SAWALA DARI CIBIRU #20: Filsafat pada Generasi Kini
Tampaknya mahasiswa saat ini menempatkan filsafat sekadar pelengkap dari rentetan mata kuliah lain kendati masih memosisikannya sebagai ilmu yang paling berpengaruh.
Hafidz Azhar
Penulis esai, sejak September 2023 pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan (Unpas), Bandung
30 Maret 2023
BandungBergerak.id – Beda zaman beda pikiran. Itulah ungkapan yang sesuai untuk menggambarkan kondisi filsafat di kalangan mahasiswa pada masa kini. Sebagai induknya pengetahuan, filsafat seolah tidak lagi digandrungi oleh mahasiswa. Buktinya, saat saya menanyakan ke beberapa orang mahasiswa UIN Bandung, hanya sedikit yang mereka tahu soal istilah-istilah dasar dalam filsafat yang disebut-sebut memengaruhi semua cabang ilmu pengetahuan. Padahal di UIN Bandung sendiri, filsafat sengaja diterapkan di semua jurusan sebagai Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU) untuk menopang kajian ilmu pengetahuan lainnya.
Untuk mengetahui sejauh mana efektivitas filsafat di UIN Bandung, saya melakukan penelusuran dengan cara mewawancarai mahasiswa secara acak di berbagai jurusan. Sebanyak enam orang yang saya wawancarai, mayoritas masih kaku dalam menjelaskan istilah-istilah dasar dalam filsafat yang sudah diberikan di kelas. Bahkan ada juga yang mengeluhkan adanya perkuliahan filsafat yang tidak sesuai, sehingga mengurangi pemahaman dasar tentang filsafat.
Memang, ada beberapa faktor yang membuat mahasiswa kurang berminat terhadap mata kuliah filsafat. Salah satunya, ketidakjelasan dosen pengampu dalam memberikan materi. Selain itu, ada juga alasan yang mengacu pada kehadiran dosen. Konon, hal ini berimbas pada pemahaman mahasiswa akibat dari minimnya intensitas dosen dalam memberikan materi. Tiga orang mahasiswi dari jurusan psikologi membuktikan masalah itu. Mereka menjelaskan bahwa ketidakpahaman dalam mata kuliah filsafat, antara lain, lantaran sang dosen banyak absen dalam mengajar. Padahal, menurut mereka, filsafat sangat penting dan erat kaitannya dengan jurusan psikologi.
Terlepas dari ketiadaan dosen, pemahaman mereka terhadap istilah-istilah mendasar dalam mata kuliah filsafat patut dipertanyakan. Apalagi materi-materi yang pernah diajarkan seolah hilang dari ingatan. Ketika saya bertanya tentang pengertian epistemologi tak ada satu pun dari mereka yang bisa menjawab. Malah ketiga orang mahasiswi itu tak pernah sekali pun membaca buku-buku filsafat secara serius. Alih-alih filsafat itu penting sebagai penunjang jurusan tempat mereka menempuh kuliah di jurusan psikologi.
Lain halnya dengan ketiga mahasiswi itu. Satu orang mahasiswa dari jurusan sejarah peradaban Islam (SPI) justru mengeluhkan dua mata kuliah filsafat yang dianggap tidak tersistematis. Menurutnya, saat duduk di semester dua, mahasiswa SPI yang tidak menyebutkan namanya itu langsung menerima mata kuliah filsafat Islam. Sedangkan pada semester selanjutnya ia baru memperoleh mata kuliah filsafat ilmu, yang dianggap sebagai gerbang untuk memahami konsep filsafat Islam secara khusus. Tentu saja, penempatan mata kuliah bukan kewenangan mahasiswa. Hal ini berkaitan dengan kurikulum yang sudah tersaji dari pihak jurusan ataupun fakultas. Yang jadi soal, apa standarisasi penempatan filsafat Islam yang disuguhkan lebih dulu dan cenderung rumit itu, sementara mayoritas mahasiswa nol pengetahuan filsafat.
Dari jurusan SPI saya lalu mewawancarai dua orang mahasiswi tingkat akhir dari jurusan studi agama-agama. Sebagaimana tiga orang mahasiswi dari jurusan psikologi, bagi kedua mahasiswi ini, filsafat sangat penting untuk menunjang kajian agama di hampir seluruh perkuliahan. Malah, pada jurusan studi agama ini, mata kuliah filsafat tersusun dengan sistematis. Umpamanya, pada semester dua, mereka disuguhkan materi filsafat umum dengan bobot dua Satuan Kredit Semester (SKS). Kemudian pada semester dua, mereka mendapatkan mata kuliah filsafat ilmu sebanyak dua SKS. Sedangkan pada semester empat mereka diberikan mata kuliah filsafat agama sebanyak dua SKS.
Sayangnya, dengan jumlah SKS sebanyak itu, tidak ada materi filsafat yang membekas dengan baik. Mereka lagi-lagi melupakan begitu saja apa yang sudah dipelajari selama tiga semester. Saat saya menanyakan istilah-istilah mendasar dalam kajian filsafat, tak ada seorang pun yang bisa menjawab. Padahal menurut mereka sendiri, mempelajari filsafat begitu penting karena dinilai sebagai pusatnya semua ilmu. Akan tetapi pernyataan ini tidak sejalan dengan kapasitas pemahaman yang ada, yang juga tidak ditopang dengan buku bacaan sebagai bukti keseriusan dalam mempelajari filsafat. Tampaknya, filsafat hanya sekadar pelengkap dari rentetan mata kuliah lain, kendati mereka masih memosisikan filsafat sebagai suatu ilmu yang paling berpengaruh. Sekurang-kurangnya dalam aspek studi agama.
Baca Juga: SAWALA DARI CIBIRU #19: Ngareuah-Reuah Milangkala
SAWALA DARI CIBIRU #18: Menjadi Seorang Intelektual
SAWALA DARI CIBIRU #17: Menghadirkan Pengetahuan Lewat Media Kaus
SAWALA DARI CIBIRU #16: Wacana dalam Catatan
Ketertarikan pada Filsafat yang Menurun
Selain mahasiswa saya juga mewawancarai salah seorang dosen filsafat di UIN Bandung. Dosen yang enggan disebutkan namanya itu menyatakan bahwa ketertarikan dan pemahaman dasar-dasar filsafat di kalangan mahasiswa sudah sangat memprihatinkan. Bahkan ini berlaku di internal jurusan filsafat. Kurangnya pemahaman terkait dasar-dasar filsafat dijumpainya kala sang dosen menguji ujian komprehensif. Di UIN sendiri, ujian komprehensif merupakan salah satu ujian yang wajib ditempuh sebelum melakukan sidang skripsi sebagai ujian akhir. Jika tidak berhasil menempuh ujian komprehensif, mahasiswa tidak diperbolehkan untuk mengikuti sidang akhir penelitian skripsi.
Dalam ujian komprehensif, mahasiswa biasanya akan ditanya berbagai soal terkait bidang kejurusanan dan keislaman. Jika mahasiswa berasal dari jurusan filsafat, maka ia akan ditanya berbagai soal kejurusanan terkait filsafat. Sementara sang dosen yang juga mengajar di jurusan filsafat itu merasa heran dengan salah satu mahasiswa yang tidak bisa menjawab istilah-istilah dasar dalam filsafat. Padahal seharusnya hal tersebut bisa menjadi pegangan awal untuk beralih ke pengetahuan filsafat lainnya yang lebih rumit.
Sang dosen pun mengeluhkan bahwa mayoritas mahasiswa filsafat di UIN Bandung kini sudah tidak lagi menampakkan keseriusan dalam menggali wacana filsafat. Hal ini juga ditunjukkan dengan kurang adanya kegiatan diskursif filsafat yang dulu sangat terlihat masif. Selain itu sang dosen juga menjelaskan jika kurangnya minat mahasiswa filsafat terhadap wacana filsafat terus menggeliat sejak merebaknya Covid-19 pada tahun 2020 silam. Karena kondisi ini, sang dosen menambahkan, intensitas pertemuan mahasiswa menjadi sangat minim, bahkan mengurangi minat mahasiswa terhadap jurusan yang digandrunginya.
Demikianlah gambaran mengenai minat dan pemahaman mahasiswa UIN Bandung terhadap filsafat saat ini. Saya kira para pembaca bisa menilai, sejauh mana keseriusan mahasiswa terhadap wacana filsafat sekarang ini jika dilihat dari kuantitas pemahaman serta aktivitas diskursif yang sudah mulai meredup. Saya pun membayangkan, bila suatu saat filsafat sudah tidak lagi dipelajari, akan jadi apa kampus itu ke depannya.