• Kolom
  • SAWALA DARI CIBIRU #21: Konsumerisme di Bulan Ramadan

SAWALA DARI CIBIRU #21: Konsumerisme di Bulan Ramadan

Berburu takjil sudah menjadi gaya hidup masyarakat kontemporer pada bulan Ramadan. Bermula berburu takjil ini sebagai kebutuhan, kini berubah menjadi konsumerisme.

Elsa Azkia Yulianti

Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung, anggota LPIK

Para pedagang dan pembeli yang memadati sekitar halaman depan kampus UIN Bandung. (Foto Abul Mi’roj Barkah)

7 April 2023


BandungBergerak.id – Bulan Ramadan adalah waktu untuk orang muslim menunaikan ibadah puasa. Selain melakukan kewajiban berpuasa, ada juga hal lain yang dilakukan di bulan Ramadan ini, di antaranya, berburu takjil seraya menunggu azan magrib berkumandang. Sebagai mahasiswa UIN Bandung yang indekos di Cibiru saya melihat bahwa tradisi berburu takjil telah membuat area depan kampus UIN SGD Bandung sangat ramai dipenuhi oleh para pedagang. Para pengunjung pun semakin sore semakin bertambah, sehingga sepanjang jalan yang berdekatan dengan kampus UIN kerap mengalami macet.

Memang, fenomena berburu takjil seperti itu hampir terjadi di seluruh kawasan di Indonesia. Sebab, Indonesia sendiri merupakan negara dengan penduduk yang mayoritas beragama Islam. Maka tak heran jika sore hari banyak tempat dijumpai dengan orang-orang yang berjejalan. Bulan Ramadan sering disebut juga sebagai bulan penuh berkah. Mungkin karena itulah banyak warga Cibiru dan mahasiswa UIN Bandung mencoba mengambil keberkahan dalam berdagang di pasar dadakan.

Jika diamati, tradisi berburu takjil tersebut begitu lekat dengan budaya konsumtif. Tanpa disadari kita sering kalap saat membeli jajanan untuk berbuka puasa. Dalam Republika.co.id tanggal 23 April 2022 tercatat bahwa kegiatan konsumsi masyarakat dari tahun ke tahun pada bulan Ramadan menuju Lebaran meningkat sebanyak 25% sampai 30%. Hal ini menunjukkan angka yang cukup tinggi dalam masyarakat saat ini yang tidak terlepas dari budaya konsumtif. Yang menjadi pertanyaan,apakah fenomena ini lazim atau malah bisa menimbulkan masalah baru?

Baca Juga: SAWALA DARI CIBIRU #20: Filsafat pada Generasi Kini
SAWALA DARI CIBIRU #19: Ngareuah-Reuah Milangkala
SAWALA DARI CIBIRU #18: Menjadi Seorang Intelektual
SAWALA DARI CIBIRU #17: Menghadirkan Pengetahuan Lewat Media Kaus

Makhluk Ekonomi dan Budaya Konsumtif

Menurut John Kenneth Galbraith seorang ilmuwan ekonomi dari Amerika menyebutkan bahwa manusia adalah homo psycho-economicus (makhluk ekonomi), karena manusia selalu ingin memenuhi kebutuhannya secara rasional dalam rangka mencapai kesejahteraan atau mempertahankan hidup. Pada dasarnya sebagai makhluk ekonomi manusia memiliki kebutuhan dan keinginan yang ia perlukan semasa hidupnya (Priyono, 2017). Kebiasaan atau budaya membeli takjil sambil ngabuburit adalah salah satu tindakan alami dari homo psycho-economicus, baik berguna sebagai keinginan berbuka atau untuk mempertahankan hidup agar bisa melepas dahaga puasa.

Sejak adanya manusia di bumi, kegiatan jual beli telah berlangsung sejak lama. Namun hal yang menjadi masalah adalah tingkat konsumsi masyarakat yang terbilang tinggi, sehingga pada akhirnya dapat memengaruhi esensi dari kegiatan jual beli manusia yang disebut sebagai makhluk ekonomi. Tidak hanya itu nilai dari jual beli pun berkurang secara drastis atau bahkan tidak sesuai dengan kebutuhan dan keinginan.

Dalam contoh nyata budaya berburu takjil sudah menjadi gaya hidup masyarakat kontemporer dari waktu ke waktu, mungkin bisa dibilang sebagai satu bentuk budaya pada bulan Ramadan. Hal yang dapat membedakannya hanyalah satu, jika pada awalnya berburu takjil ini sebagai kebutuhan, kini berubah menjadi konsumerisme. Mengapa demikian? Karena terjadi konsumsi berlebih dari satu orang pembeli takjil yang sengaja membeli banyak menu berbuka tanpa memikirkan terlebih dahulu apakah akan termakan atau tidak. Hingga pada akhirnya takjil terbuang dan kegiatan ini terus-menerus dilakukan sepanjang bulan Ramadan.

Menurut Jean Baudrillard, konsumerisme ialah budaya konsumtif suatu kelompok dalam proses konsumsi atau pemakaian secara berlebihan yang bersifat tanpa sadar dan terus berkelanjutan. Namun Jean Baudrillard mengatakan bahwa konsumerisme kini telah berkembang pada tahap semiotika atau simbolik yang mana kegiatan konsumsi bukan lagi menjadi sesuatu yang bersifat seperlunya, tetapi menjadi konsumsi yang mengada-ada. Ciri yang paling gampang dilihat adalah dari faktor masyarakat yang membeli komoditas material atau barang-barang bukan sebagai kebutuhan dan fungsi melainkan sebagai cara hidup. Maka dengan itu dapat dipahami bahwa konsumsi sebagai cara hidup selalu menarik manusia untuk bisa mengejar, memiliki dan mengganti secara terus-menerus dengan pola perkembangan secara global (Djalal, 2022).

Konsumerisme pada Masyarakat Kontemporer

Konsumerisme sendiri terjadi tidak lain dari faktor latar belakang era kapitalisme yang digagas oleh Karl Max, yaitu suatu cara produksi yang dijalankan oleh kepemilikan pribadi sebagai sarana produksi. Hal yang terjadi pada pasar dadakan UIN Bandung menjadi satu ciri masyarakat konsumerisme yang dicirikan perilaku sengaja membeli, bahkan ditopang juga dengan berbagai inovasi yang disajikan oleh para pedagang, sehingga para pembeli pun tertarik untuk membeli.

Umpamanya, penjual goreng pisang, lama-kelamaan barang yang ia jual terus berinovasi seperti pisang aroma, pisang nugget, pisang rambut dan banana roll dengan berbagai macam pilihan rasa. Setelah itu ia sengaja membuat iklan promosi yang dikemas dengan nuansa menggugah selera pembeli. Dari hal ini minat pembeli menjadi kian variatif dan ingin mencoba semua varian sehingga orang ramai datang untuk membeli pisang yang dikreasikan.

Pertanyaannya apakah pembeli membutuhkan semua pisang itu? Tentu saja tidak. Tetapi hasrat dan keinginanlah yang menarik mereka ke jurang itu, yang oleh Baudrillard sendiri disebut dengan simulacra (simulasi yang bukan realitas). Maksudnya adalah keinginan yang muncul untuk membeli dan merasakan berbagai varian pisang itu disimulasikan dalam pikiran yang tidak nyata bahwasanya pisang rambut pasti akan lebih enak dibanding pisang aroma. Pada realitasnya itu semua palsu dan hanya angan-angan yang wajib diberi kepuasan dengan membeli dan mengonsumsi. Setelah mencoba semua pisang dalam berbagai varian, rasanya tetap saja pisang dan tidak seenak simulasi yang dibayangkan. Begitulah cara sistem kapitalis yang mulai menumbuhkan konsumerisme pada masyarakat kontemporer.

Jean Baudrillard juga berpendapat bahwa konsumerisme merupakan satu simbol atau semiotika yang mampu menunjukkan status sosial. Contoh pada bulan puasa ini ada satu kegiatan yang tidak pernah terlewat, yaitu agenda buka bersama (bukber). Biasanya bukber ini dilaksanakan di rumah atau tempat makan khas Indonesia seperti di restoran nasi timbel atau nasi Padang. Dengan keadaan zaman yang terus berubah dan pemasaran iklan di mana-mana, tren buka bersama di rumah atau di restoran nasi timbel sudah tidak hits lagi untuk dilakukan. Para remaja atau tak sedikitnya orang tua memilih buka bersama di resto mahal dan elit. Mereka lebih memilih berbuka dengan menu sushi, grill, steak, atau restoran cepat saji karena dianggap lebih kekinian. Sama halnya dengan fenomena ngabuburit. Banyak orang memilijh menghabiskan waktu ngabuburit di mal-mal seperti Ubertos, Ujung Berung, sambil menonton sinema daripada antre beli cilor dan kolak di pasar dadakan UIN Bandung. 

Konsumsi adalah fenomena sosial yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Karena, dengan praktik konsumsilah setiap manusia dapat melanjutkan keberlangsungan hidupnya. Terlihat jelas budaya konsumerisme yang di kemukakan oleh Jean Baudrillard mengenai konsumsi sebagai faktor hasrat pemuas keinginan dari simulacra (simulasi yang bukan realitas) dan konsumsi sebagai status sosial. Dengan demikian hal ini dapat terjadi di mana pun dan kapan pun, tanpa disadari secara penuh dan bahkan berdampak secara berkelanjutan.

* Tulisan Sawala dari Cibiru merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan UKM Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK)

 

Editor: Redaksi

COMMENTS

//