• Kolom
  • SAWALA DARI CIBIRU #3: Belajar Filsafat dari Keberagaman

SAWALA DARI CIBIRU #3: Belajar Filsafat dari Keberagaman

Berbeda dengan Jaringan Islam Liberal (JIL) yang diusung Ulil Abshar Abdala, Jarik difokuskan pada komunitas-komunitas di kampus untuk menumbuhkan keberagaman.

Naufal Arkam

Post LPIK, mahasiswa akhir Studi Pembangunan Pascasarjana ITB

Peringatan 100 hari wafatnya Gus Dur (Abdurrahman Wahid) oleh anggota Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK). LPIK merupakan UKM di kampus UIN SGD Bandung yang mempelajari keberagaman pemikiran. (Sumber Foto: Naufal Arkam/Penulis)

17 November 2022


BandungBergerak.idPerkenalkan, nama saya Naufal Arkam. Tahun 2006 saya resmi menjadi anggota LPIK. Ketertarikan saya bermula saat melihat inagurasi LPIK dalam ospek kampus yang berlangsung di hari terakhir. Dalam penglihatan saya waktu itu LPIK tampak begitu unik. Sebab beberapa orang membacakan puisi disertai dengan penampilan teatrikal dengan nuansa yang penuh tafsir. Puisi-puisi yang dibacakan pun bukanlah puisi picisan, melainkan puisi yang diambil dari para penyair dan pemikir sehingga saya pun dibuat kagum.

Sejak pertama masuk UIN SGD Bandung pada tahun 2005, saya sebetulnya sudah mengikuti kegiatan LPIK bersama senior di jurusan sosoiologi agama. Tidak seperti sekarang, jurusan sosiologi agama waktu itu masih berada di Fakultas Ushuludin, sehingga aspek kajiannya sering berhubungan pula dengan diskursus di lingkungan LPIK. Tedi yang ketika itu menjadi ketua LPIK juga berasal dari jurusan sosiologi agama. Ada juga Fardun dan Udin. Mereka sama-sama dari jurusan sosiologi agama. Malah sebagai sesepuh LPIK, Kojek juga berasal dari jurusan sosiologi agama. Yang jelas, LPIK waktu itu banyak berasal dari jurusan sosiologi agama, termasuk saya sebagai anak bawang yang digiring masuk oleh Tedi dan kawan-kawan.

Oh iya. Sebagai ketua Tedi juga mempunyai pengaruh signifikan terhadap anggotanya, terutama dalam mengelaborasi berbagai kajian. Yang saya rasakan, Tedi memahami betul hermeneutika dan teori filsafat lainnya. Padahal basis kajiannya ialah sosiologi agama. Dalam mengamati peristiwa di sekitarnya, ia selalu menggunakan kerangka hermeneutika dan filsafat secara kontekstual, selain pisau analisis sosiologi yang ia geluti. Dari sini pengaruhnya begitu kentara ketika diskusi di LPIK sedang berjalan.

Setelah bergabung dengan LPIK saya mendapat beragam percikan pemikiran. Keberagaman itu membuat saya menemukan diskursus yang bermacam-macam pula dari berbagai cara berpikir. Ada filsafat, ada pemikiran Islam, ada sastra, dan sosiologi agama. Meski saya berasal dari jurusan sosiologi agama, tampaknya saya begitu tertarik dengan filsafat. Salah satu ketertarikan saya terhadap filsafat bukanlah pada siapa yang melahirkan konsep pemikiran ini dan itu, tetapi lebih tertuju pada metode berpikir secara filosofis.

Cara berpikir filosofis tersebut mula-mula saya ikuti dari Kojek. Ia menggabungkan tradisi berpikir filsafat yang dielaborasikan dengan fakta-fakta sosial, sehingga melahirkan apa yang disebut dengan filsafat sosial. Konsep ini saya gunakan sampai sekarang, terutama dalam memahami gejala sosial, baik di jurusan sosiologi agama tempat saya belajar secara formal maupun dalam mengamati berbagai peristiwa sosial yang ada.

Selanjutnya, pola berpikir filsafat saya peroleh juga dari kawan-kawan yang lain. Apalagi waktu itu ada beberapa orang yang berasal dari jurusan filsafat. Tak jarang dari mereka saya menangkap bentuk pemikiran filsafat para filsuf, termasuk dari senior yang sudah khatam berbagai buku filsafat. Sebutlah Farid. Di masa-masa itu Farid selalu menyampaikan corak aliran filsafat eksistensialisme ala Nietzsche. Tetapi belakangan, minat Farid terus bergeser ke corak pemikiran lain, yakni Martin Heidegger si penulis Being and Time. Nietzsche dan Heidegger adalah filsuf yang berbeda haluan; yang satu ngomongin ubermensch, yang satunya lagi ngomongin “ada” sebagai metafisika. Konsep manusia menurut Niezsche ternyata lebih digandrungi ketimbang konsep metafisikanya Heidegger. Itulah kenapa mayoritas dari anggota LPIK berminat pada pemikiran filsuf asal Jerman itu, karena konsep manusia super atau ubermensch dirasa meyakinkan untuk dijalani, selain gagasan lainnya yang kami kenal yakni amor fati, atau seni mencintai hidup.

Di samping itu, ada juga yang tertarik pada pemikiran Arthur Schopenhauer seperti yang ditunjukan oleh Sutisna, meskipun corak pemikirannya bertolak belakang dengan gaya filsafat Nietzsche yang lebih optimis. Bahkan Utis, begitulah sapaan kami, sampai akhir kiprahnya di LPIK tetap memegang prinsip Schopenhauer bahwa hidup tidak selamanya indah.

Dari berbagai pemikiran ini, saya bukan saja belajar mengolah pengetahuan secara filosofis, tetapi juga menemukan kerangka multikulturalisme dari keberagaman diskursus yang kami minati. Apa yang saya maksud dengan multikulturalisme tentu bukan sekadar konsep tentang keberagaman budaya, agama, ras maupun suku, namun kami mencoba untuk masuk pada tataran praktik. Bahkan di masa-masa itu, kami menjadi salah satu pionir di kampus UIN Bandung dalam menularkan konsep pluralisme agama dan isu toleransi.

Baca Juga: SAWALA DARI CIBIRU #1: LPIK Bukan Sekadar Lembaga Kajian Keislaman
SAWALA DARI CIBIRU #2: Merawat Tradisi, Menyemai Selebrasi

Antara Jarik dan JIL

Pada kurun waktu 2006-2007, kami sering berkolaborasi dengan Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF) di bawah arahan mendiang Dawam Rahardjo. Salah satu program yang pernah saya ikuti dari LSAF ini yaitu Jaringan Islam Kampus (Jarik). Berbeda dengan diskursus Jaringan Islam Liberal (JIL) yang diusung oleh Ulil Abshar Abdala, Jarik difokuskan pada komunitas-komunitas di kampus dengan lebih masif, berupa ide-ide untuk menumbuhkan gagasan pluralisme agama, multikulturalisme dan sikap toleransi. Program ini biasanya digelar dengan cara pelatihan atau workshop yang melibatkan para pembicara di bidangnya seperti Budy Munawar Rachman, Kausar Azhari Noer dan lain-lain.

Bagi saya, konsep multikulturalisme sebetulnya bagian dari misi yang diusung oleh para pendahulu LPIK. Walaupun landasan filosofis dari misi LPIK ini berasal dari pemikiran Kuntowijoyo. Menurut saya, liberasi, emanasi, dan transendensi mempunyai nilai-nilai keberagaman dalam nuansa diskursus pengetahuan. Sebab di lingkungan LPIK sendiri ketiga konsep ini sering diejawantahkan ke dalam aktivitas diskusi, seperti kebebasan berpikir dengan metodologi yang kuat, dan juga kebebasan dalam menyampaikan masing-masing pendapat sesuai bidang keilmuannya, sehingga dari sini saya belajar memahami cara berpikir orang lain. Lebih tepatnya, belajar filsafat dari keberagaman.

*Tulisan Sawala dari Cibiru merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan UKM Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK)

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//