SAWALA DARI CIBIRU #10: DPR sebagai Ruang Diskursus
Di bawah pohon rindang (DPR) sebagai ruang publik bagi mahasiswa LPIK. Kini DPR meredup sejak birokrat UIN SGD Bandung mempercantik kampus pada tahun 2011
Hafidz Azhar
Penulis esai, sejak September 2023 pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan (Unpas), Bandung
19 Januari 2023
BandungBergerak.id - Tahun 2009 kampus UIN SGD Bandung tidak cukup gersang seperti sekarang. Kala itu masih banyak pohon-pohon yang tumbuh di setiap halaman gedung. Kendati demikian, saat ini masih ada satu ruang terbuka yang ditumbuhi pepohonan. Di situ tampak pohon-pohon beringin yang sangat lebat disertai dengan pondasi bangunan yang mirip panggung pertunjukan berukuran kecil, sehingga tempat ini menjadi ikon bagi mahasiswa UIN SGD Bandung. Mereka menyebutnya di bawah pohon rindang (DPR).
Sejak saya bergabung dengan LPIK, kawasan DPR selalu dijadikan tempat yang mistis bagi anak-anak LPIK. Obrolan-obrolan seputar filsafat membuat DPR semakin angker, karena sedikit sekali orang yang berani menginjakkan kakinya di hadapan kami saat obrolan berlangsung di bawah pepohonan rimbun itu. Salah seorang kawan mulutnya berkomat-kamit menjelaskan sekelumit pemikiran Heidegger, dengan tangan kiri mengapit rokok yang asapnya terus mengepul. Sesekali tangan kanannya memegang gelas plastik berisi kopi hitam, dan setelah itu mulutnya kembali berkomat-kamit. Itulah kenapa pembicaraan semakin angker. Sebab, obrolan tersebut merupakan ritual harian yang tidak boleh ditinggalkan, selain pembicaraan serius secara rutin di kantor LPIK atau di kelas-kelas tempat perkuliahan.
Pada tahun pertama saya bergabung dengan LPIK, Amin dkk. mengadakan acara milangkala ke-14. Kegiatan ini digelar untuk memeringati hari lahirnya LPIK di bulan Mei. Acara tersebut diadakan di DPR, dengan mengundang sejumlah pembicara dari dalam maupun dari luar UIN Bandung. Sebut saja antara lain Bambang Q Anees (dulu masih menjadi dosen filsafat UIN SGD Bandung), Ahmad Ghibson (dosen filsafat UIN SGD Bandung), Daniel Mahendra (sastrawan), Astuti Ananta Toer (anak Pramoedya Ananta Toer), dan Pidi Baiq saat masih menjadi imam besar The Panas Dalam.
Selain diskui buku, acara milangkala tersebut menampilkan juga bedah film dan pertunjukan musik akustik. Bahkan untuk menghangatkan suasana, panitia menjajakan bajigur secara gratis, disertai umbi-umbian seperti singkong, ubi, dan talas yang sudah direbus. Alhasil, kegiatan milangkala ini pun cukup ramai didatangi oleh mahasiswa dan beberapa orang dosen yang berlalu-lalang di sekitar DPR.
Masih di tahun pertama saya bergabung dengan LPIK, pelataran DPR tidak luput sebagai tempat pagelaran diskursus anak-anak LPIK. Kali ini di atas pondasi yang berukuran 2x3 meter lebih itu para kurawa LPIK mengadakan acara diskusi keislaman dalam merespons paradigma wahyu memandu ilmu. Dengan menghadirkan dua pembicara, yaitu Ahmad Ghibson dan Ahmad Hassan Ridwan selaku dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN SGD Bandung, kegiatan tersebut cukup ramai dihadiri karena digelar pada pukul 10 pagi di sela-sela perkuliahan pertama usai. Apalagi acara itu tidak hanya menampilkan diskusi, namun diselingi juga dengan pembacaan puisi dan penampilan musikalisasi puisi.
Paradigma wahyu memandu ilmu sendiri memang sudah dicetuskan sejak tahun 2002, tetapi baru disahkan tahun 2008 pada kepemimpinan Nanat Fatah Natsir sebagai rektor UIN SGD Bandung. Paradigma ini berkutat pada pengertian bahwa ilmu mesti diuji, dipandu dan disintesiskan oleh kalam ilahi. Dengan demikian wahyu memandu ilmu merupakan jawaban bernalar Islam terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dianggap sebagai kemajuan pola berpikir dari barat, sehingga bagi anak-anak LPIK wacana ini menjadi lebih menarik bila ditarik pada tataran diskusus filsafat dan sosial bahkan pandangan keislaman yang lebih luas.
Baca Juga: SAWALA DARI CIBIRU #7: Lawang Menuju Iklim Filsafat
SAWALA DARI CIBIRU #8: Berkenalan dengan Semiotika
SAWALA DARI CIBIRU #9: Mahasiswa Pagebluk Corona
Milangkala LPIK yang ke-15
Pada tahun 2011, saya menjadi panitia Milangkala LPIK yang ke-15. Kala itu, kami mengusung tema sejarah peradaban manusia dengan berbagai rangkaian diskusi dan pentas seni. Acara yang berlangsung selama empat hari itu mengundang beberapa pembicara. Sebut saja Anhar Gonggong (sejarawan), Suparman Yasin (dosen sejarah UIN SGD Bandung), Alex Sobur (penulis buku semiotika), Fakhrurozi (dosen komunikasi UIN SGD Bandung/penulis), Bambang Q Anees, dan Pidi Baiq. Dua acara diskusi tentang sejarah dan media digelar di Aula UIN SGD Bandung (sekarang Aula Abdjan Sulaiman), sedangkan acara pamungkas diadakan di pelataran DPR.
Pada acara pamungkas yang berlangsung di malam hari itu, Pidi Baiq dan Bambang Q Anees menutup kegiatan Milangkala LPIK ke-15. Saat itu para pengunjung yang datang sangat banyak, meski suasana di DPR tampak begitu gelap. Deretan obor dipasang untuk menerangi sepanjang jalan menuju pelataran DPR. Bahkan pondasi yang digunakan panggung itu pun hanya diterangi oleh petromaks.
Tidak seperti biasanya, kali ini Pidi Baiq mesti berbicara soal teologi. Kendati disisipi dengan candaan, penjelasan Pidi Baiq tentang teologi ini menyangkut pengalaman keberagamaannya. Ia juga menyebut-nyebut filsuf Nietzsche sebagai acuan. Lalu Bambang Q Anees yang bertindak sebagai pembanding turut mengomentari penjelasan dari Pidi Baiq dengan nuansa serius tapi santai. Acara pun ditutup dengan musik, seraya memakan nasi tumpeng sebagai tanda berakhirnya Milangkala ke-15.
Sebagai ruang publik bagi mahasiswa UIN sgd Bandung, DPR juga menjadi salah satu tempat untuk menyampaikan beragam bentuk aspirasi. Misalnya, aksi yang dilakukan oleh sekelompok orang dari organisasi ekstra kampus saat menyampaikan tuntutannya kepada pihak birokrasi. Selain berorasi di sekitar pelataran DPR, mereka menampilkan pertunjukan seni dan musik untuk menarik perhatian massa. Bukan hanya itu. Dalam merespons isu kampus, ada juga kegiatan diskusi antarorganisasi, meskipun pada akhirnya berbagai organisasi esktra ini tidak dapat dipersatukan karena tujuan politik yang berbeda haluan.
Di samping itu, meski kondisi DPR kini sudah berubah, beberapa komunitas tampaknya cukup antusias dalam menggelar kegiatan rutin di tempat itu. Biasanya, komunitas-komunitas yang lahir dari rahim seni seperti Jaringan Anak Sastra (JAS) atau Antistik Institute. Bahkan belakangan saya pernah diundang sebagai pemateri dalam acara yang diselenggarakan secara kolaboratif oleh LPIK, JAS, dan Lembaga Seni Lukis dan Kaligrafi (LSLK). Acara tersebut berisi pelatihan sastra dan komedi, pelatihan melukis serta musikalisasi puisi. Adapun yang hadir dalam acara ini bukan hanya mahasiswa dari dalam kampus, tetapi dari kampus lain seperti ISBI yang ikut meramaikan acara ini.
Memang, beda zaman, beda kondisi. Itulah ungkapan yang menggambarkan keadaan DPR saat ini. Ketika saya masih kuliah di semester 1 sampai menjelang semester 5, kawasan DPR yang sejuk itu serasa sangat hidup dalam nuansa diskursusnya. Bahkan waktu itu, DPR dikelilingi oleh pedagang makanan dan pelapak buku. Para pedagang makanan tidak sepi oleh pembeli, sedangkan kami sibuk dengan obrolan-obrolan melangit. Ciri itulah yang kini kian meredup. Apalagi kini tidak ada satu pun pedagang makanan yang berada di area DPR. Hal ini dimulai sejak para birokrat UIN SGD Bandung mempercantik kampus pada tahun 2011. Dari pembangunan ini ruang berkesenian mahasiswa sempat terancam, dan seluruh pedagang yang berada di sekitar DPR dipindahkan agar tidak lagi berjualan, sehingga pelataran DPR tampak begitu sepi dari biasanya.
*Tulisan Sawala dari Cibiru merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan UKM Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK)