• Kolom
  • SAWALA DARI CIBIRU #17: Menghadirkan Pengetahuan Lewat Media Kaus

SAWALA DARI CIBIRU #17: Menghadirkan Pengetahuan Lewat Media Kaus

Aleitheia khusus memproduksi kaus-kaus bertemakan diskursus dari tokoh-tokoh filsuf hingga pergerakan. Melalui kaus, pesan tersampaikan.

Hafidz Azhar

Penulis esai, sejak September 2023 pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan (Unpas), Bandung

Kaos bergambar filsuf Slavoj Zizek yang dibuat LPIK tahun 2011. (Foto: Hafidz Azhar/penulis)

9 Maret 2023


BandungBergerak.idAda banyak upaya yang bisa dilakukan seseorang untuk mengenalkan tokoh-tokoh penting ke hadapan publik. Salah satunya melalui kaus sebagai media. Pada tahun 2010-an di UIN SGD Bandung pernah muncul produk kaus dengan brand Aleitheia. Meski sudah tersebar luas di luar kampus UIN SGD Bandung, kaus tersebut dijual secara terbatas. Farid Yusuf, penggagas sekaligus tukang desain Aleitheia mengatakan bahwa dirinya tidak berniat untuk melakukan bisnis lewat kaus itu. Lebih jauh, Farid hanya ingin menghadirkan tokoh-tokoh penting melalui pakaian terutama kaus, karena menurutnya dapat menjadi media yang mudah diperkenalkan kepada masyarakat, khususnya di kampus UIN SGD Bandung.

Farid sendiri merupakan lulusan akidah filsafat UIN SGD Bandung. Di samping itu ia juga pernah bergabung dengan LPIK sekitar tahun 2000-an. Berangkat dari pengalamannya dalam dunia clothing, Farid memutuskan untuk membuat kaus sendiri yang mengedepankan nilai-nilai literasi. Bukan hanya itu, Farid juga sedikit menguasai ilmu desain, sehingga apa yang dipahaminya tentang cara-cara mendesain dapat diaplikasikan dalam semua produk Aleitheia.

Menjelang akhir 2010, jurusan akidah filsafat pernah menggelar acara Bedah Buku Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia, karya Harry A. Poeze di Aula Abjan Sulaiman UIN SGD Bandung. Di situ tampak beberapa anggota LPIK menggunakan kaus oblong berwarna hitam. Nur Aziz, misalnya. Pada acara tersebut Nur Azis terlihat mengenakan kaus bergambarkan sosok Pramoedya Ananta Toer dengan logo Aleitheia di bagian belakang paling atas. Selain itu ada juga Acus yang mengenakan produk Aleitheia bergambar Nietzsche. Bahkan menurut Farid, model Nietzsche dalam kaus berlengan pendek itu merupakan produk yang pertama kali dimunculkan Aleitheia.

Selain menampilkan sosok Nietzsche dan Pramoedya, Aleitheia juga menghadirkan tokoh-tokoh dari beragam bidang. Mulai dari tokoh sufi, penyair, musisi hingga komedian seperti Charles Chaplin. Kaus bergambar Chaplin ini tentu berbeda dengan dua kaus sebelumnya. Di samping berwarna dasar putih, wajah Chaplin pun diplesetkan menjadi Hitler dengan latar di belakangnya simbol swastika yang dibuat samar. Lalu di bagian atas terdapat semacam tagline yang mengacu kepada Hitler, yaitu The Great Dictator, seakan-akan terdapat kemiripan kumis antara Chaplin dan Hitler.

Selain Chaplin, ada juga produk bernuansa Wiji Thukul, dengan merah sebagai warna dasarnya. Tetapi pada kaus Wiji Thukul itu hanya menampilkan kepalan tangan di bagian depan, sementara di bagian belakang diisi dengan penggalan akhir puisi Wiji Thukul yang sangat terkenal berjudul Peringatan.

Di balik banyaknya peminat kaus Wiji Thukul, ternyata terdapat satu cerita emosional. Pernah suatu hari Farid dibanjiri pesanan kaus bernuansa perlawanan itu. Sayangnya, salah satu pembeli menggunakan kaus tersebut di kala berdua-duaan dengan sang pacar. Farid pun seketika marah. Sebab, meski dikemas secara populis, Farid ingin menyuguhkan Aleitheia kepada orang yang tepat dengan wawasan literatur kuat. “Saya marah ketika itu, karena kaus Aleitheia dipakai untuk bucin (budak cinta). Dari sini saya pilih-pilih pembeli, terutama pembeli yang wawasan literaturnya kuat,” ungkapnya.

Sampai kini, Aleitheia masih memproduksi kaus secara terbatas. Bahkan di tengah-tengah pandemi Aleitheia tetap berproduksi dengan visualisasi yang lebih populis dibandingkan saat pertama kali muncul. Jika dulu kaus Aleitheia lebih dominan dengan satu gambar tokoh dan model tangan pendek, kali ini justru banyak menampilkan visualisasi simbol dengan beragam warna dan model tanpa keluar dari nuansa diskursus yang kentara. Belakangan, misalnya, Aleitheia mengeluarkan kaus bertema roman klasik Layla Majnun karya Nizami Ganjavi. Kaus dengan model lengan panjang ini menampilkan setengah wajah perempuan berkerudung sebagai ikon Layla. Tepat di bagian tengah gambar perempuan itu disisipi nama Nezami Ganjavi yang berukuran besar. Bahkan nama ini juga tertera pada masing-masing lengan. Selain itu di atasnya tampak judul Layla Majnun yang ukurannya lebih kecil, sedangkan di bagian bawahnya tertulis ALTCLTHBDG (Aleitheia Cloth. Bandung) sebagai brand dari kaus itu.

Baca Juga: SAWALA DARI CIBIRU #14: Mitos LPIK dan Gladiator Wacana
SAWALA DARI CIBIRU #15: Dari Diskursus ke Aksi
SAWALA DARI CIBIRU #16: Wacana dalam Catatan

Terbawa Jejak Aleitheia

Setelah kehadiran Aleitheia mewarnai diskursus di UIN SGD Bandung, di masa-masa selanjutnya LPIK mencoba menekankan keberadaannya lewat kaus Milangkala. Sumbangan gagasan Farid lewat Aleitheia tentu saja berpengaruh, sekurang-kurangnya bagi para pengurus LPIK dalam merencanakan pembuatan kaus. Tidak seperti Aleitheia, kaus Milangkala diperuntukkan bagi para pengurus dan anggota LPIK, meskipun tersedia juga untuk para peminat di luar LPIK. Sementara dari segi tampilan kaus Milangkala LPIK tidak menunjukkan tokoh seperti kebanyakan kaus Aleitheia, tetapi lebih menonjolkan simbol dari tema Milangkala waktu itu. Kaus Milangkala tersebut hadir bertepatan dengan ulang tahun LPIK yang ke-15 pada 2011. Kala itu rengrengan LPIK mengusung tema Sejarah Peradaban Manusia. Dengan hitam sebagai warna dasarnya, kaus Milangkala LPIK ke-15 menampilkan visualisasi akar pohon sebagai simbol dari sejarah.

Di samping itu, pada tahun 2013 LPIK kembali melahirkan kaus bernuansa diskursus. Kali ini bertepatan dengan Milangkala LPIK ke-17. Dengan mengusung tema “Philosophy Party”, para pengurus LPIK berhasil memproduksi kaus dengan wajah Karl Marx sebagai gambar utama. Tidak hanya itu, kaus yang berwarna dasar hijau tersebut memodifikasi wajah Karl Marx dengan mengenakan kaca mata. Pada kaca mata itu seolah-olah terpantul gambar sorak sorai dari sekumpulan orang laiknya para penonton di sebuah pesta, sehingga jika ditafsirkan, berkaitan erat dengan kemeriahan dalam acara pesta yang merujuk pada philosophy party sebagai tema Milangkala LPIK yang ke-17.

Sampai saat ini pembuatan kaus bernuansa diskursus masih dilakukan oleh pengurus LPIK. Pada tahun 2021 silam, misalnya, LPIK berhasil menjerat beberapa anggota baru. Setelah dinilai resmi menjadi anggota, para pengurus LPIK memberikan masing-masing kaus bergambar Slavoj Zizek yang juga bertuliskan You don’t hate Mondays, you hate capitalism. Itu menunjukkan bahwa pada kepengurusan LPIK di masa ini wacana kiri begitu kentara. Tentu saja, kaus bergambar Slavoj Zizek yang berhasil diproduksi oleh pengurus LPIK bukan semata-mata menunjukkan keinginan satu orang saja, sehingga dapatlah dikatakan jika upaya ini mengandung pesan bahwa kapitalisme memang harus dibenci. Di situlah pengetahuan diproduksi melalui kaus sebagai media.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//