SAWALA DARI CIBIRU #1: LPIK Bukan Sekadar Lembaga Kajian Keislaman
LPIK didirikan atas keresahan beberapa mahasiswa IAIN Sunan Gunung Djati Bandung angkatan 1995. Kala itu kondisi kampus tidak kondusif.
Hafidz Azhar
Penulis esai, sejak September 2023 pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan (Unpas), Bandung
3 November 2022
BandungBergerak.id - Pertengahan tahun 2009, saya diajak oleh seorang kawan untuk bergabung dengan salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di UIN SGD Bandung. Waktu itu saya masih duduk di semester pertama. Seorang mahasiswa baru yang tidak tahu banyak tentang kampusnya tiba-tiba diajak ke sebuah UKM bernama Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK). Sejak saat itu kebiasaan saya berubah.
Saya harus membaca. Meskipun saya malas membaca. Saya harus menulis. Meskipun saya tidak bisa menulis. Bahkan saya juga dipaksa harus berdiskusi. Meski saya tidak pandai beretorika. Ketiga hal itu merupakan ritual wajib yang mesti dilakukan dalam lingkungan LPIK. Bila tidak, tentu saya akan menjadi orang yang paling bodoh dan kesulitan dalam berbicara.
Bagi mahasiswa baru seperti saya, filsafat adalah ilmu yang sangat membingungkan. Ini terasa pertama kali ketika saya diberikan materi pengantar filsafat di sela-sela Masa Bimbingan (Mabim) LPIK. Di LPIK sendiri terdapat dua gerbang sebagai syarat sah menjadi anggota. Pertama Masa Bimbingan. Dalam Mabim calon anggota diberikan beberapa materi pengantar. Biasanya berisi materi filsafat, kepenulisan, apresiasi sastra, dekontruksi, dan sejarah pemikiran Islam.
Kedua, Taaruf Generasi Baru (TGB). Dalam TGB ini calon anggota diberikan materi-materi unggulan, seperti metode penelitian, filsafat sebagai praktik dan rekonstruksi. Setelah semua materi disampaikan, kegiatan TGB diakhiri dengan teror wacana untuk menguji tulisan calon anggota yang telah ditugaskan sebelumnya.
Konon, LPIK berdiri pada tahun 1996. Menurut catatan Ibnu Ghifari (sekretaris LPIK 2003-2004), LPIK didirikan atas keresahan beberapa mahasiswa IAIN Sunan Gunung Djati Bandung angkatan 1995. Kala itu kondisi kampus terlihat sangat tidak kondusif. Dalam gambaran Ibnu Ghifari kampus IAIN waktu itu seperti kehilangan hasrat dalam ranah pengembangan keilmuan. Berangkat dari sini Az-Mu’min dkk. berinisiatif untuk membentuk suatu wadah. Wadah ini mula-mula didasarkan pada kajian keislaman. Seperti kajian Al-Qur’an, fikih dan berbagai wacana ilmu syari’ah lainnya. Kajian ini pun berjalan dengan masif. Bahkan segelintir orang menilai LPIK sebagai gerbong gerakan DI/TII karena mendasarkan pada diskursus keislaman.
Pada masa selanjutnya yakni pada kepengurusan Mu’min Setiawan-Asep Abdul Sahid (1997-1998), LPIK masih berkutat pada kajian keislaman. Periode ini dan juga periode sebelumnya dinamakan dengan fase normatif karena masih difokuskan pada diskursus Islam secara tekstual. Bahkan fase normatif ini masih berlaku pada masa kepengurusan Adang Maman Sulaiman dan Hendra Prawira tahun 1998-1999.
Akhirnya sampai tahun 1999-2000, di bawah kepengurusan Ahmad Yudana dan Tantang Hadiansyah, LPIK mendapat paradigma baru dalam kajiannya. Hal ini terlihat setelah beberapa orang mahasiswa dari Fakultas Ushuludin, terutama jurusan filsafat, memberikan wacana kritis terhadap diskursus keagamaan. Mereka yang memberikan paradigma kritis itu antara lain, Pendeta Soni Wibisono, Yudhi Sarwoto, Dede Nurdin, dan Nurdin sehingga empat orang inilah tercatat dalam sejarah LPIK dengan sebutan “Nabi LPIK”.
Baca Juga: UIN SGD Bandung Gelar Program Persiapan TOEFL untuk Kuliah ke Luar Negeri
Rektor UIN Bandung: Vaksin Senjata Ampuh dari Wabah Corona
UIN SGD Kenalkan Payung-payung Hukum tentang Pengajuan Hak Paten
Fase Liberatif
Transformasi kajian LPIK yang tampak paling kentara dimulai pada tahun 2000-an. Tepatnya pada masa kepemimpinan Dede Nurdin dan Nurdin sebagai sekretarisnya. Di masa ini Dede Nurdin lebih berfokus pada pencarian konsep paradigma yang sesuai dengan konteks saat itu. Lalu beberapa saat setelah menemukan paradigma yang dinilai cocok, barulah mereka beralih orientasi. Di mana terdapat fase baru yang sampai kini masih sering diwacanakan, yakni fase Liberatif. Sehingga pada masa ini kajian LPIK lebih terbuka terhadap wacana baru selain kajian kegamaan. Mereka merumuskan maksud dan tujuan dibentunya LPIK. Kemudian membuat visi dan misi yang dipinjam dari paradigma profetik Kuntowijoyo, yaitu Liberasi, Emanasi, dan Transendensi. Dengan demikian LPIK mempunyai visi sebagai center of excellence untuk pengembangan ilmu keislaman. Sedangkan misi LPIK sendiri ialah sebagai wahana dan ajang silaturahmi, silatur al-fikri dan silat al-dzikri untuk Liberasi, Emanasi, dan Transendensi.
Hingga saat ini kajian LPIK masih terbuka dengan diskursus keilmuan apa pun. Kendati menggunakan identitas Islam, para pengurus LPIK percaya bahwa semua pengetahuan bisa berguna dalam menganilisis wacana keislaman. Maka setelah fase Liberatif itu dimulai, periode kepengurusan selanjutnya mengusung beragam tema keilmuan yang terlepas dari nuansa keislaman. Sebagaimana ditunjukkan oleh Wawan Gunawan (Ketua periode 2001-2002) yang memilih sastra sebagai tema besar kajiannya. Setelah itu corak kajian LPIK terlihat semakin berwarna. Ada yang mengusung tema sosial, ekonomi-politik, pemikiran, kajian kebudayaan dan diskursus mengenai sejarah, seperti yang ditunjukkan oleh kepengurusan Sabiq Ghidafian dan Ihsan Fauzal pada tahun 2010-2011.
Bagi saya sendiri LPIK bukan sekadar lembaga kajian. Hal ini karena kawan-kawan tidak membatasi wacana yang dipertentangkan dengan apresiasi kesenian. Pada tahun 2009, Aras dkk. membentuk sebuah grup musik etnik bernama Mapah Layung. Meski Aras bukan sebagai anggota LPIK, orang-orang yang terlibat dalam Mapah Layung kebanyakan berasal dari pengurus LPIK. Kebetulan saat itu Amin menjabat sebagai ketua. Ia juga menjadi salah satu saksi berdirinya Mapah Layung saat obrolan kecil itu berlangsung di sekretariat senat Ushuludin. Saya yang waktu itu masih tercatat sebagai anggota baru, sering menyaksikan Mapah Layung berlatih untuk persiapan tampil dalam sebuah acara. Di situ saya diperkenalkan dengan berbagai alat musik etnik. Seperti celempung, karinding, duridu, dan bermacam jenis suling yang dimainkan dengan gitar dan jimbe agar alunan musik terasa lebih berwarna.
Dengan hadirnya Mapah Layung di tengah lingkaran LPIK, tentu saja saya banyak mendapat pengetahuan baru tentang musik. Bukan hanya musik yang sedang digandrungi oleh Mapah Layung kala itu, tetapi juga mengenai musik yang tidak termasuk pada kategori common sense. Itulah kenapa bagi saya, LPIK bukan sekadar lembaga kajian. Karena dari LPIK saya memperoleh paradigma yang tidak pernah dipelajari di kelas-kelas saat perkuliahan. Apalagi mayoritas pengurus LPIK ketika itu melek terhadap semua wacana. Selain itu banyak pula di antara mereka yang pandai menampilkan pembacaan puisi dan mengulik berbagai kesenian dan musik. Padahal mereka tidak pernah sekali pun mengikuti kelas khusus mengenai seni dan musik. Mungkin saja karena banyaknya bacaan yang tidak dibatasi oleh kawan-kawan.
*Tulisan Sawala dari Cibiru merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan UKM Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK)