Mengukur Kadar Kepakaran Dosen
Polemik Permenpan dan RB Nomor 1 Tahun 2023 tentang Jabatan Fungsional Dosen dan Angka Kredit memunculkan pertanyaan reflektif terkait kepakaran akademik dosen.
Wilfridus Demetrius S.
Mahasiswa Program Doktoral Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Jakarta/Dosen Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung.
14 April 2023
BandungBergerak.id – Kebijakan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Permenpan dan RB) Nomor 1 Tahun 2023 tentang Jabatan Fungsional Dosen dan Angka Kredit sempat menuai polemik di kalangan para dosen baik Perguruan Tinggi Negeri maupun Perguruan Tinggi Swasta. Mayoritas dosen menyinggung soal Jabatan Fungsional Dosen dengan syarat dan ketentuan yang berlaku sebagaimana diatur dalam kebijakan tersebut termasuk sistem administratif akademik yang dianggap belum terintegrasi sehingga dirasa menjadi beban baru karena harus mengorbankan waktu dan tenaga untuk meng-upload data-data kinerja akademik yang diperlukan.
Persoalan kebijakan yang menuai pro dan kontra ini kemudian merembet ke “dosa” pendidikan mulai dari penerimaan mahasiswa yang tidak transparan, pemberian gelar doktor kehormatan pagi para pejabat publik yang tidak memiliki rekam jejak karier sebagai dosen, fenomena joki publikasi artikel ilmiah pada jurnal nasional atau internasional bereputasi, dan banyaknya sistem informasi akademik dosen yang menyita tenaga dan waktu dosen untuk melaporkan kinerja Tridharma.
Rentetan polemik dan tuntutan reformasi pendidikan yang dilatarbelakangi oleh ketidaksiapan sistem memunculkan beberapa pertanyaan reflektif terkait kepakaran akademik. Apakah seorang dosen pantas disebut sebagai pakar (intelektual)? Jika memang pantas disebut sebagai pakar, bagaimana mengukur kadar kepakarannya? Apakah hanya sekedar mengajar dan meneliti, sekedar publikasi atau terlihat sibuk keluar kampus mencari “proyek” pengabdian?
Baca Juga: Ketika Kepentingan Publik Tunduk pada Nama Baik Pejabat
SUARA MAHASISWA: Yang Baik dan Buruk dari Junk Food
Jangan Mati Dulu, Hidupmu Besok akan Baik-baik saja
JEJAK PRAKTIK BAIK DI BANDUNG #11: Merawat Sahur Toleransi, Indahnya Berbagi
Pakar dan Kepakaran
Mengutip tulisan Tom Nichols dalam buku Matinya Kepakaran (2018), istilah kepakaran secara umum didefinisikan sebagai orang yang memiliki pengetahuan “komprehensif dan otoritatif”. Dengan kata lain, pakar merujuk pada seseorang yang memiliki pengetahuan yang dan informasi yang benar dan dapat dipercaya. Merujuk pada pemahaman ini, dalam konteks per-dosen-an istilah kepakaran sangat terkait erat dengan kualifikasi dan reputasi pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
Kita tidak dapat menolak fakta bahwa masih ada dosen yang memang kerjanya hanya sebagai “tukang” mengajar. Jika ada istilah untuk tipe mahasiswa “kuliah-pulang”, maka ada juga tipe dosen “mengajar pulang”. Tipe dosen ini adalah mereka yang mungkin saja menyandang profesi dosen sebagai hobi, yah hobi mengajar, mengisi waktu luang dan mendapatkan gaji. Itu saja sudah cukup!
Lalu bagaimana dengan nasib dosen yang berjuang meningkatkan kadar kepakarannya melalui komposisi Tridharma yang ideal? Apakah mereka disamaratakan dengan tipe dosen “tukang” mengajar?
Penguasaan kompetensi melekat pada setiap hal yang dikerjakan. Istilah profesionalisme, intelektual, pakar atau ahli secara luas merujuk pada mereka yang menguasai keahlian dan pengetahuan sebagai pekerjaan utama dalam hidup. Mereka adalah sosok yang dicari ketika membutuhkan nasihat, pendidikan, dan solusi dalam bidang pengetahuan tertentu. Kepakaran merupakan perpaduan pendidikan, bakat, pengalaman, dan pengakuan rekan sejawat. Oleh karena itu, polemik soal kebijakan dan sistem kiranya juga menjadi poin refleksi bersama kita sebagai dosen untuk mengukur seberapa besar kadar kepakaran kita sesuai dengan bidang keilmuan. Maka tidak menjadi sebuah persolan besar, kompetensi perlu divalidasi entah dalam bentuk lisensi, bukti kerja, ijazah, sertifikat sebagai salah satu indikator untuk mendeteksi dan mengafirmasi antara dosen hanya sekedar hobi mengajar dari dosen yang berkompeten.
Indikator lain dari kadar kepakaran dosen adalah seorang dosen tidak hanya mengajar dari apa yang dibaca (studi literatur). Ini bukan berarti saya mengafirmasi bahwa membaca itu tidak penting namun apa yang diajarkan oleh dosen perlu juga merujuk pada hasil riset dan pengalaman di lapangan dalam bentuk pengabdian kepada masyarakat. Pertimbangan ini juga menjadi masukan bagi perguruan tinggi untuk tidak hanya menerima dosen yang bisa mengajar apa saja tetapi dosen yang memiliki kualifikasi pendidikan, pengalaman, bakat, menjunjung tinggi orisinalitas karya, dan penguasaan kompetensi yang mendalam. Dengan demikian, perguruan tinggi tidak hanya mengakui penguasaan keilmuan seorang dosen tetapi juga memiliki tanggung jawab untuk mempromosikan dan melindungi kepakaran seorang dosen. Seorang pakar perlu terlibat di bidangnya, terus meningkatkan keterampilan, belajar dari kesalahan, dan memiliki rekam jejak yang jelas, tulis Tom Nichols.
Report UNESCO: Reimagining our futures together: A new social contract for education (2021) menggarisbawahi, pendidikan merupakan cara kita mengatur pengajaran dan pembelajaran sepanjang hidup bagi transformasi masyarakat manusia yang yang damai, adil, dan berkelanjutan. Artinya pendidikan harus dipandang sebagai kontrak sosial – kesepakatan implisit di antara anggota masyarakat untuk bekerja sama demi keuntungan bersama melalui pengetahuan dan inovasi di bidang sosial, demokrasi, kemanusiaan, kesenjangan teknologi, disrupsi pekerjaan, dan ekologi. Idealisme ini bisa terwujud apagila dosen tidak memandang urusan akademik terpisah dari realitas kebutuhan dunia nyata. Dosen dirasa perlu untuk memiliki ketertarikan pada bidang tertentu, kompeten dalam bidang keilmuannya, semangat untuk terus belajar sepanjang hayat, dan terampil untuk mengambil peran dalam hidup bermasyarakat. Maka mekanisme perekrutan dosen juga perlu dibenahi karena dosen kiranya perlu memiliki kewibawaan pendidikan tertentu, bukan seorang pelatih atau instruktur.
Kadar kepakaran dosen diharapkan berbanding seiring dengan idealisme pendidikan perguruan tinggi sebagai World Class Research University dalam mengembangkan riset dan penelitian untuk meningkatkan kualitas dan produktivitas publikasi artikel ilmiah akademik pada jurnal nasional dan internasional bereputasi, serta menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang unggul melalui kolaborasi dengan dunia usaha dan dunia industri. Maka logika bisnis yang dipakai adalah bukan analogi status dan uang melainkan konsen pada hakikat pendidikan itu sendiri. Menerjemahkan logika bisnis di atas adalah bukan soal kuantitas website akademik melainkan harus mampu menyediakan teknologi aplikasi berbasis website yang lebih efektif, terintegrasi dan inovatif untuk mendorong pelaporan kinerja dosen dan pengakuan angka kredit untuk jabatan fungsional secara transparan, akuntabel, dan melibatkan pemangku kepentingan internal kampus.
Reformasi Pendidikan, Reformasi Administratif
Sebagaimana revolusi industri, revolusi pendidikan tentu memiliki regulasi ketika sebuah sistem memiliki peran penting untuk adaptif dan aktif dalam pemanfaatan platform digital bagi sistem pendidikan yang terintegrasi. Para pembuat kebijakan, dalam hal ini lembaga/kementerian terkait “dipaksa” untuk memahami masalah dan perjuangan dosen melalui revisi dan penegakan regulasi atau kerangka kerja peraturan yang sesuai. Namun yang sering terjadi keseluruhan proses tersebut cenderung linier dan mekanistik, mengikuti pendekatan dari atas ke bawah yang ketat. Oleh karena itu, para regulator (pemerintah) harus melek dengan kendala teknis akademik dan situasi relevan yang dialami dosen maupun perguruan tinggi. Begitu pula sebaliknya dosen tidak melihat sistem atau mungkin bisa disebut sebagai digitalisasi aset data hasil unjuk kerja Tridharma bukan sebagai sebuah batu besar yang sulit untuk digulingkan, sebuah ancaman atau malah menjadi antipati terhadap apa yang seharusnya menjadi bagian utuh dari mencintai dan menghayati profesionalisme.
Poin penting bagi pemerintah dari polemik kebijakan di atas adalah tata kelola yang lincah di mana para pengambil kebijakan menemukan cara untuk terus beradaptasi dengan lingkungan yang baru dan cepat berubah. Kolaborasi dengan pihak ketiga adalah mutlak perlu. Dengan demikian, yang menjadi prioritas bukan membuat kebijakan atau isi kebijakan yang memberi ruang multitafsir yang lebih banyak atau lebih cepat, melainkan ekosistem regulasi yang dapat menghasilkan kerangka penguasaan bidang keilmuan. Singkatnya, inovasi terus berkembang, sambil tetap meminimalkan risiko.
Sebagai sebuah bentuk tanggapan yang konstruktif untuk mendukung kinerja Tridharma dosen, maka perguruan tinggi baik negeri maupun swasta juga perlu melakukan reformasi administratif baik di internal atau di bawah koordinasi dengan pemangku kepentingan/pemerintah. Reformasi administratif yang dimaksud bukan hanya soal intelektualitas tetapi penguasaan kemampuan teknis dan praksis bagi para tenaga kependidikan untuk mendukung kinerja Tridharma dosen. Kita semua tentu berharap yang sama, bahwa idealisme dan sistem pendidikan kita semakin berkualitas dan tetap konsisten untuk mencerdaskan bangsa.