SAWALA DARI CIBIRU #11: Membumikan Kajian Keislaman
Kajian keislaman tidak melulu menghadirkan kitab-kitab klasik. Perlu memunculkan disiplin keilmuan lain yang diintegrasikan dengan tradisi keislaman.
Aminuddin
Ketua Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) UIN SGD Bandung mubes periode 2009.
27 Januari 2023
BandungBergerak.id - Menjelang akhir tahun 2009, Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) mengadakan musyawarah besar (Mubes) bagi seluruh anggota dan pengurus. Kegiatan ini merupakan agenda tahunan yang menandakan pergantian ketua dan kepengurusan UKM LPIK selama satu tahun. Sudah beberapa periode kami melangsungkan mubes di halaman gedung rektorat UIN SGD Bandung. Begitupun dengan malam itu, malam ketika anak-anak LPIK dapat bersuka cita menunggu kehadiran ketua baru.
Tak ada firasat yang aneh sebelum maupun saat musyawarah itu berlangsung. Yang jelas waktu itu saya ikut merasa senang, karena dapat bertatap muka dengan seluruh anak-anak LPIK dan para alumni yang sengaja menyempatkan waktunya untuk datang ke agenda tahunan tersebut. Bahkan setelah mubes selesai, biasanya kami melanjutkan ritual wajib berupa makan-makan besar. Dari sini terkadang kami menyebut mubes sebagai mabes atau makan besar, hajatan kedua setelah milangkala.
Malang nasib menimpa saya. Kesenangan itu musnah seketika manakala saya diproyeksikan sebagai calon ketua LPIK. Mula-mula panitia mengumumkan ke hadapan musyawirin dan menuliskan nama saya di sebuah bor berwarna putih sebagai salah satu calon ketua LPIK bersama Acuz. Sebagai teman satu angkatan, jujur saja, ketika itu saya sangat berharap Acuz dapat suara terbanyak. Alasannya karena Acuz memiliki kecakapan dan wawasan keilmuan yang mumpuni, terutama soal kajian filsafat.
Sialnya, saat perhitungan suara berlangsung, nama saya tak henti menyalip Acuz. Sampai akhirnya panitia menghentikan perhitungan suara, karena semua suara sudah dihitung secara bulat. Detik-detik yang paling menyebalkan ini ternyata saya alami juga. Berdasarkan hasil perhitungan panitia bahwa suara terbanyak diraih oleh saya sendiri, sehingga peraih terbanyak otomatis maju ke hadapan musyawairin untuk memberikan prakata sebagai ketua terpilih, sekaligus menjelaskan tema diskusi yang akan dijalankan dalam kepengurusan LPIK selama satu tahun.
Baca Juga: SAWALA DARI CIBIRU #8: Berkenalan dengan Semiotika
SAWALA DARI CIBIRU #9: Mahasiswa Pagebluk Corona
SAWALA DARI CIBIRU #10: DPR sebagai Ruang Diskursus
Wacana Keislaman
Untuk menentukan tema kajian, sebetulnya tidak cukup dari keinginan saya sendiri. Akhirnya, setelah berembuk dengan semua pengurus, kami sepakat mengusung tema keislaman untuk membumikan kembali wacana keislaman. Tentu saja, bukan tanpa alasan. Dalam titik ini saya memandang bahwa kajian keislaman tidak melulu menghadirkan kitab-kitab klasik sebagai alat untuk memahami khazanah Islam, sehingga perlu untuk memunculkan disiplin keilmuan lain yang diintegrasikan dengan tradisi keislaman yang cenderung normatif. Berangkat dari pandangan ini dibutuhkan pemahaman mengenai integrasi kajian keislaman dengan paradigma keilmuan lain. Hal itu dapat dilihat dalam buku Islamic Studies di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif-Interkonektif karya M. Amin Abdullah, yang juga dijadikan sebagai acuan diskusi rutin di LPIK selama masa kepengurusan saya menjadi ketua.
Pada bulan Februari 2010, kami mengadakan Masa Bimibingan (Mabim) dan Taaruf Generasi Baru (TGB). Mabim sendiri digelar di sekre LPIK, sedangkan TGB diadakan di perkemahan Kiara Payung, Jatinangor. Selama Mabim dan TGB kami berhasil menggaet peserta sebanyak 12 orang. Jumlah ini dianggap paling banyak ketimbang beberapa periode sebelumnya. Kondisi ini tentu saja bukan hanya menyenangkan saya sebagai ketua, tetapi bagi semua pengurus yang terlibat. Setelah dua acara tersebut usai, kami berhak untuk melakukan tindak lanjut kepada anggota baru yang lulus mengikuti Mabim dan TGB. Salah satu bentuk tindak lanjut tersebut ialah melibatkan anggota baru pada diskusi rutin yang berlangsung dua kali dalam seminggu.
Secara teknis kegiatan diksusi rutin kali ini mengacu pada buku Islamic Studies di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif-Interkonektif karya M. Amin Abdullah. Masing-masing pembahas diberi satu bab dalam buku tersebut untuk dipresentasikan dengan disertai berbagai perspektif. Selain itu para pembahas juga diwajibkan untuk menulis hasil pandangannya. Bahkan tulisan itu diberikan kepada para penyimak yang hadir untuk dikomentari dari segi isi dan teknis penulisan.
Selama membahas buku Islamic Studies di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif-Interkonektif nuansa hangat selalu menyertai ruangan diskusi. Para pembahas tampak tidak terlalu kesulitan dalam menyampaikan pandangannya, karena buku itu cukup mudah dipahami sekalipun ada istilah-istilah filsafat yang sukar dicerna. Salah satu yang menjadi diskusi menarik yaitu tentang kajian ilmu kalam di lingkungan Institut Agama Islam Negeri (IAIN), yang isinya menggambarkan perdebatan, corak berpikir, doktrin kelompok dan dogma. Hal ini dapat ditarik kesimpulan sebagai representasi berbagai kelompok keagaamaan masa kini, dengan selalu menunjukkan suatu perdebatan benar dan salah dalam menafsirkan kalam Allah.
Dalam buku itu ada juga satu bab yang berisi Epistemologi Ilmu-ilmu Keislaman: Gerak Lingkar Hermeneutis. Bab ini menyertakan bagian-bagian gaya filsafat para filsuf di Eropa seperti corak pemikiran epistemologi Rene Descartes, pemikiran epistemologi David Hume, corak pemikiran epistemologi Immanuel Kant dan tren pemikiran epistemologi kontemporer. Semua bagian ini ditawarkan M. Amin Abdullah untuk menunjang kajian keislaman yang lebih terbuka.
Sementara pada bagian lain, buku itu tidak saja menawarkan suatu corak pemikiran terbuka yang khas di IAIN, tetapi juga menggambarkan sekelumit problematika filsafat Islam modern yang dipertautkan antara normativitas dan historisitas. Sebut saja antara lain Agenda Persoalan Pemikiran Islam Klasik: Pergumulan antara Kefilsafatan Islam dan Keislaman; Beberapa Persoalan Kefilsatan Islam di IAIN; serta pembahasan tentang Misi Fakultas Ushuludin dalam Wilayah Kefilsafatan.
Selain itu, terdapat juga pembahasan mengenai Pendekatan dalam Kajian Islam yang menekankan pada pembahasan normatif atau historis. Bagian ini menyajikan empat penjelasan utama, antara lain tentang Observasi Kritis terhadap Ilmu-ilmu Keislaman; Pergumulan Teori-teori dalam Wacana Keilmuan; Al-Nusus mutanahiyah wa al-waqa’I ghairu mutanahiyah; serta Kemungkinan Perguliran Paradigma Pendekatan dan Pengkajian Ilmu Kalam.
Di bagian akhir, buku M. Amin Abdullah itu menyajikan Al-Takwil al-‘Ilmiy yang diartikan sebagai penafsiran baru keilmuan dalam penafsiran kitab suci. Bagian ini terdiri dari empat sub-pembahasan. Antara lain Kegelisahan Akademik Ilmuwan Islamic Studies Kontemporer; Filsafat Ilmu-ilmu Keislaman: Perangkat Analisis Keilmuan yang Hilang?; Mempertimbangkan Ulang Khazanah Pendekatan Epistemologi Bayani, Irfani, dan Burhani untuk Pengembangan Pemikiran Islam Kontemporer; lalu Gerak Lingkar Heremeneutis Nalar Epistemologi Keislaman dalam Tafsir Kitab Suci yang Bercorak Humanistik-Transformatif-Emansipatoris.
Demikianlah, buku M. Amin Abdullah itu telah menopang wawasan kami dalam membumikan kembali kajian keislaman. Tentu saja kajian keislaman tersebut dapat membuka berbagai pandangan terhadap aspek keilmuan lain, terutama corak berpikir filsafat seperti yang digambarkan oleh M. Amin Abdullah dalam Islamic Studies di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif Interkonektif.
Pada periode kepengurusan setelah saya, tema kajian LPIK berubah haluan menjadi sejarah peradaban manusia. Kajian ini pun tidak kalah menarik dengan tema kajian keislaman yang kami usung selama kurang lebih satu tahun. Sebab, kajian ini bisa lebih umum membahas sejarah manusia, bahkan lebih khusus menggambarkan sejarah Islam pada zaman era keemasan.
*Tulisan Sawala dari Cibiru merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan UKM Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK)