SAWALA DARI CIBIRU #9: Mahasiswa Pagebluk Corona
Sayangnya saat saya masuk LPIK, wacana pemikiran Islam tidak ada yang menggandrunginya. Saat Taaruf Generasi Baru LPIK, saya malah membahas Fredrick Holle,
Muhammad Akmal Firmansyah
Mahasiswa Ilmu Sejarah UIN SGD Bandung dan Jurnalis BandungBergerak.id sejak 12 Juni 2022
13 Januari 2023
BandungBergerak.id - "Ah maneh mah asup kuliahna zaman kofit sih,” ucap Oga, salah seorang post-LPIK yang saya temui di Padalarang, berhubung saya menjadi seorang imigran yang baru saja pindah dari Bandung ke Padalarang.
“Asup LPIK weh engke, Mal,” seru Oga kepada saya. Tentu menjadi mahasiswa di UIN SGD Bandung yang masuk saat pandemi Covid-19 itu amat menyebalkan, bayangkan saya punya teman satu kelas tapi tak pernah bersapa di ruang nyata, tidak begitu hafal siapa dan seperti apa teman-teman saya.
Ya, kita belajar di zoom meeting atau bahkan googlemeet, dan bila dosen berhalangan – mungkin juga – ngajar, kita cukup absen di WhatsApp dan menerangkannya lewat voicenote. Slide-slide perkuliahan yang ditulis setengah copy paste itu diterangkan, ya yang pasti dengan cara dibaca, daripada dijelaskan. Jadinya, meminjam ucapan Rocky Gerung, proses kuliah tersebut “Tidak punya power, tidak punya point.”
Dan begitulah kuliah yang saya rasakan selama tiga semester secara daring yang kemudian saya memutuskan cuti dahulu dengan alasan satu dan lainnya. Sebelum cuti itulah saya masuk Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK).
Tentu berbeda dengan pengalaman-pengalaman post-LPIK yang mengenal LPIK dari inafigurasi kampus sewaktu PBAK. Oh tidak, saya PBAK saja lewat zoom meeting, dan mengenal LPIK malah sebelum masuk kampus UIN Bandung, sewaktu nyantren di Pesantren Persis 1 Bandung, yang waktu itu kebetulan juga saya menggandrungi wacana Islamisasi Ilmu Syed Naquib Al-Attas. Sewaktu Aliyah atau SMA itu saya membaca filsafat Ilmu yang ditulis Adian Husaini, dkk.
Saat saya nyantri di Pajagalan itu, salah seorang kakak kelas yang kebetulan kuliah di UIN SGD Bandung dan juga LPIK, meracuni kami-kami dengan bacaan buku-buku berat, di LPIK dia disebut Boim (Rizaldi Mina) yang sekarang konon ada di PP Hima Persis.
Boim juga yang menyuruh saya untuk masuk LPIK, “Asup LPIK weh, Mal!," seperti yang dituturkan oleh Oga. Jadi bisa dibilang saya tak mengenal LPIK langsung dari kampus, tapi dari luar kampus, bahkan sebelum masuk kampus itu sendiri.
Berbekal dengan Pemikiran Al-Attas
Buku Filsafat Ilmu: Perspektif Islam dan Barat (2013) yang ditulis oleh Adian Husaini, dkk merupakan buku yang saya baca pertama mengenali wacana filsafat ilmu, usai membaca Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal (2005) yang membahas sekularisasi Islam di Indonesia dan kebingungan dunia Barat mengenai liberalisme. Lalu kemudian membaca Pengaruh Kristen-Orientalis terhadap Islam Liberal: Dialog Interaktif dengan Aktivis Jaringan Islam Liberal (2003) ditulis Adnin Armas, dan lalu buku Virus Liberalisme di Perguruan Tinggi Islam (2009) yang ditulis oleh Adian Husaini.
Yaps, hampir buku-buku Institut for the Study of Islamic Thought and Civilization (Insists) dibaca di masa duduk di bangku Aliyah ketika saya siap-siap untuk memasuki jenjang selanjutnya yaitu kuliah, yang kata Boim, “kudu loba maca.” Jadi dengan terpaksa wacana-wacana pemikiran Islam tersebut saya baca. Dan kita sudah sama-sama tahu Insists, khususnya Adian Husaini, termasuk orang yang getol mengkritik pada pemikiran Islam Liberal di masa-masa itu.
Adnin Armas, misalnya, menulis Pengaruh Kristen-Orientalis terhadap Islam Liberal: Dialog Interaktif dengan Aktivis Jaringan Islam Liberal (2003) yang melakukan dialog dengan Aktivis Jaringan Islam Liberal di milis yang akhirnya dibukukan. Di buku tersebut Adnin berdialog dengan Ulil Abshar Abdala, Luthfie as-Syaukanie, Hamid Basyaib mengenai persoalan-persoalan yang ada di dunia Islam mulai dari sekularisasi, teologi negara sekuler, kerancuan berpikir, sejarah Al-Qur'an, evolusi agama, dan masa depan dunia Islam.
Dialog masalah sekularisasi sejatinya telah dilakukan oleh pentolan pemikir Islam terkenal di Indonesia yaitu Nurcholish Madjid dan Syed Muhammad Naquib Al-Attas.
Seperti yang dilaporkan oleh Majalah Panji Masyarakat edisi 1-10 November 1988, dialog itu dimoderatori oleh Quraish Shihab, sebetulnya dialog antara Nurcholish Madjid dan Syed Muhammad Naquib Al-Attas itu kelanjutan perdebatan pada tahun sebelumnya, yaitu 1987.
Baca Juga: SAWALA DARI CIBIRU #6: Wacana Parrhesia
SAWALA DARI CIBIRU #7: Lawang Menuju Iklim Filsafat
SAWALA DARI CIBIRU #8: Berkenalan dengan Semiotika
Diskursus Pemikiran Islam
Masih mengutip laporan yang diturunkan oleh Panjimas, menurut Al-Attas, sekularisasi itu berbahaya dan tidak betul. Ia menepis anggapan masyarakat yang mengatakan, "Apa salahnya perkataan itu digunakan dengan memberi makna tanggapan sendiri." Perkataan tersebut kata al-Attas tidak betul dan berbahaya.
Mengutip dari Adnin Armas (2003), al-Attas mengkritik makna yang terkandung dalam istilah sekularisasi yang menurutnya relativisme sejarah yang menjadi urat nadi sekularisasi. Karenanya, Islam adalah agama yang mengatasi dan melintasi waktu karena sistem nilai yang dikandungnya adalah mutlak. Kebenaran nilai Islam bukan hanya untuk dahulu, namun juga masa sekarang dan akan datang. Nilai-nilai dalam Islam berlaku sepanjang masa.
Berbeda dengan Nurcholish Madjid yang pada 2 Januari 1970 yang pada waktu itu meluncurkan makalah berjudul "Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat" yang menurut Adnin Armas, setelah gagasan Nurcholish Madjid itu para propagandis sekulerisasi di Indonesia berjubel.
Lebih lanjutnya bisa membaca Tiar Anwar Bachtiar dalam disertasinya di Universitas Indonesia membahas hal ini, yang telah dibukukan berjudul Pertarungan Pemikiran Islam di Indonesia.
Buku Filsafat Ilmu yang ditulis oleh Adian Husaini, dkk. itulah yang mengantarkan saya untuk memahami filsafat dan pemikiran-pemikiran tokoh filsafat seperti Michael Faucalt, tokoh-tokoh seperti Robert Bellah, dan Hervey Cox. Di tahun 2017 itulah sebelum masuk UIN Bandung, Boim mecekoki filsafat Ilmu sedikitnya saya paham apa itu epistemologi, aksiologi, ontologi yang dibahas dengan pendekatan pemikiran Islam al-Attasm – mengutip istilah yang dilontarkan oleh Prof Atip Latipul Hayat– sewaktu duduk di bangku Mualimin. Oh, iya, for information, al-Attas merupakan salah satu seorang cendekiawan serta filsuf muslim kelahiran Bogor yang saat ini di Malaysia. Ia menguasai teologi, filsafat, metafisika, sejarah, dan literatur. Ia juga menulis berbagai buku di bidang pemikiran dan peradaban Islam, khususnya tentang sufisme, juga kosmologi, filsafat. Dan murid-murid Al-Attas di Indonesia itulah yang saya baca sewaktu Aliyah. Kata Boim, agar saya bisa kuat nanti saat masuk kuliah. “Meh kuat engke pas asup kuliah,” ungkap Boim.
Sayangnya saat saya masuk LPIK, wacana pemikiran Islam tidak ada yang menggandrunginya, bahkan saya sendiri cenderung menghindarinya. Saat Ta'aruf Generasi Baru (TGB), salah satu syarat masuk LPIK, saya malah membahas Fredrick Holle dan itu saya membahas politik etis di Indonesia, tidak dengan sejarah pemikiran Islam. Di LPIK yang masih konsisten pada filsafat Islam dan pemikiran Islam di Indonesia diangkatan saya mungkin cuman satu atau dua orang, selebihnya mereka mendalami marxisme dan bacaan-bacaan Martin Suryajaya, kemudian baru-baru ini egoism, Marx Stirner.
Dan saya adalah mahasiswa online, saya tak merasakan adanya sekularisasi si perguruan tinggi, apa karena saya mahasiswa daring, apa karena kampus UIN SGD Bandung sudah menjunjung moderasi: Wahyu Memandu Ilmu. Adakah oase diskursus pemikiran Islam? Semoga-semoga.
*Tulisan Sawala dari Cibiru merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan UKM Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK)