Ramadan di Bandung Dulu dan Kini (4): Rujak Kolangkaling dan Efek Kecanduan Gawai
Sebelum pandemi Covid-19, anak-anak dilarang membawa gawai ke sekeloh. Saat ini pengunaannya justru mendukung proses belajar mengajar.
Penulis Iman Herdiana20 April 2021
BandungBergerak.id - Kolangkaling tak bisa dipisahkan dengan ramadan. Ia tak pernah absen mengisi daftar kuliner khas ramadan, entah sebagai kuliner tersendiri atau sekadar tambahan (topping) pada salah satu jenis kolak.
Kolangkaling merupakan buah dari pohon lokal nusantara, yaitu aren yang di masa lalu banyak banyak sekali tumbuh di Bandung maupun kawasan Jawa Barat umumnya. Waktu itu, ada tradisi di yang lahir dari kolangkaling, yaitu membuat rujak caruluk (bahasa Sunda kolangkaling: caruluk).
Tradisi membuat rujak caruluk biasa dijalani orang-orang, terutama anak-anak, terdahulu saat menunggu waktu berbuka puasa yang disebut ngabuburit. Pengalaman tradisi membikin rujak caruluk dilukiskan Sjarif Amin dalam buku karangannya berbahasa Sunda berjudul, “Di Lembur Kuring” (Ganaco N.V. Tahun 1964).
“Nu disebut rujak caruluk, di lembur kuring mah ilahar munculna ngan bulan Puasa (Yang disebut rujak kolangkaling, di daerah saya lazimnya muncul pas bulan Puasa),” tulis Sjarif Amin.
Rujak di sini jangan diartikan rujak bumbu pedas seperti pada kuliner rujak buah-buahan. Rasa dasar dari rujak kolangkaling adalah manis, dalam pembuatannya pun tidak menggunakan cabe rawit atau bahan pedas lainnya. Sehingga kuliner rujak kolangkaling lebih pas kalau dikelompokkan ke jenis manisan.
Rujak kolangkaling dibumbui dengan gula putih atau pasir. Lebih enak memakai gula pasir berwarna kuning, menurut Sjarif Amin. Sedangkan kolangkalingnya sebagai bahan utama, harus sudah matang, tapi tidak boleh terlalu matang juga.
Kolangkaling yang dijadikan bahan rujak kolangkaling diambil dari proses hasil pembakaran, bukan dari proses godok atau rebusan sebagaimana umumnya memproses kolangkaling. Pembakaran dilakukan saat kolangkaling masih di dalam cangkangnya.
Di masa lalu, membakar kolangkaling biasa dilakukan di kebun sambil ngabuburit. Alat pembakarannya berupa tungku dengan bahan bakar kayu kering yang mudah ditemukan di sekitar kebun.
“Kolangkaling yang dihasilkan dari cara dibakar lebih harum, warna putih kolangkaling menjadi kekuning-kuningnan seperti warna batu akik jenis bunga cempaka,” kata Sajrif Amin.
Namun proses melepas kolangkaling dari cangkangnya tidaklah mudah. Dibutuhkan kehati-hatian ekstra karena cangkang kolangkaling masih bisa mengeluarkan getah yang bisa bikin kulit gatal-gatal.
Sjarif Amin mengatakan, selain bulan puasa, rujak kolangkaling jarang sekali dibuat masyarakat. Di luar bulan puasa, kolangkaling dibiarkan matang sendiri di pohonnya, malah yang matang banyak yang berjatuhan menjadi makanan musang.
Efek Kecanduan Gawai
Tradisi membuat rujak kolangkaling mungkin terdengar asing bagi anak-anak masa kini. Bahkan anak-anak kota mungkin asing juga dengan kebun atau pohon aren yang ditanam oleh musang.
Sebaliknya, semua anak masa kini berada pada era pandemi Covid-19. Dampak besar dari pandemi yang berlangsung di Tanah Air sejak Maret 2020 adalah dihentikannya pembelajaran tatap muka di sekolah-sekolah dan dimulainya era pembelajaran jarak jauh yang mengandalkan teknologi gawai.
Pandemi telah membalikkan aturan normal yang biasa dijalankan masyarakat sebelum pandemi. Misalnya, anak-anak pada era sebelum pandemi dilarang membawa gadget alias gawai karena akan mengganggu proses belajar mengajar. Namun di masa pandemi, pengunaan gawai sebagai media pembelajaran tatap muka tak bisa dihindari.
“Pada awalnya, pihak sekolah dan lembaga pendidikan telah mengeluarkan peraturan larangan bermain gadget di lingkungan sekolah. Namun, kini penggunaan gadget semakin masif di masa pandemi karena tuntutan belajar daring,” ungkap peneliti dari jurusan Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini, Universitas Riau, Ilga Maria dan Ria Novianti.
Penelitian Ilga Maria dan Ria Novianti dipublikasikan dalam jurnal ilmiah “Efek Penggunaan Gadget pada Masa Pandemi Covid-19 terhadap Perilaku Anak” (Desember, 2020). Penelitian ini mengemukakan sejumlah kekhawatiran akibat kecanduan gadget.
“Meningkatnya intensitas pengunaan gadget dikhawatirkan akan meningkatkan angka kecanduan gadget. Kecanduan gadget dapat meningkatkan prevalensi resiko gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas,” ungkap peneliti.
Peneliti ini mengulas hasil-hasil penelitian terdahulu soal efek negatif gawai. Antara lain, kecanduan gadget dapat mempengaruhi pelepasan hormone dopamin yang berlebihan sehingga menyebabkan penurunan kematangan pada Pre-Frontal Cortex (PFC), yang ditandai:
Pertama, aspek kompulsif/dorongan untuk melakukan secara terus-menerus. Aspek ini berupa tekanan kuat yang berasal dari dalam diri untuk melakukan sesuatu secara terus-menerus, dalam hal dorongan untuk terus menggunakan gadget.
Kedua, efek penarikan diri (withdrawal), yaitu suatu upaya untuk menarik diri atau menjauhkan diri dari sesuatu. Perilaku seorang pengguna gadget merasa tidak mampu untuk menarik atau menjauhkan diri dari gawai, seperti halnya seorang perokok yang tidak bisa lepas dari rokok.
Ketiga, efek toleransi, yang berkaitan dengan jumlah waktu yang digunakan atau dihabiskan untuk menggunakan gadget. Anak yang kecanduan tidak akan berhenti menggunakan gawainya.
Terakhir, hubungan interpersonal dan kesehatan, yang melibatkan persoalan yang berkaitan dengan interaksi dengan orang lain serta masalah kesehatan. Pecandu gadget cenderung tidak menghiraukan bagaimana hubungan interpersonal karena mereka hanya fokus pada gawainya.
Begitu pula dengan masalah kesehatan, para pecandu gadget kurang memperhatikan masalah kesehatan, seperti: waktu tidur yang kurang, tidak menjaga kebersihan badan dan pola makan yang tidak teratur.
Peneliti mengingatkan orang tua agar melakukan pengawasan pemakaian gadget pada anak-anak mereka. Namun masalahnya, dorongan menggunakan gadget secara terus menerus juga berasal dari budaya orang tua. Banyak orang tua yang mengizinkan anaknya untuk menggunakan gadget tanpa aturan dan pembatasan waktu yang jelas.