SAWALA DARI CIBIRU #14: Mitos LPIK dan Gladiator Wacana
Sudah fitrahnya mahasiswa itu membaca, menulis, dan berdiskusi. Tetapi menjadi lain ketika hal itu disanjung, apalagi berlebihan.
Arsyad Fauzi
Ketua Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) UIN SGD Bandung Periode 2021-2022
17 Februari 2023
BandungBergerak.id – Ketika menjadi mahasiswa baru di UIN Sunan Gunung Djati, saya melihat begitu banyak wadah baik organisasi atau komunitas. Kala itu saya memilih dan aktif pada satu komunitas saja, Jaringan Anak Sastra (JAS). Kegiatannya pada waktu itu kebanyakan sambil nongkrong di bawah pohon Rindang (DPR), dari berkegiatan kesusastraan sambil bercanda saat sore sampai malam, bahkan sampai lupa masuk kelas, karena begitu menikmati canda dan tawa. Di sana saya bertemu dengan Ridwan Malik (Adew) dan Ryan Zulkarnaen (Iyan) yang mengenalkan LPIK pada saya.
Awal 2019, ketika sedang menikmati angin sore dan senja, terdapat beberapa orang yang sedang serius membahas politiknya Machiavelli, hegemoninya Gramsci, Nihilismenya Nietszche dan masih banyak lainnya, salah satu dari mereka, ialah Raja Cahaya dan Taufik Romadhona (Emul). Bersama mereka berdua berbincang bagaimana kondisi LPIK, mulai dari tradisi sampai karakteristiknya yang tentu akan dinilai nyeleneh bagi beberapa orang. Beberapa kali juga pernah diajak diskusi oleh Adew, saya bertemu dengan Rizaldi Mina (Boim), banyak juga saya temukan mulai dari pluralisme Nurcholis Majdid, Islam liberal, pemikiran Ali Asghar Einggeneer dan pemikiran Islam lainnya. Diskusi yang begitu seru dan jarang ditemukan di kampus, akhirnya saya berniat bergabung untuk menjaga literasi.
Sebelum masuk kuliah, sejak zaman sekolah sudah terbiasa membaca, sedikitnya saya sudah mengetahui cara revolusinya Tan Malaka, absurditasnya Albert Camus, kelas sosialnya Karl Marx, dan anarkismenya Mikail Bakunin. Tak lupa juga dengan beberapa karya sastra sempat dibaca, seperti Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer dan Sepotong Senja untuk Pacarku karya Seno Adji Gumira atau beberapa puisi dari W.S. Rendra dan Chairil Anwar. Semasa itu, banyaknya buku sejarah yang saya baca. Saya berpikir waktu itu, setidaknya itu modal literasi sebelum masuk kuliah, tentu niat tersebut semakin membara ketika menemukan LPIK.
Ketika sudah memasuki LPIK, ternyata bahan yang dipunyai masih jauh dari kata kurang. Melihat teman-teman di LPIK yang memiliki wacana dan bacaan lebih, akhirnya saling memberikan referensi bacaan dan bertukar wacana dalam setiap diskusi atau bertemu. Bahkan, ketika 2020, bertemu dengan Aditya Dwi (Kelam), Rizal Rahmat (Kate), Ari Rizal (Jelek), Hilmi Hidayatullah (Hime) dan masih banyak lainnya yang menjadi hal biasa ketika membawa bacaan atau wacana yang akan ditukarkan atau dikritik.
Ternyata LPIK telah dimitoskan oleh kebanyakan mahasiswa di UIN Bandung. Penyebabnya karena sering berdiskusi serius, banyak membaca buku yang “berat-berat”, dan paham mengenai segala teori. Konon katanya, jika diandaikan, LPIK merupakan kumpulan para pemikir. Jika ada orang yang menilai LPIK pasti akan berkata “Wah, LPIK mah bacaannya berat euy, ngeri”, “Anak LPIK mah atuh diskusi wae pagawean na”, dan “Anak LPIK mah buku na aralus”. hal-hal yang seperti itu yang membuat mitos-mitos LPIK di kampus begitu menyebar dan diyakini oleh sebagian orang.
Padahal anak LPIK hanyalah mahasiswa biasa saja, seperti yang lainnya. Hanya sekumpulan orang tak punya kegiatan, lalu membaca dan berdiskusi, serta berkumpul tidak jelas sampai subuh di Vienna Circle (nama tongkrongan di salah satu warkop Cibiru). Bagi LPIK sendiri, kegiatan membaca, menulis dan diskusi ini sudah biasa, meskipun orang lain memandang tersebut.
Ditambah juga dengan beberapa anak LPIK yang mendapatkan tawaran menjadi narasumber di berbagai wadah, baik di dalam kampus ataupun di luar kampus. Dari sinilah orang-orang menilai dengan mitos-mitosnya. Tentu karena terbiasa mengisi diskusi di LPIK harus menyiapkan materi terlebih dahulu dengan tulisan, bacaan dan argumentasi yang kuat. Ketika mendapatkan tawaran jadi narasumber, tentu kurang lebih mempersiapkan hal serupa untuk memaparkan materi dan penjelasannya.
Maka dari itu, terbentuk mitos-mitos bernuansa akademis, orang-orang menilai bahwa anak-anak LPIK memiliki kemampuan lebih dalam intelektual, karena suka membaca dan diskusi. Meskipun pada nyatanya biasa saja dan membaca dan diskusi hanyalah sekedar hobi. Terlebih beberapa anak LPIK sempat menerima menjadi pembicara kondang.
LPIK sendiri menerima akan mitos-mitos tersebut, beberapa ada yang biasa saja dan agak risih, karena hal yang biasa malah diagung-agungkan. Padahal sudah fitrahnya mahasiswa itu membaca, menulis dan diskusi. Tetapi menjadi lain ketika hal itu disanjung, apalagi berlebihan.
Di UIN Bandung sendiri memang banyak sekali diskusi-diskusi beragam, di setiap sudut kampus, dapat ditemukan beberapa mahasiswa berkumpul dan berdiskusi. Biasanya dari sore usai kuliah sampai malam dengan melingkar sambil meminum kopi. Tentu seharusnya wajar kegiatan literasi di kampus ini.
Tetapi menjadi mitos ketika anak LPIK lebih mengetahui filsuf atau pemikir yang jarang diketahui atau beberapa aliran filsafat yang jarang dibahas, bahkan dikenal tabu. Ditambah dengan bacaan dengan buku yang jarang diketahui dan diakses oleh kebanyakan orang. Tentu hal tersebut dapat diwajarkan, jika sebagian orang menilai dengan mitos-mitosnya.
Meskipun begitu, baik menjadi mitos ataupun tidak, memang seharusnya kegiatan literasi tersebut harus dilakukan dan oleh siapa pun. Mengingat budaya membaca masih begitu minim, tetap harus digaungkan. Hal-hal yang dinilai tabu atau sulit dipahami, seperti filsafat misalnya, memang harus didiskusikan.
Baca Juga: SAWALA DARI CIBIRU #13: Menemukan “Kamar Kecil†di Kamar Kecil LPIK
SAWALA DARI CIBIRU #12: Rumpi Ririwa sebagai Kegiatan Diskursif
SAWALA DARI CIBIRU #11: Membumikan Kajian Keislaman
SAWALA DARI CIBIRU #10: DPR sebagai Ruang Diskursus
LPIK menjadi Gladiator Wacana
Tentunya, dalam LPIK sendiri berbagai latar belakang, beragam jurusan dan fokus bacaan yang membuat setiap diskusi menjadi semacam gladiator di Colosseum. Menjadi hal biasa berdebat dan bantah-bantahan saat diskusi untuk memperkuat wacana masing-masing, dengan dibekali bacaan sebelum diskusi untuk modal berdebat.
Menariknya, ketika berdebat meskipun dengan narasi yang boleh dikatakan serius, tetapi diselingi oleh candaan. Inilah yang menjadikan diskusi tidak membosankan atau tidak seperti ketika kuliah yang begitu monoton.
Bak seperti bertarung, senjata kita adalah hasil bacaan untuk memaparkan atau mengkritisi suatu wacana. Dari semua yang mengikuti diskusi dapat diandaikan seperti petarung di gladiator yang sudah membawa wacana-wacana tertentu dari bacaannya.
*Tulisan Sawala dari Cibiru merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan UKM Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK)