• Kolom
  • SAWALA DARI CIBIRU #16: Wacana dalam Catatan

SAWALA DARI CIBIRU #16: Wacana dalam Catatan

Para anggota LPIK UIN SGD Bandung menggunakan Facebook sebagai ruang diskusi. Agama, filsafat sampai isu-isu sosial menjadi topik bahasan.

Hafidz Azhar

Penulis esai, sejak September 2023 pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan (Unpas), Bandung

Para peserta Mabim LPIK tahun 2016 dalam materi kepenulisan. (Sumber Foto: Dokumentasi LPIK)

2 Maret 2023


BandungBergerak.idSejak pertama kali masuk UIN SGD Bandung saya sudah dibiasakan menulis dalam catatan. Yang saya maksud bukan catatan harian dalam buku, melainkan satu fitur bernama notes yang terdapat pada jejaring sosial, Facebook. Bagi saya fitur ini sangat membantu dalam berlatih menulis, bahkan bisa meminta tanggapan langsung dari teman-teman yang sudah ditandai.

Kalau saya tidak salah ingat, catatan pertama saya masih seputar curhatan. Terkadang saya pun menulis puisi reflektif untuk dikomentari oleh teman-teman. Hal ini saya lakukan sampai akhirnya tulisan-tulisan tersebut berganti haluan yeng semula bernuansa personal menjadi pandangan-pandangan terhadap kondisi sosial-keagamaan. Seperti pada puisi berjudul Jejak Rakyat Merapi, yang berisi rasa empati saya terhadap korban meletusnya Gunung Merapi di Yogyakarta pada tahun 2010.

Pada masa-masa awal bergabung dengan LPIK, tulisan-tulisan saya dalam catatan terbilang cukup beringas. Maklum saja, kala itu saya merupakan anak kemarin sore yang kagum terhadap buku-buku karangan pemikir Islam liberal, sehingga beberapa tulisan saya mengarah pada judul yang sangat provokatif tentang ajaran Islam. Misalnya, pada tulisan yang berudul Perintah Allah, Perintah Murahan. Tulisan ini tidak sedikit pun bernuansa penistaan, karena isinya menunjukkan kritik terhadap orang-orang yang menjalankan ajaran Islam sekadar rutinitas belaka.

Di masa-masa selanjutnya, beberapa orang kawan ikut juga meramaikan fitur catatan dalam Facebook. Sebut saja misalnya, Yoga, Ihsan Fauzal, dan Ridwan Rustandi. Yoga sendiri banyak menunjukkan tulisan-tulisan filosofis. Sementara Ihsan dan Ridwan sering menyuguhkan tulisan reflektif sehari-hari yang dibalut dengan pandangan keislaman, komunikasi atau filsafat sosial. Melalui tulisan-tulisan itu, tak jarang mereka diberikan tanggapan dengan pendapat-pendapat serius tentang beragam isu yang dimunculkan. Atau bahkan ada juga yang sekadar mengkritik tanpa memberikan solusi sedikit pun, sehingga diskusi menjadi terhenti.

Pada tulisan Yoga yang berjudul Ali Syariati: Menggugat Sunni dan Syiah, misalnya, Yoga menampilkan isi pikirannya tentang Ali Syariati. Tulisan itu dibuat sebagai komentar balasan terhadap Syarif Maulana. Catatan tersebut juga menggambarkan pandangan Ali Syariati sebagai Syiah yang berkebalikan dengan Imam Khomenei dalam memandang Khulafaur Rasyidin. Kendati Ali Syariati penganut Syiah, menurut Yoga, ia masih mengakui Khulafaur Rasyidin sebagai pelanjut Nabi Muhammad SAW. Bahkan Yoga juga menjelaskan bahwa Ali Syariati menentang konsep imamah dalam sistem totaliter yang diterapkan oleh Khomenei karena dapat menimbulkan tirani berkedok Islam.

Selain itu, tulisan Ihsan yang berjudul Love and Liberation juga mampu menghangatkan ruang diskursif dalam catatan. Tulisan tersebut mempertanyakan ihwal cinta yang diejawantahkan melalui pacaran. Menurutnya tidak ada cinta yang hakiki selain cinta yang berakhir pada Tuhan. Sebab cinta yang dilakukan dalam pacaran mendominasi adanya intimidasi pada laki-laki atau pun perempuan, sehingga tidak ada kebebasan di antara keduanya. Dalam analisisnya Ihsan menyebutkan bahwa esensi cinta itu ialah ketauhidan yang menjunjung tinggi kebebasan. Pandangan ini mengacu pada konsep Asgar Ali Engineer tentang Islam dan Teologi Pembebasan. Dari sini muncullah kesimpulan bahwa cinta tidak ada pengekangan sebagaimana cinta yang ditunjukkan kepada Tuhan. “Lahirlah love and liberation semacam refleksi atas Tuhan. Karena cinta esensial itu berakhir pada pada Tuhan, yaitu ketauhidan yang menjunjung tinggi kebebasan,” tulis Ihsan dalam catatan yang dipublikasikan awal tahun 2010 itu.

Pada medio 2010, Ridwan Rustandi mengisi catatanya dengan tulisan berjudul Dari Sebuah Gerakan Menuju Peradaban. Tulisan ini memberikan pandangan bahwa gerak dan peradaban merupakan kausalitas yang berdampak hingga saat ini. Dalam penjelasannya ia menyebut Nabi Muhammad sebagai tokoh yang telah berhasil membentuk pergerakan dan peradaban Islam. Namun, tesis ini dibantah oleh Yoga. Menurutnya Nabi Muhammad hanyalah sosok pembebas, bukan orang yang membentuk peradaban Islam. Hal ini mengacu pada catatan sejarah bahwa peradaban Islam muncul ketika Dinasti Abbasiyah berkuasa, sementara untuk perluasan wilayah secara masif dilakukan pada masa Dinasti Umayyah.

Baca Juga: SAWALA DARI CIBIRU #13: Menemukan “Kamar Kecil” di Kamar Kecil LPIK
SAWALA DARI CIBIRU #14: Mitos LPIK dan Gladiator Wacana
SAWALA DARI CIBIRU #15: Dari Diskursus ke Aksi

Facebook sebagai Ruang Diskusi

Sebagai anggota LPIK yang masih belajar menulis, saya sangat beruntung karena waktu itu saya banyak memperoleh wacana baru. Setelah fitur catatan di dalam Facebook semakin digandrungi, saya pun tak luput dari sorotan beberapa orang kawan untuk memberikan komentar pada tulisannya. Menariknya, tulisan-tulisan yang ditunjukkan kepada saya bukan saja berasal dari Kurawa LPIK, tetapi dari anggota Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) dan komunitas lain yang sering nongkrong bersama di beberapa tempat. Sebut saja seperti Ojan (Fajar Fauzan), Miko, dan Hamdan dari Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Suaka; atau Galah Denawa (Dasep) dari Komunitas Kabel Data.

Sampai tahun 2014, tulisan-tulisan yang meramaikan fitur catatan dalam Facebook tak pernah sepi dalam nuansa diskursif. Di permulaan tahun, misalnya, saya menulis Karya Sastra sebagai Status Quo: Perihal Pro dan Kontra Buku 33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh. Tulisan ini merupakan respons atas buku 33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh yang banyak menyedot perhatian kalangan pegiat sastra karena dianggap kontroversial. Dalam tulisan itu mula-mula saya mempertanyakan keputusan para penyusun buku ihwal nama Denny J.A. yang masuk dalam deretan tokoh sastra paling berpengaruh. Sementara nama-nama sastrawan lain seperti Seno Gumira Adji Darma, Danarto, dan Wiji Thukul tidak dimasukkan ke dalam sastrawan yang sangat berpengaruh, sehingga hal ini bukan saja memunculkan kecurigaan bagi saya, tetapi bagi mayoritas penikmat sastra di seluruh Indonesia. Tentu saja isu ini hangat diperbincangkan kala itu. Begitupun pada kolom komentar tulisan saya mengenai respons terhadap buku kontroversial itu. Di situ ada muncul berbagai opini, dari mulai hujatan sampai analisis terhadap keputusan kontroversial yang memasukkan nama Denny J.A. sebagai salah satu sastrawan paling berpengaruh.

Sayangnya, sejak tahun 2018 tradisi menulis dalam fitur catatan lambat laun mulai ditinggalkan oleh para Kurawa. Hal ini juga mengindikasikan bahwa ruang diskursif dalam jejaring sosial sudah tidak lagi relevan.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//