• Kolom
  • SAWALA DARI CIBIRU #8: Berkenalan dengan Semiotika

SAWALA DARI CIBIRU #8: Berkenalan dengan Semiotika

Ilmu semiotika tak lepas menjadi perhatian LPIK UIN SGD Bandung. Pemikiran strukturalisme ini sempat menjadi diskusi rutin.

Hafidz Azhar

Penulis esai, sejak September 2023 pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan (Unpas), Bandung

Jilid depan buku Semiotika yang ditulis Aart van Zoest. Buku ini cukup komprehensif mengulas semiotika Charles Sanders Peirce. (Foto: Hafidz Azhar)

5 Januari 2023


BandungBergerak.id - Selain pemikiran filsafat, pada medio tahun 2011-an, LPIK UIN SGD Bandung juga pernah mewadahi wacana semiotika yang berlangsung dalam diskusi rutinan. Kebetulan kala itu tema besar yang sedang dikaji tentang cultural studies. Tiap-tiap penyaji memang tidak memfokuskan kajian kebudayaan menggunakan semiotika, tetapi mayoritas memanfaatkan semiotika sebagai alat untuk menganalisis kebudayaan, terutama budaya populer yang sedang hangat diperbincangkan.

Apa itu semiotika? Seketika pertanyaan ini muncul dalam benak saya yang waktu itu dibahas cukup mendalam oleh seorang penyaji.

Bagi seseorang yang baru mengenal semiotika, tentu saja, akan kebingungan saat dihadapkan pada dua istilah yang serupa, yaitu semiotika dan semiologi. Memang dua istilah ini, selain berbeda wilayah kemunculannya, juga mempunyai kekhasan masing-masing.

Konon, istilah semiotika sendiri berkembang dari pemikiran Charles Sanders Peirce (1839-1914). Ia merupakan filsuf asal Amerika yang terpengaruhi oleh filsafat pragmatisme. Dari Peirce kita bisa mengetahui trikotomi mengenai tanda berdasarkan logika-logika tertentu. Sebut saja, pertama, tanda dan ground­-nya, yaitu tanda berdasarkan sifat dasarnya. Kategori ini terbagi juga menjadi tiga bagian. Antara lain, qualisigns: tanda berdasarkan sifatnya, sinsign: tanda berdasarkan tampilan dalam kenyataan, dan legisigns: tanda berdasarkan aturan umum atau konvensi (Zoest, 1993: 18-20).

Kedua, tanda dan denotatum-nya (objeknya). Pada aspek ini terdapat juga tiga tipologi tanda, yaitu ikon: tanda yang mengandung kemungkinan, indeks: tanda berdasarkan kausalitas, dan simbol: tanda yang berhubungan dengan objeknya berdasarkan aturan yang berlaku (Zoest, 1993: 23-26).

Ketiga, tanda dan interpretant-nya, yakni hubungan tanda dengan penafsiran. Dari aspek ini tanda terbagi pula ke dalam tiga tipologi, antara lain rheme: tanda yang dapat diinterpretasikan bila ada objeknya, dicisign (dicent sign): tanda yang mengacu pada hubungan yang benar terhadap tanda objeknya, dan argument: tanda yang mengacu pada alasan interpretasi (Zoest, 1993: 29-30).

Di Indonesia tidak banyak karya yang menggali pemikiran semiotika Peirce dengan utuh. Sejauh yang saya temui baru karya Aart van Zoest berjudul Semiotika: tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang Kita Lakukan Dengannya (1993) yang menyajikan kajian semiotika Peirce secara komprehensif. Itu pun terjemahan dari karya aslinya berbahasa Belanda, yakni Semiotiek, Overteken, hoe ze werken en wat we ermee doen yang terbit pada tahun 1978.  

Dalam buku itu, mula-mula Aart van Zoest menjelaskan pengertian semiotika. Menurutnya, semiotika diambil dari bahasa Yunani, semeion, yang memiliki arti tanda. Dari sini semiotika diartikan sebagai ilmu tanda; suatu cabang ilmu yang menyoroti seluk-beluk tanda dan yang berhubungan dengan hal itu, seperti sistem tanda, serta proses terhadap penggunaan tanda (Zoest, 1993: 1).

Zoest juga menambahkan pada masa filsafat Yunani, kalangan ahli Stoa seperti Zeno telah menaruh perhatian terhadap segala persoalan mengenai penggunaan tanda. Kemudian para filsuf skolastik abad pertengahan seperti St. Augustinus, William van Ockam, dan Duns Scotus juga menekuni masalah-masalah yang berkaitan dengan penggunaan tanda. Bahkan konon, pada akhir abad ke-18, seorang filsuf Jerman, J.H. Lambert, telah menggunakan istilah semiotika, kendatipun Zoest menyebut bahwa semiotika merupakan cabang ilmu yang masih muda karena secara sistematis dibahas pada abad ke-20 (hlm. 1).

Bagi Zoest, terdapat penyebab mengapa semiotika sering diperbincangkan pada abad ke-20. Di antaranya bahwa Charles Sanders Peirce mulai menuliskan pemikirannya tentang semiotika pada abad ke-20, tetapi baru mendapat sorotan pada tahun 1930-an. Berkat Charles Morris di Amerika, dan Max Bense di Eropa, tulisan-tulisan Peirce dapat menyebar ke masyarakat secara luas. Bahkan sekitar tahun 1960-an tulisan-tulisan Peirce itu semakin terkenal, yang menjadikan para pembacanya memahami bahwa penjelasan Peirce mengenai semiotika begitu penting (hlm. 1-2).

Baca Juga: SAWALA DARI CIBIRU #5: Berkubu dalam Filsafat
SAWALA DARI CIBIRU #6: Wacana Parrhesia 

SAWALA DARI CIBIRU #7: Lawang Menuju Iklim Filsafat

Semiologi

Jika semiotika berkembang secara luas lewat tulisan-tulisan Peirce, maka semiologi muncul dari tradisi linguistik, terutama dari pemikiran Ferdinand de Saussure (1857-1913). Menurut Zoest, beberapa tahun sebelum semiotika berkembang dari pemikiran Peirce, semiologi yang lahir dari rahim linguistik ini, sebetulnya, telah lebih dulu diperkenalkan oleh Ferdinand de Saussure. Ferdinand de Saussure merupakan ahli linguistik yang dikenal sebagai penulis Cours Linguistique de Generale (Pengantar Linguistik Umum). Buku ini merupakan materi-materi kuliahnya yang disampaikan di Universitas Jenewa, Swiss. Serpihan materi kuliah itu kemudian dihimpun dan menjadi karya yang sangat berpengaruh terhadap para pemikir strukturalisme.

Di Indonesia pemikiran Saussure telah diperkenalkan langsung melalui karyanya. Pada tahun 1988, Cours de Linguistique generale telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Rahayu S. Hidayat, dan disunting oleh Harimukti Kridalaksana. Dalam pengantarnya yang berjudul Mongin-Ferdinand de Saussure (1857-1913): Bapak Linguistik Modern dan Pelopor strukturalisme, Harimukti menggambarkan gagasan pokok Saussure, sebelum menginjak langsung pada pemikiran Saussure lebih lanjut mengenai bahasa. Seperti distingsi antara langue, parole, dan langage, distingsi sinkronis dan diakronis, hakikat tanda bahasa, hubungan asosiatif dan hubungan sintagmatik, lalu perbedaan antara valensi, isi, dan pengertian (Kridalaksana, 1988).

Semua poin tersebut mengacu pada sistem bahasa yang saling berhubungan, termasuk di dalamnya membahas persoalan tanda secara spesifik. Sebab, menurut Saussure bahasa tidak dapat dipisahkan dengan tanda. Dengan kata lain, bahasa bagi Saussure merupakan sistem tanda. Terkait uraian mengenai tanda, Kridalaksana menggambarkan cukup rinci pada poin ketiga, yakni mengenai hakikat tanda bahasa. Gagasan Saussure yang digambarkan oleh Kridalaksana ini menyuguhkan sebuah pandangan bahwa tanda bahasa mengintegrasikan suatu konsep dan citra akustik, dan bukan sebuah benda atau nama (hlm. 12).

Lebih lanjut Kridalaksana menjelaskan bahwa definisi mengenai tanda bahasa menurut pandangan Saussure dapat diartikan sebagai image acoustic “yang terhubung dengan suatu memori atau bunyi yang bisa didengar melalui khayal, bukan lewat ujaran”. Artinya, dalam lingkup ini Saussure memberikan penjelasan mengenai tanda bahasa berupa signifie atau petanda (konsep), dan signifiant atau penanda (citra akustik) (hlm. 13-14). Sebagai contoh kita bisa membayangkan seekor kuda. Bentuk maupun gambar kuda sendiri merupakan penanda (signifiant) dari konsep kuda yang terdapat dalam ingatan (signifie). Sedangkan tanda sendiri merupakan bagian dari penanda dan petanda yang terejawantahkan melalui bahasa di masyarakat. Dalam hal ini bisa saja bentuk kuda dan kata kuda sudah dikonvensi sedemikian rupa di masyakarat, sehingga menghasilkan tanda bahwa kuda yaitu hewan berkaki empat, mempunyai ekor dan berlari kencang.

*Tulisan Sawala dari Cibiru merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan UKM Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK)

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//