SAWALA DARI CIBIRU #5: Berkubu dalam Filsafat
Membangun kebiasaan membaca, diskusi, dan menulis. Warisan dari generasi ke generasi di LPIK.
Yuris Fahman Zaidan
Ketua Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) 2017-2018
6 Desember 2022
BandungBergerak.id—Perkenalan saya dengan Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) terjadi pada tahun 2014. Saat itu, saya sebagai mahasiswa baru UIN Bandung mengikuti Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK). Kebanyakan mahasiswa baru menganggap PBAK sebagai syarat wajib sebelum menjadi mahasiswa UIN Bandung. Tentunya, dengan penuh semangat, saya hadir dalam seluruh rangkaian PBAK.
Saat hari terakhir PBAK, saya menemukan suasana baru yang nyeleneh sekaligus mengherankan. Hari itu, setiap Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) menampilkan inaugurasi untuk memikat mahasiswa baru agar bergabung dengan mereka. Di antara UKM yang sudah tampil, ada juga LPIK yang justru memberikan penampilan aneh dan mungkin membuat sebagian mahasiswa baru ketakutan.
Kebanyakan mahasiswa baru masih polos, sebagaimana saya waktu itu, sama sekali belum mengenal situasi kampus yang berdomisili di Cibiru itu. Kultur keluarga saya yang sangat agamais dan mendapatkan pendidikan selama enam tahun di pesantren merasa kaget melihat inaugurasi LPIK waktu itu. Apalagi di benak saya, UIN adalah kampus Islam dan LPIK juga merupakan lembaga kajian keislaman.
Jelas kaget, karena penampilan LPIK tidak seperti lembaga kajian Islam umumnya. Saat inaugurasi, hampir seluruh anggota LPIK berambut gondrong. Ada yang memakai celana sobek-sobek, dan ada seorang yang tidak memakai baju sambil membawa sangkar burung di pundaknya. Sebagian mahasiswa baru mungkin menganggap inaugurasi itu negatif dan tidak akan mau bergabung dengan “gerombolan” tersebut.
Selesai acara inaugurasi dari tiap UKM, saya langsung mendatangi stan LPIK. Dugaan saya benar, ternyata mahasiswa yang bergabung atau mendaftarkan diri menjadi anggota LPIK sangatlah sedikit. Itu pun, bukan dari mahasiswa baru semuanya.
Setelah berbincang-bincang dengan pengurus LPIK, ternyata ada alasan lain kenapa mereka menampilkan inaugurasi seperti itu. Argumen mereka lebih ke arah filsafat dibanding “kajian Keislaman” seperti biasanya. Inilah awal mula kenapa saya bergabung dengan LPIK, saya tertarik dengan obrolan filsafat waktu itu. Setahu saya, UKM di UIN Bandung yang berfokus pada filsafat hanya LPIK.
Baca Juga: SAWALA DARI CIBIRU #4: Jalan Filsafat untuk Membaca Kritis
SAWALA DARI CIBIRU #3: Belajar Filsafat dari Keberagaman
SAWALA DARI CIBIRU #2: Merawat Tradisi, Menyemai Selebrasi
SAWALA DARI CIBIRU #1: LPIK Bukan Sekadar Lembaga Kajian Keislaman
Kubu Filsafat di LPIK
Selama empat tahun menjadi anggota LPIK, yang membuat saya senang adalah penuh dengan diskusi dan perdebatan. Waktu itu, saya gemar sekali membaca tulisan Martin Suryajaya. Hampir semua buku dan tulisannya saya baca. Di antara buku Martin yang sudah saya selesaikan adalah Imanensi dan Transendensi, Alain Badiou dan Masa Depan Marxisme, Materialisme Dialektis, Asal-Usul Kekayaan, Mencari Marxisme, Seri Sejarah Pemikiran Politik Klasik, hingga novelnya Kiat Sukses Hancur Lebur. Sebagian bukunya bahkan saya khatamkan beberapa kali. Tulisan-tulisan Martin yang ada di Indoprogress pun saya ikuti secara rutin. Saya juga membaca perdebatannya dengan pemikir Indonesia lain seperti Goenawan Mohamad dan Hizkia Yosie Polimpung.
Kegemaran saya membaca pemikiran Martin ternyata berdampak pada diskusi rutin yang diadakan LPIK. Biasanya setiap hari Kamis selesai Isya, kami berkumpul untuk berdiskusi. Sebelumnya masing-masing anggota sudah dijadwal untuk menyajikan tulisan lalu mempertanggungjawabkannya di depan yang lain. Saat diskusi berlangsung, saya merasakan ada berbagai “kubu filsafat” yang meramaikan perdebatan. Pengaruh dan kegemaran berbagai anggota pada bacaan dan aliran filsafat tertentu menjadikan diskusi alot bahkan sampai larut malam.
Beberapa kawan di LPIK ada yang suka kajian marxisme, dan karena saya banyak terpengaruh oleh tulisan Martin serta bacaan marxisme lainnya, saya memilih di kubu realisme. Sementara yang lain, memosisikan diri dalam aliran filsafat postmodernisme, feminisme, eksistensialisme, strukturalisme, dan berbagai kubu lainnya. Biasanya, diskusi diwarnai oleh perdebatan antara kubu tersebut.
Saya dan kawan-kawan yang suka membaca marxisme selalu berdebat panjang dengan kawan lainnya yang gemar kajian postmodernisme. Di antara kawan-kawan yang “memantapkan posisi” di kubu postmodernisme adalah Raja Cahaya Islam dan Muhammad Taufik (dipanggil Emul). Perdebatannya seputar ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Kita bisa berjam-jam mendiskusikan tentang, “Apa itu Ada?”; “Bagaimana subjek memperoleh pengetahuan?”; “Bagaimana seharusnya gerakan politik itu?”; atau terkait “Mana yang harus dipilih antara narasi besar atau narasi kecil?”.
Raja yang waktu itu banyak membaca buku-buku Yasraf Amir Piliang, tentu menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas dengan gaya postmodernisme, seperti anti pada narasi besar dan agenda partai. Sementara saya memiliki posisi berbeda. Bagi saya, partai politik—terkhusus yang berasaskan marxisme-leninisme—dibutuhkan sebagai upaya untuk melawan agenda kapitalisme. Ketika berdiskusi dan bercanda, kadang kawan-kawan tersebut suka menyebut saya seorang yang fasis karena selalu ngotot pada posisi mempertahankan narasi besar. Tapi perselisihan itu sebatas dalam diskusi, di luar itu, kita menjadi teman yang sangat akrab.
Kawan-kawan di LPIK waktu itu, memiliki pandangannya masing-masing sesuai dengan bacaan yang telah mereka konsumsi. Ada yang banyak terpengaruh pemikiran Lacan seperti Ilham Ramdani (dipanggil Kacang) karena banyak membaca tulisan Hizkia Yosie Polimpung. Ada yang cenderung ke kajian linguistik seperti Abdul Hamid. Ada juga Satria yang gemar membaca kajian marxisme kontemporer seperti pemikiran Quentin Meillasoux hingga jadi skripsi. Atau Vini Zulfa yang tetap bertahan di posisi feminismenya, walaupun banyak mendapatkan serangan dan ejekan dari yang lain—tentunya sambil bercanda.
Menurut saya, hadirnya “kubu-kubu filsafat” di LPIK ini, secara tidak langsung adalah hasil didikan anggota-anggota LPIK sebelumnya. Pertama kali saya masuk ke LPIK, saya langsung melihat suasana diskusi filsafat yang terfragmentasi dalam berbagai kubu. Terkhusus, Zulfi dan Fikri sebagai ketua LPIK sebelumnya selalu mengarahkan dan bertanya kepada anggota baru, kajian apa yang mereka sukai. Kemudian kami diarahkan untuk fokus membaca literatur-literatur yang berhubungan dengan posisi mereka.
Para pengurus LPIK akan membaca terlebih dahulu kecenderungan kajian anggota baru ke arah mana. Caranya dengan membangun kultur membaca, diskusi, dan menulis pada mereka. Kultur tersebut diwariskan dari generasi ke generasi di LPIK. Secara tidak langsung setiap anggota LPIK dituntut untuk update perkembangan kajian yang mereka geluti. Ini yang mungkin menurut saya—setidaknya yang saya rasakan selama menjadi anggota LPIK—bermunculan kubu-kubu filsafat di dalamnya. Mau tidak mau kita harus memilih posisi dan memperdebatkan posisi tersebut.
LPIK bagi saya adalah lembaga yang turut membentuk pengetahuan dan karakter saya saat ini. UKM yang sedikit anggotanya, mungkin karena dianggap banyak mahasiswa sebagai sekumpulan orang yang kurang kerjaan. Di saat gerakan mahasiswa lain menampilkan ‘keumuman’ dan fokus pada politik kampus, LPIK tampil sebagai lembaga yang orang anggap itu “absurd”; karena berkutat pada diskursus ada dan tiada, mengada, dengan bahasa lain keterlemparan eksistensialis.
*Tulisan Sawala dari Cibiru merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan UKM Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK)