• Kolom
  • SAWALA DARI CIBIRU #12: Rumpi Ririwa sebagai Kegiatan Diskursif

SAWALA DARI CIBIRU #12: Rumpi Ririwa sebagai Kegiatan Diskursif

Rumpi merujuk pada aktivitas lisan, sering diucapkan menjadi ngerumpi. Kata ririwa diambil dari penyebutan hantu yang ngetren di alam Sunda.

Hafidz Azhar

Penulis esai, sejak September 2023 pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan (Unpas), Bandung

Selepas acara Rumpi Ririwa yang berlangsung di kantin Kopma UIN SGD Bandung pada tahun 2017. (Dokumentasi LPIK)

2 Februari 2023


BandungBergerak.idSepanjang saya menjadi bagian LPIK, ada banyak kegiatan diskursif yang digelar dengan sangat santai. Salah satunya, acara Rumpi Ririwa. Acara tersebut merupakan kegiatan diskusi insidental. Kegiatan ini berjalan seiring dengan momen-momen penting yang telah terjadi, tetapi tidak jarang berlangsung berdasarkan kehendak ketua LPIK. Dengan demikian acara Rumpi Ririwa lebih bersifat fleksibel tergantung tema apa yang pas untuk didiskusikan.

Nama Rumpi Ririwa sendiri diambil secara arbitrer. Tidak ada pembahasan serius terkait nama kegiatan yang digunakan itu, asalkan bagi anak-anak LPIK penyebutannysa bisa mewakili kegiatan diskursif. Meski begitu, kami bukan tidak memikirkan arti di balik kedua istilah itu. Malah sejauh yang saya ketahui, sekurang-kurangnya, terdapat makna khusus, baik untuk kata rumpi sendiri maupun untuk ririwa.

Dalam konteks bahasa Indonesia kata rumpi merujuk pada aktivitas lisan. Biasanya kata rumpi sering diucapkan menjadi ngerumpi, dengan arti obrolan-obrolan tak keruan. Meski berkonotasi negatif, ngerumpi bagi anak-anak LPIK banyak mendatangkan faedah. Dalam Rumpi Ririwa kami dapat membicarakan segala macam hal: mulai dari kehidupan manusia tempo dulu, hingga peristiwa-peristiwa terkini yang dianggap remeh temeh.

Selanjutnya, arti kata ririwa. Istilah itu mula-mula diambil dari penyebutan hantu yang ngetren di alam Sunda. Dalam Kamus Sunda-Indonesia susunan R. Satjadibrata, misalnya, kata ririwa diartikan sejenis hantu. Ada juga ngaririwaan yang berarti menghantui, namun kami menggunakan ririwa supaya dapat digunakan sebagai personifikasi dari pikiran-pikiran abstrak atau melangit saat obrolan-obrolan tersebut berjalan.

Rumpi Ririwa dimulai sejak tahun 2011. Pada diskusi munggaran (pertama) ini kami memunculkan momen Sumpah Pemuda. Acara pun dikemas dengan santai dan seadanya yang berlangsung di pelataran gedung rektorat UIN SGD Bandung. Di samping itu, kami juga menghadirkan Zen RS sebagai pembicara tunggal. Diskusi semakin menarik saat muncul berbagai opini dari audiens terkait inti dari peristiwa Sumpah Pemuda yang terjadi pada 28 Oktober 1928 itu. Salah satu audiens menyebutkan bahwa Sumpah Pemuda mengandung spirit kesukuan yang penting untuk diterapkan di era demokrasi, karena pada dasarnya ikrar Sumpah Pemuda merupakan gabungan dari berbagai suku dengan tujuan persatuan seluruh bangsa Indonesia.

Sekalipun acara Rumpi Ririwa banyak dihadiri oleh anak-anak LPIK, tetapi acara itu sangat terbuka bagi siapa saja. Terbukti, pada tahun 2013, LPIK kembali mengadakan Rumpi Ririwa di area DPR UIN SGD Bandung untuk memperingati peristiwa Bandung Lautan Api. Lalu lalang masyarakat kampus membuat suasana DPR semakin hangat. Apalagi, kali ini LPIK berhasil mendatangkan Ki Dalang Opik Sunandar Sunarya bersama Ahmad Ghibson untuk membahas Bandung Lautan Api dalam sisi sosial dan budaya.

Acara Rumpi Ririwa yang digelar di area DPR itu dibuka dengan pertunjukan wayang golek. Dengan menampilkan tiga punakawan pewayangan Sunda, yakni si Cepot, Dawala, dan si Acung, Ki Dalang berhasil membuat orang-orang yang berada di sekeliling pohon beringin saling berhimpit-himpitan. Bukan hanya itu. Para penonton pun memperlihatkan wajah-wajah penuh tawa akibat aksi jenaka Si Cepot dan Si Acung, sehingga nuansa pertunjukan wayang golek berlangsung begitu ramai.

Setelah penampilan wayang golek selesai, acara dilanjutkan dengan sesi diskusi. Pembahasan pun mengarah pada satu masalah di kawasan Bandung Raya. Mula-mula Ki Dalang Opik mengeluhkan tentang banyaknya perumahan dan gedung-gedung yang mengelilingi Bandung. Dengan demikian hal ini menjadi sorotan utama dalam mengamati kondisi alam di Bandung, sekaligus menjadi tendensi diskusi Rumpi Ririwa tentang esensi momen Bandung Lautan Api. “Kini, Bandung sudah menjadi lautan perumahan dan gedung-gedung, ketimbang dulu para pahlawan memperjuangkan Bandung menjadi lautan api,” jelas Ki Dalang Opik.

Baca Juga: SAWALA DARI CIBIRU #9: Mahasiswa Pagebluk Corona
SAWALA DARI CIBIRU #10: DPR sebagai Ruang Diskursus
SAWALA DARI CIBIRU #11: Membumikan Kajian Keislaman

Tinggal Kenangan

Pada Rumpi Ririwa selanjutnya yang berlangsung medio 2014, pembahasan diskusi bergeser ke tema Islam dan Media bersamaan dengan peluncuran situs LPIK. Acara itu berlangsung di Aula Student Center, dengan menghadirkan Acep Iwan Saidi sebagai pakar semiotika dan juga Profesor Asep Saeful Muhtadi selaku pakar komunikasi UIN SGD Bandung. Singkatnya, diskusi ini cukup menyedot perhatian massa yang hadir, kendati tidak terlalu ramai seperti Rumpi Ririwa sebelumnya.

Di tahun 2015 LPIK kembali menggelar Rumpi Ririwa. Pada kegiatan ini Fikri dkk mengangkat tema Urgensi Kajian Kebudayaan dan Masyarakat Sunda, dengan mengundang Hawe Setiawan dan Ahmad Ghibson sebagai pembicara. Dalam Rumpi Ririwa yang berlangsung siang hari itu, Hawe Setiawan memulai penjelasannya tentang tiga bagan kebudayaan menurut perspektif C.A Van Peursen. Dilanjutkan dengan sekelumit kegelisahan mengenai minimnya penggunaan bahasa Sunda. Sementara Ahmad Ghibson menguraikan pandangannya tentang kebudayaan secara filosofis disertai dengan contoh-contoh gejala kebudayaan yang sedang marak terjadi.

Selain itu pada pertengahan tahun 2017, Rumpi Ririwa digelar di kantin Koperasi Mahasiswa (Kopma) UIN SGD Bandung. Saat itu tema yang diangkat tentang isu Kebebasan Pers perspektif sosial dan budaya. Adapun yang menjadi pembicara, yakni Adi Marseila selaku ketua AJI Bandung dan Subagio Budi Prayitno sebagai dosen jurnalistik UIN Bandung. Sayangnya, pada acara Rumpi Ririwa ini saya tidak hadir, sehingga tidak mengetahui jalannya diskusi.

Demikianlah berbagai acara Rumpi Ririwa yang pernah saya ikuti. Selebihnya saya hanya memantau dari media sosial atau sekadar diberi informasi oleh anak-anak LPIK. Bahkan menurut kabar yang saya dapat belakangan, kegiatan Rumpi Ririwa sudah tidak lagi berjalan, karena banyaknya kelas-kelas khusus yang digelar secara intens.

Baik Rumpi Ririwa maupun kelas-kelas yang diadakan secara berkala, bagi saya, hanyalah akses untuk menjalankan aktivitas diskursif. Dalam Rumpi Ririwa, semua orang bisa memperoleh pengetahuan karena segmentasinya terbuka secara umum, sedangkan kelas-kelas khusus hanya diperuntukkan bagi anggota LPIK, terutama anggota yang baru bergabung setelah mengikuti TGB. Memang, selama dua tahun mengalami pandemi, banyak kendala teknis yang dirasakan anak-anak LPIK dalam menyalurkan wacana keilmuan, sehingga untuk generasi LPIK sekarang, kegiatan-kegiatan diskursif seperti Rumpi Ririwa, Milangkala dan kelas-kelas khusus harus dimatangkan kembali dan disesuaikan dengan minat mahasiswa saat ini. Saya kira tantangan LPIK ke depannya akan semakin sulit, dan pada akhirnya kegiatan Rumpi Ririwa hanya tinggal kenangan.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//