• Kolom
  • SAWALA DARI CIBIRU #15: Dari Diskursus ke Aksi

SAWALA DARI CIBIRU #15: Dari Diskursus ke Aksi

Ada masanya diskursus Marxisme mendominasi jalannya diskusi di LPIK. Menggerakkan Kurawa untuk ikut turun aksi di jalan.

Hafidz Azhar

Penulis esai, sejak September 2023 pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan (Unpas), Bandung

Bagian gambar poster yang dibuat oleh Kurawa, sebutan bagi anggota LPIK (Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman. Poster tersebut dibuat untuk memperingati May Day tahun 2021. (Dokumentasi LPIK)

23 Februari 2023


BandungBergerak.id – Peralihan diskursus di LPIK dari masa ke masa terus menghasilkan pengetahuan dan minat yang baru. Selama saya bergabung dengan LPIK tidak sedikit dari para Kurawa (sebutan bagi anggota LPIK) concern terhadap wacana yang dimunculkannya, sehingga lahirlah pengetahuan baru yang tidak saja didapati oleh satu orang. Jika saya meminjam istilah Foucault bahwa diskursus menggambarkan bagaimana pengetahuan itu muncul, tentu saja, LPIK merupakan gembong dari beragam diskursus. Jadi, sejak awal berdirinya LPIK, sudah berapa banyak pengetahuan yang muncul?

Sebetulnya, apa yang ingin saya tulis mengenai peralihan diskursus yang terjadi di LPIK, terutama pada dekade 2010-an. Diawali tahun 2010. Di masa-masa ini, Amin dkk., misalnya, mengusung wacana Islamic Studies dalam satu periode. Kajian ini tentu saja merujuk pada kajian teks sebagai bahan diskusi, sehingga apa yang dibicarakan masih seputar gagasan dan yang terkait dengan profan atau tabu. Pada masa selanjutnya, yakni pada tahun 2011, pola diskursus berganti haluan. Sebagai kepala suku yang meneruskan estafet kepemimpinan Amin, Sabiq mengusung wacana Sejarah Peradaban Manusia selama satu tahun. Tetapi, lagi-lagi, kajian ini tidak terlepas dari pembicaraan teks. Dengan demikian di masa ini juga para kurawa masih berkutat pada ranah ide, yang mengutamakan arus keberlangsungan hidup manusia dari zaman ke zaman.

Sampai pada tahun 2012, pola diskursus di LPIK masih seputar pembicaraan gagasan. Meski demikian, di tahun-tahun ini tampak menghasilkan wacana baru sejak wacana Semiotika dan Marxisme sering digulirkan dalam kajian rutinan. Salah satu kurawa yang fokus dalam dua wacana itu ialah Ihsan Fauzal. Dalam setiap diskusi Ihsan sering menggunakan dua teori tersebut dalam mengamati gejala sosial maupun kebudayaan, sehingga saya menganggap bahwa ia telah berhasil memproduksi pengetahuan baru melalui kajian Semiotika dan Marxisme. Kendatipun untuk wacana Semiotika sendiri, sebetulnya, telah dibawa lebih dulu ke lingkungan LPIK oleh Kodum dkk. dari jurusan filsafat.

Setelah wacana Semiotika mulai terbiasa disampaikan dalam diskusi rutinan, kali ini Marxisme mendominasi jalannya diskusi di LPIK. Sebetulnya, kalau dilacak beberapa tahun ke belakang, para sesepuh LPIK juga kerap menggunakan Marxisme sebagai kerangka acuan analisis sosial. Malah, bukan hanya pada tataran analisis, mereka sudah bergelut langsung dalam permasalahan sosial di lapangan sebagaimana yang dilakukan oleh Kojek (Dindin El-Kenis). Pada tahun 2000-an Kojek bersama kawan-kawan lainnya pernah menginisiasi Gerakan Mahasiswa Progresif (GMP). Konon, GMP ini merupakan sempalan dari Aliansi Mahasiswa (Alam) yang masih menganut corak pemikiran Marxisme. Hingga tahun 2008, GMP masih aktif mewarnai dunia pergerakan di UIN SGD Bandung.

Pada kurun 2013-2015, wacana Marxisme semakin mendapat perhatian yang cukup besar di lingkungan LPIK, meskipun di antara beberapa orang masih memegang teguh minat kajiannya pada wacana keislaman dan filsafat. Dalam diskusi rutinan yang diadakan satu minggu dua kali, teori Marxisme kerap mengisi beragam isu, terutama isu-isu sosial yang sedang mencuat.

Pada tahun 2014, saat media sosial ramai memperbincangkan polemik Martin Suryajaya dengan Goenawan Mohammad, tidak sedikit dari para Kurawa mengikuti isu ini sampai ke akar-akarnya. Martin yang mewakili kaum kiri, ibarat pendekar yang berhasil melucuti keganjilan rengrengan Goenawan Mohammad sebagai representasi kelompok Manikebu, sehingga kala itu Martin dianggap sebagai ikon anak muda kiri. Awal mencuatnya polemik ini disebabkan oleh saling serang antara Martin dengan Goenawan Mohammad yang dimuat dalam Jurnal Indoprogress. Dari sini nama Martin Suryajaya seketika memuncak, bahkan kerap diundang pada acara-acara diskusi di berbagai kampus atau di luar kampus oleh komunitas-komunitas berlabel kiri, sekalipun LPIK pernah tertarik untuk membawa lulusan STF Driyarkara itu ke kampus UIN Bandung, tetapi tak kunjung berhasil.

Imbas dari mencuatnya nama Martin Suryajaya sebagai ikon muda yang berhaluan kiri tentu saja sampai ke lingkungan LPIK. Selain sebagian Kurawa berlangganan Jurnal Indoprogress, ada juga yang ngebet bergabung dengan organisasi pergerakan kiri. Sebut saja Yoga. Sebagai mahasiswa filsafat semester akhir, Yoga terinspirasi dengan ide-ide yang diusung oleh Karl Marx. Salah satu upaya untuk menerapkan gagasan Karl Marx dengan mengikuti pergerakan yang berhaluan kiri.

Baca Juga: SAWALA DARI CIBIRU #14: Mitos LPIK dan Gladiator Wacana
SAWALA DARI CIBIRU #13: Menemukan “Kamar Kecil” di Kamar Kecil LPIK
SAWALA DARI CIBIRU #12: Rumpi Ririwa sebagai Kegiatan Diskursif
SAWALA DARI CIBIRU #11: Membumikan Kajian Keislaman

Berkiprah dalam Pembebasan Kolektif Bandung

Pada tahun 2015, beberapa Kurawa diundang oleh Bara di Jalan Surapati, Bandung. Tujuan dari pertemuan itu, yakni untuk membentuk Pembebasan kolektif Bandung yang akan diisi oleh rengrengan LPIK. Di beberapa wilayah, Pembebasan kolektif memang telah lebih dulu dibentuk. Dalam akun Twitter resmi Pembebasan Nasional, organisasi kiri mahasiswa ini mengklaim secara khusus sikap kemandirian, demokratis, feminis dan ekologis, sekaligus mengindikasikan nilai-nilai praksis dalam merespons setiap permasalahan sosial. Hal ini selaras dengan keinginan Yoga sebagai Kurawa yang mengedepankan gagasan Marxisme dalam mengamati berbagai ketimpangan sosial di Indonesia.

Yoga yang waktu itu menjadi salah satu Kurawa yang ikut, didapuk menjadi ketua Pembebasan kolektif Bandung pertama. Beberapa kali Yoga pernah terlibat dalam berbagai aksi, bahkan memimpin orasi saat aksi untuk pembelaan terhadap warga Papua Barat. Setelah Yoga, pada masa selanjutnya Zulfi terpilih sebagai ketua Pembebasan Kolektif Bandung. Sebelumnya, tahun 2013-2014, Zulfi pernah menjabat sebagai ketua LPIK. Semasa di LPIK Zulfi banyak membaca teori-teori sosial, sehingga Pembebasan Kolektif dapat menjadi wadah untuk menyalurkan hasil bacaannya tersebut seperti yang ia tunjukkan saat mengorganisasi massa.

Hal-hal yang berkaitan dengan nilai-nilai praksis di LPIK tentu tidak saja ditunjukkan ketika para Kurawa bergabung dengan Pembebasan kolektif Bandung. Pada tahun 2014, para pengurus LPIK juga pernah melakukan aksi bersama seluruh Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di kampus UIN Bandung. Sasaran dari aksi ini ialah untuk menyampaikan aspirasi diberlakukannya jam malam karena telah menghambat segala kegiatan yang banyak digelar pada malam hari. Bukan hanya itu. Pada masa kepemimpinan Yuris bendera LPIK pernah membentang di sekitar ratusan massa ketika berlangsungnya aksi untuk memperingati May Day. Bahkan belakangan, saat semua mahasiswa menggelar aksi untuk menolak Omnibus Law, beberapa Kurawa LPIK juga hadir dalam menuntut kebijakan yang dirasa merugikan itu.

Demikianlah LPIK sebagai gembong diskursus di kampus UIN Bandung mampu menyuguhkan nilai-nilai praksis bagi para anggota yang terlibat di dalamnya. Ini mengindikasikan bahwa LPIK tidak hanya menghasilkan pengetahuan baru, tetapi juga mampu mengejawantahkan berbagai wacana pada tataran praktik yang lebih nyata seiring dengan banyaknya problem-problem sosial yang terjadi di masyarakat.

*Tulisan Sawala dari Cibiru merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan UKM Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK)

Editor: Redaksi

COMMENTS

//