SAWALA DARI CIBIRU #4: Jalan Filsafat untuk Membaca Kritis
Filsafat juga dapat membongkar semua yang mustahil menjadi logis; dan menepis mitos-mitos fantasi menjadi rasional berdasarkan kemampuan berpikirnya.
Hafidz Azhar
Penulis esai, sejak September 2023 pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan (Unpas), Bandung
28 November 2022
BandungBergerak.id—Alam Pikiran dari Yunani karya Mohammad Hatta adalah buku filsafat pertama yang saya baca. Isinya mengenai sejarah perkembangan filsafat Yunani, dari mulai Thales hingga Plotinus. Konon, buku ini ditulis saat Hatta berada dalam pengasingan di Boven Digul. Dalam pengantarnya tahun 1941, Hatta menjelaskan bahwa buku itu di ilhami kala ia memberikan pelajaran ekonomi. Bagi Hatta, berpikir secara filosofis bukan hanya bertautan untuk membedah aspek-aspek yang terdapat dalam ilmu ekonomi, tetapi juga untuk mengerahkan kemampuan kritis seseorang.
Salah satu karya Hatta mengenai perkembangan filsafat ini memang mempunyai riwayat yang cukup panjang. Mula-mula buku itu ditulis dalam tiga jilid, namun dalam terbitan Tintamas yang bekerja sama dengan Universitas Indonesia Press (UI Press), buku itu digabungkan menjadi satu jilid dalam tiga rentang waktu yang berbeda. Pembahasan pertama dimulai dengan pendahuluan, berisi mitos dan fantasi untuk menemukan kebenaran. Tentu saja, yang ingin Hatta jelaskan berhubungan dengan pikiran-pikiran orang Yunani pada masa Sebelum Masehi. Setelah itu Hatta menguraikan berbagai macam kategori filsafat Yunani, seperti Filsafat Alam oleh Thales; Filsafat Heraklitos; Filsafat Elea; Sofisme; sampai pemikiran para filsuf di masa kemunculan Agama Romawi.
Sebetulnya, saya tidak ingin mengulas buku Hatta lebih jauh. Saya hanya ingin mengatakan, bahwa buku karya proklamator kita itu memiliki isi tersendiri bagi para pembaca pemula. Menurut beberapa kawan, Alam Pikiran Yunani merupakan salah satu buku pengantar Filsafat Barat yang mudah dipahami. Dengan kata lain, buku tersebut sangat cocok untuk dibaca oleh orang awam yang ingin belajar filsafat, termasuk saya kala pertama kali bergabung dengan LPIK.
Sejak membaca buku itu, berbagai pertanyaan muncul dalam pikiran. Antara lain, “Untuk apa membaca filsafat?” Jawaban dari pertanyaan itu lambat laun saya rasakan dalam kebiasaan sehari-hari, terutama ketika membaca buku yang menarik perhatian saya. Saat proses membaca itu dilakukan, ada suatu cara pandang yang berbeda dari sebelumnya, yakni dapat menginterpretasi setiap kata per kata secara sistematis dan kritis. Bahkan dari situ saya dapat mengklaim bahwa membaca bukan saja tentang melafalkan dan memahami buku bacaan, tetapi juga menafsirkan keadaan dan melihat objek yang kita lihat dari berbagai sudut pandang.
Bagi saya, filsafat tidak melulu berbicara tentang pemikiran-pemikiran para filsuf. Apalagi, disampaikan dengan bahasa yang rumit. Banyak orang berbicara filsafat dengan menggunakan bahasa ilmiah yang sukar untuk dipahami. Padahal sebetulnya, filsafat bertujuan untuk mensistematiskan cara berpikir ke dalam kata-kata yang mudah dimengerti. Tentu saja, filsafat juga dapat membongkar semua yang mustahil menjadi logis; dan menepis mitos-mitos fantasi menjadi rasional seiring dengan apa yang manusia lihat berdasarkan kemampuan berpikirnya.
Salah satu corak berpikir filsafat bisa dijumpai pada gagasan Karl Marx. Menurut Marx filsafat bukan sekadar untuk menafsirkan dunia atau alam. Marx cenderung menggunakan filsafat sebagai jalan untuk menempuh perubahan. Artinya, pandangan Marx terhadap filsafat tidak sebatas internalisasi penafsiran terhadap alam, melainkan suatu metode berpikir kritis dalam menangkap berbagai permasalahan sosial. Umpamanya, pertentangan kelas borjuis dengan kaum proletar yang dapat memengaruhi siklus pergerakan sosial.
Baca Juga: SAWALA DARI CIBIRU #3: Belajar Filsafat dari Keberagaman
SAWALA DARI CIBIRU #2: Merawat Tradisi, Menyemai Selebrasi
SAWALA DARI CIBIRU #1: LPIK Bukan Sekadar Lembaga Kajian Keislaman
Berpikir Kritis
Suatu hari saya pernah terlibat dalam sebuah perdebatan. Perdebatan ini berlangsung dalam kegiatan diskusi rutin LPIK. Waktu itu para penyimak yang hadir dari luar anggota LPIK cukup banyak. Bahkan Sutanto yang bertindak memberikan materi bersiap-siap untuk menjawab berbagai pendapat dan pertanyaan. Saling silang pendapat pun tidak bisa dihindarkan. Akhirnya, muncullah perdebatan dari dua kubu. Perdebatan ini dipicu setelah pembahasan mengenai buku Trilogi Insiden, karya Seno Gumira Adjidarma, ditanggapi dengan analisis kritis, sehingga diskusi tersebut menjurus pada ranah sosial-politik.
Dalam karya Seno itu terhimpun tiga judul yang disajikan. Bagian pertama, berisi 13 buah kumpulan cerpen yang bertajuk “Saksi Mata”. Bagian kedua, berisi novel dengan judul “Jazz, Parfum dan Insiden”. Bagian ketiga, yakni kumpulan esai, dengan judul “Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara”. Semua karya itu, boleh dibilang, tidak terlepas dari tragedi Dili yang terjadi pada masa kepemimpinan Soeharto. Seno yang waktu itu bertugas sebagai wartawan Jakarta Jakarta, menggambarkan suasana yang sangat mengerikan di Timor-Timur dalam Trilogi Insiden-nya itu. Di antara sekian kejadian terdapat gambaran mengenai potongan telinga manusia. Suasana ini ia uraikan dalam cerpennya berjudul, Telinga.
Bagi saya sendiri, pesan Seno dalam cerita pendek itu cukup jelas untuk dipahami. Begitu pun dengan beberapa cerpen lainnya yang menggambarkan peristiwa Dili. Tetapi kawan saya, Ihsan, masih mempertanyakan soal posisi sastra, khususnya, dalam menunjukkan suatu perlawanan. Poin utama yang diajukan Ihsan ialah, bahwa sastra kerap menampilkan kata-kata secara tidak langsung. Bahkan menurutnya, kata-kata itu banyak ditemui dalam puisi menggunakan berbagai ungkapan metafor, sehingga pembaca harus melakukan proses penafsiran dengan teliti. Pandangan Ihsan ini mengacu pada filsafat Marxisme sebagai kerangka analisisnya, karena kritik ini didasarkan pula pada nilai-nilai kritis yang sering ditampilkan apa adanya tanpa menggunakan bahasa yang tidak dimengerti.
Dalam mengamati kondisi saat ini, pemikiran kritis memang sangat diperlukan. Apa yang dimaksud dengan kritis, tentu saja menjadi bagian utama dalam fungsi filsafat. Jika ditilik dari akar kemunculannya, istilah kritis ini mencuat belakangan, terutama oleh rengrengan Mazhab Frankfurt di Jerman pada dekade 1930-an. Kendatipun dalam prakteknya nilai-nilai kritis telah lahir dari berbagai pemikiran filsafat sebelumnya. Sejak filsafat bergeliat di Yunani, nuansa kritis tidak bisa dipisahkan dari jejak-jejak para filsuf. Itulah mengapa filsafat sangat erat dengan paham-paham kritis. Sebab, filsafat tiada lain merupakan jalan untuk membaca kritis.
*Tulisan Sawala dari Cibiru merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan UKM Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK)