• Kolom
  • SAWALA DARI CIBIRU #7: Lawang Menuju Iklim Filsafat

SAWALA DARI CIBIRU #7: Lawang Menuju Iklim Filsafat

Saya mendapatkan buku Pengantar Filsafat karya Louis Kattsoff di emperan toko buku Dalem Kaum, Bandung. Bahagia bukan main, kendati kebingungan memahami filsafat.

Ryan Zulkarnaen

Alumni Sastra Inggris UIN SGD Bandung, pernah aktif di Jaringan Anak Sastra dan UKM LPIK.

Kegiatan diskusi Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) UIN SGD Bandung. LPIK merupakan unit kegiatan mahasiswa yang bergerak di bidang filsafat. (Foto: Ryan Zulkarnaen/Post-LPIK))

22 Desember 2022


BandungBergerak.idMendengar kata filsafat memang bukan hal asing di telinga. Selain hanya mengetahui maknanya sebagai cinta kebijaksanaan dan induk ilmu pengetahuan, sebagian orang menganggap filsafat sebagai ilmu yang tidak menginjaki bumi. Bahkan seseorang akan tersesat apabila memelajarinya.

Begitulah awal perkenalan saya dengan kata abstrak itu. Bertolak ragam tudingan dan persepsi kepada mahkluk bernama filsafat, tumbuh rasa penasaran untuk memburu buku filsafat. Tahun 2012, saya mendapatkan buku berjudul Pengantar Filsafat karya Louis Kattsoff di emperan toko buku bilangan Dalem Kaum, Bandung. Pada pandangan pertama, bahagia bukan main, kendati kebingungan bagaimana metode memelajari—memahami apa itu filsafat.

Dalam buku itu terutama pada bab awal, saya masih ingat salah satu pernyataannya, bahwa “filsafat membawa kita kepada pemahaman, pemahaman itu membawa kita kepada tindakan yang lebih layak dan memadai”. Selintas saya mengerti makna dalam pernyataan itu. Akan tetapi, apa dan bagaimana seseorang dapat sampai pada taraf pemahaman kerangka teoritis maupun implementasi dalam kehidupan sehari-hari, saya belum mengerti.

Sayang, saya baru membaca beberapa lembar. Itu pun sebatas tekstual. Pada masa era pubertas intelektual ini, terbit rasa jumawa seolah memiliki cakrawala pengetahuan. Kendati belakangan proses membaca teks filsafat itu berbeda dengan teks-teks lainnya. “Istilah-istilah dalam filsafat memiliki makna khusus,” tukas pak Ahamad Gibson selaku dosen filsafat UIN SGD Bandung.

Tahun 2014, saya diakui sebagai mahasiswa Sastra Inggris UIN Bandung. Pada awal semester, saya dihadapakan pada situasi kecemasan antara terasing atau mengasingkan diri karena tidak mampu mengikuti materi pelajaran bahasa Inggris. Ironi. Bukankah referensi primer mayoritas berbasis bahasa asing?

Saya mencari ruang di mana orang-orang membicarakan filsafat, barang untuk menepis kecemasan dan kesepian dari kisah seorang mahluk akademis. Di bawah pohon rindang (DPR), saya kerap mendengar beberapa mahasiswa berambut gondrong dan pakaian compang-camping membicarakan sastra dalam corak filosofis. Sejak itu, Aras Kalimusada menyuruh Gober untuk mengantarkan saya dan kawan-kawan sowan ke kamar UKM LPIK yang bermakas di Student Center (SC) lantai 2.

Pada tahun-tahun itu mendengar nama Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) bukan hal asing di telinga mahasiswa UIN SGD Bandung. Terutama bagi mahasiswa yang nongkrong di DPR. Belum lagi mitos beredar bahwa kurawa LPIK telah terpapar akut tradisi baca dan diskusi.

Betul. Tidak hanya di kamar SC, ketika berada di kantin, warung Wina bahu jalan, obrolan buku, wacana kritis, dan dinamika iklim intelektual di kampus menjadi menu utama obrolan bagi kurawa. Menjemukan. Tak ayal, saya tiba di kamar kajian. Saya melihat Fikri, Raja, Hengky, dan Yuris tengah mendiskusikan kebudayaan dari sudut pandang aliran filsafat.

Ta’aruf Generasi Baru

Jika calon mahasiswa mengikuti ujian dan seleksi sebagai syarat masuk sebuah perguruan tinggi, maka Ta’aruf Generasi Baru (TGB) merupakan lawang mahasiswa UIN SGD Bandung untuk bergabung dengan LPIK. Adapun setiap calon kurawa musti mengikuti masa bimbingan berupa membaca, menulis, diskusi, sebelum beranjak ke TGB. Ketiga elemen itu merupakan trilogi yang dianut LPIK lantaran tak kuasa memilih hidup hedonis dan memilih hidup alakadarnya. Maka, senjata kurawa hanya nalar dan lapar.

Tahun 2016, saya bergabung dengan LPIK dengan administarsi lengkap. Status kekurawaan seseorang tidak lengkap jika tidak melewati TGB. Ta’ arif Generasi Baru adalah puncak calon kurawa mengikuti rangkaian materi dan wawasan ke-LPIK-an termasuk sesi teror wacana, sebuah penanda calon kurawa memertanggungjawabkan hasil penelitiannya di depan kurawa dan Post-LPIK. Setiap calon kurawa dibebaskan mengambil objek penelitian, setidaknya materi berdasarkan masing-masing jurusan atau kajian wacana pada masa itu.

Kala acara teror wacana, saya menyajikan objek penelitian berdasarkan jurusan sastra, yakni konsep mimesis dalam sastra berdasarkan pemikiran Plato dan Aristoteles. Pertama, Plato memandang sastra merupakan imitasi yang mengalami proses sebanyak dua kali: alam ide, dunia nyata, kemudian dunia teks. Tak ayal, jika Plato memandang seorang tukang lebih mulia daripada seorang penyair. Terkecuali penyair yang membuat karya tentang keilahian dan negara.

Kedua, Aristoteles memandang bahwa penyair bukan sekadar meniru, melainkan penyair membentuk kembali melalui media berbeda. Tegasnya, penyair memaknai peristiwa dan membangun melalui elemen intrinsik yang pada dasarnya berupa kata-kata.

Jauh apa yang diharapkan saya, pandangan kurawa Amir dan om Amin (Post-LPIK) menilai materi saya tidak memiliki keberpihakan. Sebab, kajian perbandingan konsep mimesis dari kedua tokoh filsuf itu dinilai tidak menyertakan perbedaan kedua konsepnya secara ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Lempar tanggapan, argumentasi, hingga keakuratan referensi menyasar tulisan saya. Semua tergambar bagaimana iklim kerja-kerja ilmiah.

Hujan turun di kaki gunung Manglayang tak berdaya menyejukan suasana peserta teror wacana. Tiga batang rokok menyala, habis begitu saja. Saya meyakini, setiap peserta seperti berada di arena persidangan. Kurawa lain berpendapat, teror wacana jauh tegang daripada persentasi makalah di kelas, bahkan sejajar dengan sidang skripsi di depan dosen penguji.

Baca Juga: SAWALA DARI CIBIRU #4: Jalan Filsafat untuk Membaca Kritis
SAWALA DARI CIBIRU #5: Berkubu dalam Filsafat
SAWALA DARI CIBIRU #6: Wacana Parrhesia

Belajar Filsafat di Kamar LPIK

Setiap berganti kepala suku, berganti pula tema dan corak kajian sesuai konsentrasi kurawa dan dinamika zaman. Di era kepala suku Fikri, kebudayaan menjadi tema besar kajian LPIK. Pada era Raja dan Yuris, kajian terbagi dalam kelas-kelas, seperti filsafat, keislaman, sosial, dan sastra. Kendati ketiga zaman memiliki corak dan kosentrasinya masing-masing, ilmu filsafat selalu membangun iklim di LPIK. Bukan karena kurawa didominasi oleh jurusan Aqidah Filsafat, melainkan filsafat dipandang sebagai pisau analisis untuk membahas berbagai macam bidang kajian dan persoalan kehidupan, salah duanya keislaman dan sosial.

Selama mengamalkan trilogi LPIK sesuai kadar dan kapasitas, sedikit banyak ragam pengetahuan dan wawasan mampu memperbaiki landasan cara berpikir saya dalam melihat suatu perkara berdasarkan ragam perspektif. Tidak mudah tergesa-gesa menyikapi segala persoalan. Bahkan, saya dapat mendekonstruksi tudingan orang awam menganggap filsafat itu sesat dan tidak ada kerjaan, bahwa melalui kegiatan berfilsafat saya mampu memertanyakan ulang suatu persoalan secara luas dan mendalam. Juga menyikapi ragam persoalan secara arif dan bijaksana. Kendati jumlah bacaan dan nalar kritis saya kalah jauh dan cepat berbanding di antara kurawa LPIK lainnya.

Beruntunglah saya bergabung dengan LPIK yang telah menciptakan akses menuju iklim filsafat, khususnya berdampak dalam aspek kehidupan saya. Lebih jauhnya, saya turut berpartipasi dalam materi perkuliahan di jurusan Sastra Inggris. Hingga pak Mahi Hikmah (dosen komunikasi UIN SGD Bandung) menyebut saya sebagai filsuf, hanya karena kerap mengajukan suatu perkara fundamental. Padahal, bukankah mudah mengajukan seribu pertanyaan daripada menyusun satu jawaban secara koheren, komprehensif, dan sistematis? Itulah tugas filsafat.

*Tulisan Sawala dari Cibiru merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan UKM Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK)

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//