dunia terjadi pada tanggal 1 Ramadan 1374 hijriah (24 April 1955 masehi) dalam rangkaian Konferensi Asia Afrika (KAA) pertama di Bandung dari tanggal 25 Syaban-2 Ramadhan 1374 (18-25 April 1955).

Rupanya kita malah lebih asyik mengutamakan penanggalan masehi daripada hijriah dan melupakan sejarah berharga urang Bandung.

Padahal tahun hijriah adalah penanggalan dalam Islam yang menjadikan tahun peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW ke Madinah sebagai tahun pertama. Kalender ini mulai diberlakukan pada masa pemerintahan Umar ibn Khattab. Kala itu kawasan Islam semakin luas. Urusan administrasi kenegaraan juga semakin memerlukan penanganan yang lebih teratur.

Setelah menerima amanah kekhalifahan, Umar ibn Khattab menggelar musyawarah dengan para sahabat untuk membicarakan penentuan hitungan tahun Islam. Dalam pertemuan itu yang akhirnya disepakati adalah usul Ali ibn Abu Thalib, yaitu mengambil peristiwa hijrah Nabi SAW sebagai awal hitungan Islam karena kejadian itu merupakan titik terang perkembangan Islam dan mengandung banyak nilai yang diperlukan umat Islam guna menapaki kehidupan dunia dan akhirat (Ahmad Rofi' Usmani, 2016: 157).

Sejarah puasa di bulan Ramadan tidak bisa dilepaskan dari peristiwa penting hijrah Nabi SAW ke Madinah. Hijrah yang ditandai perpindahan (eksodus) Rasulullah dan para sahabatnya dari Mekkah ke Madinah dalam rangka menghindari gangguan kaum Quraisy. Peristiwa hijrah merupakan momentum penting pembentukan dan penyempurnaan syariat Islam di kemudian hari.

Puasa Ramadan diwajibkan pada Nabi Muhammad SAW dan umatnya pada bulan Sya'ban tahun 2 hijriah dengan cara dan model yang dilakukan umat Islam selama ini. Ibadah fisik (ritual Islam) kebanyakan diwajibkan pada tahun 2 hijriah ini (Yusuf Burhanudin, 2006:20).

Hikayat Dasasila Bandung

Ingat, Konferensi Asia Afrika yang dihadiri oleh 29 pemimpin dari Asia dan Afrika ini menjadi tonggak awal proses lahirnya Gerakan Non-Blok, yang berupaya menghadang perang dingin antara Amerika Serikat dengan Uni Soviet. Para pemimpin membahas tentang perdamaian, peran negara, perkembangan ekonomi, dan dekolonisasi.

Mayoritas peserta yang datang dari Afrika, menyampaikan 10 aspirasi yang disebut Dasasila Bandung untuk mendukung proses kemerdekaan demi terciptanya kedamaian dan kerja sama dunia.

Sepuluh Dasasila Bandung ini memuat ikhtiar bersama untuk: Pertama, menghormati hak-hak dasar manusia dan tujuan-tujuan serta asas-asas yang termuat di dalam piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Kedua, menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua bangsa. Ketiga, mengakui persamaan semua suku bangsa dan persamaan semua bangsa, besar maupun kecil.

Keempat, tidak melakukan intervensi atau campur tangan dalam persoalan dalam negeri negara lain. Kelima, menghormati hak-hak setiap bangsa untuk mempertahankan diri secara sendirian ataupun kolektif yang sesuai dengan Piagam PBB. Keenam, tidak menggunakan peraturan-peraturan dari pertahanan kolektif untuk bertindak bagi kepentingan khusus dari salah satu negara besar dan tidak melakukannya terhadap negara lain.

Ketujuh, tidak melakukan tindakan-tindakan ataupun ancaman agresi maupun penggunaan kekerasan terhadap integritas wilayah maupun kemerdekaan politik suatu negara. Kedelapan, menyelesaikan segala perselisihan internasional dengan jalan damai, seperti perundingan, persetujuan, arbitrasi (penyelesaian masalah hukum), ataupun cara damai lainnya, menurut pilihan pihak-pihak yang bersangkutan sesuai dengan Piagam PBB.

Kesembilan, memajukan kepentingan bersama. Kesepuluh, kerja sama menghormati hukum dan kewajiban-kewajiban internasional (Kompas,  01 April 2015 dan 15 Maret 2022, Her Suganda, 2011:46-47).

Bandung menjadi semakin layak dijuluki kota sejarah ketika terpilih menjadi kota penyelenggara Konferensi Asia Afrika  pada 1955. Peristiwa ini dihadiri oleh kepala negara dari berbagai negara Asia Afrika, di antaranya Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo dari Indonesia, Perdana Menteri U Nu dari Birma, Perdana Menteri Jawaharlal Nehru dari India, Perdana Menteri Mohamad dari Pakistan, Perdana Menteri Sir John Kotelawal dari Srilanka. Pada konferensi itu dicapai sebuah deklarasi (Dasasila Bandung) yang menegaskan pentingnya kemerdekaan dan kerja sama negara-negara di dunia.

Pada saat Kota Bandung dijuluki Ibu Kota dari Asia Afrika menjadi saksi sejarah dunia atas terselenggaranya KAA. Meskipun tidak secara resmi, tapi dalam pidato Perdana Menteri India kala itu, Jawaharlal Nehru mengatakan bahwa "Bandung adalah Ibu kotanya Asia-Afrika".

Sampai saat ini, Gedung Mereka yang menjadi tempat berlangsungnya Konferensi Asia-Afrika masih berdiri kokoh di Bandung. Salah satu sisi bangunan juga difungsikan sebagai Museum Konferensi Asia-Afrika untuk pengunjung yang ingin mempelajari lebih dalam kisah bersejarah ini (Sherly A. Suherman, 2009, Siti Nur Aidah, 2021:14-15).

Hadirnya, monumen Dasasila Bandung yang terletak di simpang lima Bandung bertumpu pada konsep Bandung sebagai kota kembang, kota budaya, dan kota konferensi Asia-Afrika. Lima putik pada bagian atasnya menunjuk pada lima negara pemrakarsa, sementara sepuluh susun kelopak mengatakan ihwal sepuluh keputusan penting konferensi.

Keseluruhan monumen itu berbentuk bunga, dimaksudkan untuk menegaskan citra Bandung sebagai kota kembang dan kota budaya. Dibanding dengan monumen Sunaryo lainnya, sebenarnya monumen ini tak cukup optimal memperlihatkan kepiawaian imajinasi seorang Sunaryo.

Demikian ketika monumen-monumen masa lalu umumnya miskin karakter simbolik, karena terpaku pada figur-figur manusia. Sunaryo mencoba sesuatu yang berbeda. la lebih cenderung mengolah tema, meski tampak tak selalu cukup leluasa dalam mengembangkan bahasa bentuknya.

Salah satu monumen yang olah konsep konfigurasi bentuknya paling memesona sebetulnya adalah monumen Yogya Kembali yang mengolah konsep tumpeng sebagai pusat gravitasi spiritualitas jawa. Sayang eksekusinya diwarnai banyak kepentingan, hingga hasil akhirnya tidak cukup memuaskan dan tak seperti yang semula direncanakan (I. Bambang Sugiharto, 2007:66-67).

Inilah Dasasila Bandung yang membawa nama Bandung dikenal ke berbagai pelosok dunia. Sepuluh sila konferensi Bandung itu pada hakekatnya berkisar kepada masalah hubungan internasional yang sifatnya terletak di bidang politik. Politik tentang hak-hak manusia dan kehendak mempertahankan perdamaian dunia dengan segala aspeknya, baik dilihat dari sudut sebab maupun akibat dari sesuatu berdasarkan sikap politik (Diah, 1980: 4 dan Syarifuddin, ‎Tian Hadiansyah, 2022:260).

Kita ketahui secara bersama tujuan filosofis, dalam Dasasila Bandung; prinsip-prinsipnya, kerja sama, dan peaceful co-existence. Meskipun dulu Dasasila Bandung dilahirkan dalam sebuah konferensi yang dilaksanakan oleh orang-orang bangsa Asia dan Afrika, tapi pada pengaplikasiannya diharapkan bisa untuk semua orang di dunia.

Public Officer ISG 2017 Teguh Adhi Primasanto menjelaskan kembali mengenai Dasasila Bandung. “Jika merujuk kembali ke dalam perinsip-prinsipnya Dasasila Bandung, seperti adanya kesetaraan, kerja sama, dan co-existence adalah merupakan sesuatu hal yang universal.

Baca Juga: JEJAK PRAKTIK BAIK di BANDUNG #1: Mengokohkan Rumah Bersama
Binadamai di Tengah Pusaran Radikalisme
Harmoni Sunda dan Islam dalam Puisi Isra Miraj

Musium Konferensi Asia Afrika, Bandung, Kamis (21/10/2021). Musium KAA jadi musium yang boleh kembali buka di Kota Bandung setelah tak ada lagi zona merah Covid-19 di Indonesia. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)
Musium Konferensi Asia Afrika, Bandung, Kamis (21/10/2021). Musium KAA jadi musium yang boleh kembali buka di Kota Bandung setelah tak ada lagi zona merah Covid-19 di Indonesia. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Dari Bandung: Jalan Baru Sejarah

Orang sering mengatakan kepada kita, bahwa "kolonialisme sudah mati".Janganlah kita mau tertipu atau dininabobokkan olehnya! Saya berkata kepada Tuan2: kolonialisme belumlah mati! Bagaimana kita dapat mengatakan ia telab mati, selama daerab2 yang luas di Asia dan Afrika belum lagi merdeka! - Sukarno, 18 April 1955.

Sepuluh pernyataan Bandung 1955 yang dikenal sebagai Dasasila Bandung (Bandung Spirit) adalah titik mula ihwal permufakatan bangsa-bangsa tertindas di Asia dan Afrika. Diinisiasi Indonesia (Sukarno) dan diselenggarakan di Kota Bandung, Jawa Barat, merupakan pergelaran terbesar internasional yang dihelat Indonesia setelah sepuluh tahun merdeka. Dalam pernyataan Ki Hadjar Dewantara, Konferensi Asia-Afrika adalah "Peristiwa terpenting dalam hubungan internasional selama RI berdiri. Kita dulu tidak mungkin melaksanakan koeksistensi karena dirintangi oleh kekuatan kolonial. Sekarang kita wajib melaksanakannya karena rintangan itu sudah tidak ada."

Daya jangkau, muatan isu, dan gelora semasa menjadikan Konferensi Asia Afrika (KAA) meniadi lembar terbaru bagaimana negara-negara (bekas) jajahan di kawasan benua Asia dan Afrika merumuskan masa depannya.

Inilah untuk pertama kalinya dalam seiarah, utusan-utusan dari 29 negeri di Asia dan Afrika Yang mewakili lebih dari separuh umat manusia berkumpul untuk menentukan nasib dan hari-harinya sendiri. Ethiopia, Jepang, Yordania, Liberia, Lebanon, Libya, Nepal, Pakistan, Filipina, Sudan, Siria, Muangthai, Turki, Republik Rakyat Tiongkok, Vietnam Selatan, Kamboja, Laos, Mesir, Iran, dan Irak antara Iain negeri-negeri yang ingin melihat Asia dan Afrika berada dalam trek sejarah dunia baru yang diatur dan dikelola oleh orang-orang Asia dan Afrika sendiri.

Sebab selama berabad-abad nasib mereka "ditentukan" oleh tangan-tangan yang bukan Asia dan bukan pula Afrika. Di luar Volkenbond dan PBB, Konferensi Bandung adalah konferensi paling besar yang dikenal sejarah hingga tahun 50-an. Dalam sejarah Asia dan Afrika, Konferensi Bandung menjadi titik balik bagaimana negeri-negeri di Asia dan di Afrika ditentukan oleh Asia dan Afrika sendiri.

Memang, tak sedikit yang sinis atas penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika. Misalnya, banyak yang ragu bagaimana mungkin negara-negara yang sudah tergabung dalam SEATO bikinan USA mau datang ke Bandung, seperti Pakistan, Thailand, dan Filipina.

Mari kita bandingkan misalnya "sambutan" koran mingguan semacam Star Weekly yang digawangi P.K. Ojong dan pers-pers nasionalis kiri semasa seperti Harian Rakjat dan Bintang Timur. Mingguan Star Weekly nyaris tak memberi tempat sedikit pun peristiwa internasional yang luar biasa terjadi dalam negerinya sendiri, sementara Harian Rakjat memberikan tiga halamannya setiap hari untuk merekam dan mencatat denyut Konferensi Bandung. Bahkan, koran milik PKI ini mengeluarkan edisi khusus berbahasa Inggris.

Sinisme dan ketakpercayaan dunia dan elemen-elemen yang meremehkan kekuatan politik Sukarno dijawab oleh kerja keras Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Sosok ini berhasil meyakinkan negara-negara sahabat sepenanggungan untuk bersama-sama menciptakan sejarah baru untuk Asia dan Afrika.

Konferensi Asia Afrika yang berlangsung dari 18-25 April itu melahirkan lima keputusan, sepuluh pernyataan, dan empat seruan. Lima keputusan KAA itu adalah: pertama, kerja sama ekonomi; kedua, kerja sama kebudayaan; Ketiga hak-hak manusia dan hak menentukan nasib sendiri; keempat, masalah-masalah rakyat yang tergantung; kelima, masalah perdamaian dunia dan kerja sama (Muhidin M Dahlan, 2019:25-27).

Uniknya, saat Konferensi Asia-Afrika di Bandung  berkumandang ke seluruh penjuru dunia. Nama Indonesia semakin terkenal karena bersama India, Pakistan, Birma dan Srilanka, mereka menjadi negara-negara pemrakarsa. Lebih populer lagi kota Bandung, selain sebagai tempat diselenggarakannya konferensi 29 negara Asia-Afrika, juga sering disebut namanya dalam masalah-masalah politik internasional sebagai Bandung Spirit atau Dasasila Bandung, yang dilahirkan oleh Konferensi Asia-Afrika.

Dari Bandunglah lahir istilah-istilah internasional co-existence (hidup berdampingan secara damai), disarmament (perlucutan senjata) dan weapons of mass destruction (senjata penghancur yang dahsyat).

Tatkala aku menunaikan ibadah haji pada tahun 1960, aku berjumpa dengan orang-orang dari Afrika yang memberi salam begitu hangat setelah mengetahui bahwa aku orang Indonesia. Dalam pandangan mereka, lahirnya negara-negara merdeka di Afrika, juga gerakan kemerdekaan di banyak negeri jajahan di Afrika, disebabkan oleh gelora Spirit Bandung  yang dilahirkan oleh Konferensi Asia-Afrika tersebut (KH Saifuddin Zuhri, 2013:618).

Dasasila Bandung sendiri banyak membahas berbagai isu. Mulai dari ketimpangan dan konflik akibat "bom waktu" yang ditinggalkan oleh negara-negara barat, yang saat itu masih dicap sebagai negara yang selalu mementingkan imperialisme dan kolonialisme, kekhawatiran munculnya perang nuklir yang akan menyebabkan perubahan peradaban, hingga ketidakadilan badan-badan dunia internasional dalam penyelesaian berbagai konflik.

Semua ini juga menjadi perhatian Sukarno pada saat itu. Sukarno mengadakan Konferensi Asia Afrika bersama Presiden Josip Broz Tito (Yugoslavia), Gamal Abdel Nasser (Mesir), Muhammad Ali Jinnah (Pakistan), U Nu (Burma), dan Jawaharlal Nehru (India). Konferensi Asia Afrika tersebut pada akhirnya membuahkan Gerakan Non-BIok.

Berkat jasa dari Bung KarnoIah, banyak negara di Asia Afrika yang memperoleh kemerdekaannya. Akan tetapi, yang disayangkan adalah masih banyak pula yang mengalami berbagai konflik berkepanjangan sampai dengan saat ini. Penyebabnya antara lain karena ketidakadilan dalam pemecahan masalah, yang masih banyak dikuasai oleh negara-negara kuat atau adikuasa.

Berkat jasa dari Bung Karno ini juga, banyak penduduk dari kawasan Asia Afrika yang tidak melupakan Sukarno apabila mereka mengingat atau mengenal tentang Indonesia. Untuk menjalankan politik luar negeri yang bebas aktif dalam dunia internasional, Presiden Sukarno sering mengunjungi berbagai negara dan bertemu para pemimpin dari negara yang bersangkutan. Berbagai negara dan para pemimpin yang telah ditemui oleh Sukarno antara lain Nikita Khrushchev (Uni Soviet), John Fitzgerald (Amerika Serikat), Fidel Castro (Kuba) dan Mao Tse Tung (RRC) (Adji Nugroho & Novi Fuji, 2020: 81-83).

Dalam konteks sekarang sudah saatnya awal Ramadan harus menjadi momentum yang penting dalam merawat ingatan kita untuk melawan lupa terhadap peristiwa Dasasila Bandung.

Dengan demikian, sangatlah penting ikhtiar membangun peradaban Islam (melalui penanggalan hijriah) yang berusaha mempersatukan dan memperkokoh melalui tindakan merawat ingatan.

Mudah-mudahan pada saat kita merayakan peristiwa Dasasila Bandung termasuk ke dalam kategori memahami sejarah, yang diinginkan oleh Sukarno, "jangan sekali-kali meninggalkan sejarah karena bangsa yang besar adalah bangsa yang memahami sejarahnya sendiri". Semoga.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//