• Kolom
  • SAWALA DARI CIBIRU #19: Ngareuah-Reuah Milangkala

SAWALA DARI CIBIRU #19: Ngareuah-Reuah Milangkala

Milangkala dari kata milang anu hartos na menghitung, merenung, memaknai; sedangkan kala berarti waktu.

Ibn Ghifarie

Pegiat kajian agama dan media di Institute for Religion and Future Analysis (IRFANI) Bandung.

Poster Milangkala LPIK XX. (Sumber Foto: Dok. Pribadi/Penulis)

23 Maret 2023


BandungBergerak.id - Rasalnya tak afdal bila momentum kelahiran (anak, lembaga, instansi) tidak dirayakan. Penamaannya bermacam-macam. Ada  ulang tahun (Ahmad, Sari, Rosa), anniversary (Bram, Eva, Angel), Dies Natalis (UI, UGM, Unpad, ITB, UIN SGD), Milad (UIN Ar-Raniry, UIN Alauddin, UIN Suska), Hari Jadi (Kota Bandung, Cimahi, Kabupaten Bandung, Garut), Milangkala (Provinsi Jawa Barat, Padepokan Seni Mayang Sunda, LPIK).

Sungguh beragam perayaannya dilakukan mulai dari yang sederhana, biasa-biasa, sampai megah. Dengan mengundang teman bermain, sahabat komunitas, sejawat dalam bekerja, melibatkan warga, kawan keluarga besar. Sambil makan-makan.

Sebelumnya dilakukan prosesi doa dengan berbagai harapan agar lebih baik di tahun berikutnya, rangkaian acara ulang tahun digelar ada jalan santai, bakti sosial, sumbangan, diskusi, bedah buku, seminar, hingga potong kue, dan nasi tumpeng.

Dari Milad ke Milangkala

Milangkala LPIK (Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman) menjadi momentum yang selalu dirindukan. Pasalnya, keluarga besar LPIK mulai dari anggota (kurawa), pengurus, alumni (post), sampai pembina tumpah ruah pada acara puncak milangkala (14 Mei) biasa berkumpul dan makan bersama. Bertukar pikiran, gagasan, cerita, pengalaman hidup untuk menatap masa depan yang lebih baik menjadi keharusan yang tak bisa dilupakan.

Walhasil, rangkaian acara milangkala selalu berusaha menghadirkan tokoh penting pada zamannya. Sekedar merawat ingatan kolektif ada Cak Nun (Emha Ainun Nadjib), Jalaluddin Rakhmat, Din Syamsuddin, Anhar Gongong, Ulil Absar Abdallah, Athian Ali Muhammad Da'i, Hedi Muhammad, Budhy Munawar Rahman, Ihsan Ali-Fauzi, Bambang Sugiharto, Acep Iwan Saidi, Jakob Sumardjo, Remy Silado, Hawe Setiawan, Tisna Sanjaya, Dadan Sutisna, Dhipa Galuh Purba, Julian Millie;

Hermawan Aksan, Pidi Baiq, Ahad Imron, Godi Suwarna, Romo Benny, Dimitri Mahayana, Miftah Fauzi Rakhmat, Kimung, Ucok, Adew Habsta, Aquarini Priyatna, Dianto Bachriadi, Astuti Ananta Toer, Danil Mahendra, Amin Mudzakkir, Dede Mulyanto, Yovantra Arief, Berto Tukan, Ahmad Baso, Alfathri Adlin, Ahmad C. Tridakusumah, Azka Fahriza, Kafil Yamin, Alex Sobur, Stephanus Djunatan, Muhammad Al-Fayyadl, Bilven, Dadang Kahmad, Afif Muhammad, Ahmad Tafsir, Juhaya S Praja, Wardi Bachtiar, Asep S. Muhtadi, Ahmad Gibson Albustomi, Deden Effendi, Bambang Q-Anees, Wahyudin Darmalaksana, Dede Syarif, Ahmad Hasan Ridwan, Radea Juli A. Hambali.

Tentunya diikuti dengan membedah pemikiran: Harun Nasution, Gus Dur, Cak Nur, Ahmad Wahib, Djohan Effendi, Romo Mangun, Mansour Fakih, Hasan Hanafi, Arkoun, Al-Jabiri, Sahrur, Ali Asgar, Fatimah Mernissi, Amina Wadud, Muthathhari, Jalaluddin Rumi, Sayyed Hossein Nashr, Ibnu Arabi, Schopenhauer, Kant, Hegel, Sartre, Camus, Foucault, Nietzsche, Heidegger, Antonio Gramsci, Anthony Giddens, Hannah Arendt, Pramoedya Ananta Toer, Tan Malaka, Haji Hasan Mustapa. 

Semuanya ini menjadi pertanda atas puncak keberhasilan kepengurusan dan kebanggaan keluarga besar LPIK. Padahal sedari awal peringatan tahun pertama masih sederhana, dengan semangat menggebu-gebu dalam menciptakan kultur akademik.

Mari kita lihat hasil liputan Suaka, No 38 Juni 1997 hal 4 bertajuk "LPIK: Pembentuk Kultur Ilmiah" dengan rinci menjelaskan keadaan lokomotif pembaharuan pemikiran mahasiswa di lingkungan UIN SGD Bandung ini.

“Namun kenyataannya, setahun kehadiran LPIK belum mencapai target seideal sesuai dengan khittah didirikannya lembaga tersebut. Harapan itu masih jauh. LPIK, yang baru saja mengadakan milad dan musag perdana dengan memilih fomatur Mu'min Setiawan, masih merangkak untuk menjadikan dirinya yang ideal sesuai dengan namanya.

Kurang bijaksana jika kita meminta keidealan LPIK tanpa mau melek terhadap realitas yang melingkupinya. Dalam hal ini banyak kendala yang dihadapi. Pertama, persoalan pensuplaian dana yang terlalu minim, ini yang sering kali dikeluhkan pengurus. Kedua, sekretariat yang tidak memadai. Sampai sekarang sekretariatnya masih bergabung dengan UKM LPB (Lembaga Pembinaan Bahasa).

Padahal ruangannya kecil dan agak sumpek. Kemudian juga fasilitas kesekretariatan yang tidak memenuhi syarat, sebagai sebuah organisasi. "Melihat kondisi yang demikian, semoga pihak-pihak yang berkompeten terutama SMI lebih memperhatikan kami," harapan salah satu anggota LPIK yang tak mau disebut namanya. Moga-moga aja Bang (Suaka, No 38 Juni 1997 hal 4).

Sesuai dengan karakter periode pertama (1996-1999) yang dikenal normatif, LPIK memiliki semangat yang tinggi untuk terus belajar, menciptakan kultur akademik daripada perilaku rekreatif hingga budaya konsumtif.

Lembaga yang konsen terhadap kajian keislaman secara umumnya, hampir sama dengan Lembaga Dakwah Kampus (LDK) dalam konteks kekinian. Ini terlihat dan berbagai kajian yang menjadi program andalannya; kajian Fiqh Al-Qur’an, Syari’ah, Syirah Nabawi, Wacana Bahasa Arab, dan Inggris yang mengedepankan aspek-aspek keyakinan terlebih dahulu. Hingga suatu waktu LPIK dinilai sebagai sarangnya “gerakan” daulah Islam (DI/TII).

LPIK melakukan perlawanan terhadap segala bentuk ketidakadilan di saat terjadi jurang pemisah antara dunia ideal dengan realita. Misalnya saat peraturan yang dikeluarkan kampus harus diikuti, diterapkan, dalam urusan penamaan ulang tahun kampus, fakultas, jurusan, himpunan mahasiswa jurusan (HMJ), unit kegiatan mahasiswa (UKM) dengan sebutan dies natalis, malahan LPIK justru menghadirkan milad.

Pasalnya, kata dies natalis dikesankan kebarat-baratan, tidak sesuai dengan budaya ketimuran, tak islami. Berbeda dengan milad, sangat islami. Meskipun sampai tahun 2022, pergelaran dies natalis masih dipakai untuk memperingati hari lahir IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, 8 April 1968 (10 Muharram 1388 H).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diés natalis, hari ulang tahun berdirinya suatu lembaga pendidikan tinggi (Universitas, Akademi, dsb); milad, waktu kelahiran; hari kelahiran.

Uniknya, pada laporan utamanya Suaka No 38 Juni 1997 ini menurunkan judul "Mencairkan Kebekuan Kampus; "Membaca Visi dan Orientasi SMI 1997-1999" dengan editorial: Proses itu Lebih Penting.

“Kampus kita lebih semarak dengan kegiatan yang sifatnya rekreatif ketimbang kegiatan ilmiah. Kondisi ini memang diakui, baik di kalangan dosen maupun mahasiswa. Lihat saja misalnya, ketika dalam waktu bersamaan diadakan dua kegiatan; satu bersifat hiburan (lomba musik, band); dua bersifat ilmiah (lomba karya tulis, resensi, dll).

Peserta dan penonton yang membludak justru pada kegiatan hiburan. Sedangkan acara ilmiah nyaris 'jempling' dan sepi. Keadaan seperti ini memang sudah mengkristal sedemikian rupa, bukan hanya terjadi di sini, di kampus yang lain juga sama. Impian kita yang mengidealkan kampus sebagai tempat pengembangan nalar intelektual masih belum menjadi kenyataan.

Apalagi ditambah, minimnya UKM yang bergerak di bidang pengembangan ilmiah. Malah yang banyak UKM yang bergerak pada bidang olahraga dan pencak silat.

Sururi Mujib, salah satu anggota LPIK menuturkan dua tahun yang lalu, mahasiswa angkatan '95 dari lima Fakultas (Ushuluddin, Dakwah, Syari'ah, Tarbiyah, dan Adab) merekomendasikan kepada SMI untuk membentuk sebuah wadah (UKM) bagi penggairahan intelektual di kalangan mahasiswa.

Menurut pengamatan mereka, sedang mengalami stagnasi, lesu: tidak baik, jika membiarkan kondisi tidak kondusif bagi pengembangan keilmuwan mahasiswa. Usaha itu disambut baik, dan akhirnya pada 14 Mei 1996, dibentuklah LPIK (Lembaga Pengkajian Ilmu Keislman) yang diketuai oleh saudara Hayat Hudaya.

Meskipun buru lahir, LPIK langsung menggebrak dengan berbagai aktivitas keilmuannya, misalnya mengadakan diskusi rutinitas mingguan, diskusi reguler, diskusi umum, paket kuliah filsafat ilmu, presentasi makalah unggulan, diskusi buku, safari romadhon, studi komparatif, membentuk beberapa forum diskusi.

Alhamdulillah sekarang LPlK juga sudah menjalin hubungan yang bersifat keilmuan dengan perguruan tinggi lain, seperti Salman lTB, Unpad, dan Unisba.

Dari akar historis berdirinya dan program-program yang ditawarkan, nampaknya LPIK mempunyai bargaining position penting dalam struktur IAIN. Sesuai dengan namanya, Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman, sebenarnya LPIK bisa memposisikan diri sebagai kawah candradimuka bagi pendinamisasian pengkajian ilmu-ilmu keislaman di kalangan mahasiswa, yang selama ini dikesani kurang diminati.

Pesan itu disampaikan Rektor, ketika memberikan sambutannya dalam acara dialog kampus lingkungan bersama LPIK beberapa waktu lalu di Aula Bawah.

Rektor berharap LPIK mampu menjadi "lokomotif" pembahauan pemikiran mahasiswa. Harapan itu adalah harapan kita semuanya. Harapan membuat "revolusi" dalam membentuk kultur ilmiah, religius dan edukatif. Hal ini mengingat kultur ilmiah di kalangan mahasiswa kita kalah pamor dengan kultur rekreatif” (Suaka, No 38 Juni 1997 hal 4).

Baru pada periode kedua (2000-sekarang) menggunakan istilah milangkala. Tidak milad. Tepatnya pada saat kepemimpinan Ahmad Sahidin (2002-2003). Milangkala terdiri atas dua kata, yaitu milang artinya menghitung, kala berarti waktu. Milangkala berarti selamat ulang tahun.

Sesuai dengan karakter periode kedua ini perubahan paradigma menjadi sebuah keharusan.  Apalagi konteks zaman dan masyarakat terus berubah, seiring berputarnya roda kehidupan. Terutama saat masuk empat mahasiswa ‘kritis’ dari Fakultas Ushuludin semakin menegaskan gerbongnya pemikir untuk kalangan kampus UIN SGD Bandung, kawah candradimuka, penempa calon-calon intelektual.

Saat ditanya soal perubahan dari milad ke milangkala, Kang Ahsa, sapaan akrabnya menuturkan, "Muhun ti Abdi ngawitana. Menghitung waktu, makna refleksi dari masa lalu masa kini dan untuk rencana masa depan. Filosofi na ti Quran Surat Al-Hasyr Ayat 18, Yaaa ayyuhal laziina aamanut taqul laah; waltanzur nafsum maa qaddamat lighadiw wattaqual laah; innal laaha khabiirum bimaa ta'maluun. Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan," jelasnya, Kamis (23/2/2023).

Poster Milangkala LPIK XVII dan XXII. (Sumber Foto: Dok. Pribadi/Penulis)
Poster Milangkala LPIK XVII dan XXII. (Sumber Foto: Dok. Pribadi/Penulis)

Alasannya untuk beda dengan yang umum. Maka digunakan yang lain. “Di samping itu, dalam rangka momentum merayakan era postmodernisme yang gigih mengangkat kearifan lokal. Karena itu, milangkala yang merupakan dari kata milang anu hartos na menghitung, merenung, memaknai; sedangkan kala berarti waktu, masa, zaman, dan era yang ditapaki. Dari dua kata itu bisa diambil makna milangkala," tegasnya.

Meskipun hasil liputan media kampus justru digunakan keduanya. Milad dan Milangkala digabungkan pada tahun ke-15. Sungguh berlebihan. Dalam laporan Suaka diberi judul “Milad Milangkala XV”:

“Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK)  UIN Bandung mengadakan acara yang diberi tema “Milad Milangkala XV”. Acara yang dimulai dari tanggal 16-19 Mei ini merupakan rangkaian acara yang bertujuan untuk memperingati Milad LPIK yang ke-15.

Menurut Ketua Pelaksana, Salim Rosyadi, acara ini diisi dengan beberapa acara. “Agenda acaranya adalah diskusi budaya, selanjutnya diskusi media, kesejarahan dan acara puncaknya hari kamis malam ada peniupan obor bersama di DPR juga tabligh akbar bersama Pidi Baiq,” lanjutnya.

Acara Milangkala XV ini tidak memakan waktu yang lama dalam persiapannya. “Ini bisa dibilang ngedadak, persiapannya cuma dua minggu, yah seadanya aja. Bisa ngedatengin tokoh-tokoh ternama cuma modal nekat sampai nginep di emperan segala,” tambahnya (www.suakaonline.com).

Mari kita bandingkan dengan hasil liputan Milangkala XV yang dimuat pada website Kampus (www.uinsgd.ac.id) bertajuk “Ngamumule Budaya Sunda dalam Segala Bidang”:

“Kegiatan ngamumule budaya Sunda ini “Merupakan serangkaian kegiatan dalam rangka Milangka ke XV LPIK,” ungkap Sabiq Ketua Umum LPIK.  

Untuk hari besok ada acara seminar “Dinamika Budaya Cyber Space” tanggal 17 Mei 2011 menghadirkan pembicara Alex Sobur (pakar media), Deden Efendi (sosiolog dan peneliti UIN) dan moderator Muh Fakhrurrazi di Auditorium Utama.

Pada tanggal 18 Mei 2011 seminar “Subjektivitas dan Objektivitas dalam Historiografi” dengan Pemateri Anhar Gonggong (sejarawan), Suparman Yasin (Dosen UIN SGD) dan moderator Wawan Gunawan di Auditorium.

Pada tanggal 19 Mei 2011 Tabligh Akbar dan Reuni Akbar LPIK “Teologi Damai: Membincangkan Iman dalam Damai” dengan Pemateri Pidi Baiq (Imam Besar The Pandal dan Penulis), Bambang Q-Anees (Syaikh Filsafat dan Penulis), dan moderator Muh. Darussakau di bawah pohon rindang, ujar Nurulamin panitia Milangkala XV (Warta Al-Jamiah, Edisi 01 Vol. VIII Oktober ’11 hal 54).

Iklan Milangkala VII LPIK pada Lateral Buletin Edisi Khusus Milangkala 2023 hal 2. (Sumber Foto: Dok. Pribadi/Penulis)
Iklan Milangkala VII LPIK pada Lateral Buletin Edisi Khusus Milangkala 2023 hal 2. (Sumber Foto: Dok. Pribadi/Penulis)

Baca Juga: SAWALA DARI CIBIRU #16: Wacana dalam Catatan
SAWALA DARI CIBIRU #17: Menghadirkan Pengetahuan Lewat Media Kaus
SAWALA DARI CIBIRU #18: Menjadi Seorang Intelektual

Waktu Asali

Kerinduan untuk menghadirkan kembali waktu mitos (mythical time) primordial (masehi, hijriah, milad, milangkala) petanda manusia tradisional (homo religious). Ini dikemukakan Mircea Eliade (1907-1986) pakar studi agama-agama dan fenomenologi saat memotret masyarakat arkais (purba) cenderung untuk hidup sebisa mungkin dalam kesakralan dan dekat dengan objek suci dan pusat dunia.

Pada dasarnya waktu sakral dapat diulang-balik. Sakralitas waktu menjadi bagian penting manakala setiap perayaan keagamaan, waktu peribadatan, reaktualisasi kejadian-kejadian sakral yang terjadi pada zaman mitos (permulaan) dapat mewujud dalam kehidupan sehari-hari kita.

Memang yang sakral identik dengan ada (being). Kekuatan sakral menunjukan realitas dan pada saat yang sama keabadian dan efektivtas tindakkan. Sakral erat kaitanya dengan profan. Oposisi ini sering ditunjukan sebagai oposisi antara yang nyata dan tidak (palsu). Dengan demikian, kesakralan selalu memanisfestasikan dirinya sebagai sebuah realitas yang secara keseluruhannya dari realitas-realitas alami.

Partisipasi religius dalam perayaan menandakan perpindahan dari duraasi temporal yang biasa dan penyatuan dengan waktu mitos yang direaktualisasikan dalam perayaan. Peserta perayaan menemukan dalam pesta itu kelahiran pertama dari waktu sakral.

Upaya mereaktualisai kosmogoni hadir dalam tahun (baru) kelahiran. Pasalnya mengindikasikan waktu diulang lagi mulai dari awal, retsorsi waktu primordial, murni ada pada saat penciptaan. Inilah menjadi alasan tahun (baru) kelahiran merupakan kesempatan untuk pemurnian, penghapusan dosa, pengusiran setan, sekedar tolak bala.  

Pengalaman sakralitas ruang, waktu menunjukkan keinginan untuk bersatu kembali dengan situasi permulaan saat para dewa-dewa dan leluhur mitos hadir guna menciptakan dunia, mengaturnya dan menunjukkan pondasi peradaban manusia. Manusia berkehendaka memperbarui kehadiran aktif para dewa-dewa, leluhur dan berkeinginan untuk hidup di dunia ini (Mircea Eliade, 2002:2-8, 65-86 dan 213).

Bukti adanya waktu dan ruang sakral ini dapat dilihat rangkaian milangkala. Bila perayaan LPIK tidak dilakukan pada bulan Mei (puncaknya pada tanggal 14 Mei) post (sebutan untuk alumni) selalu mengomentarinya dengan nada menghardik, kelaur dari tetekon. Termasuk ketika post, pembina tidak bisa menghadiri seminar, bedah buku, diskusi publik, mimbar bebas saat milangkala dapat dipastikan meminta maaf. Hapunten hente tiasa ici kibung dina milangkala ayeuna, mugia di taun kapayun mah tiasa.  

Walhasil, datang terlambat pada puncak acara, selalu diikuti dengan perkataan: ieu mah etang-etang dina raraga ngareuah-reuah milangkala wae. Cag ah. Hayu ngopi!          

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//