• Opini
  • JEJAK PRAKTIK BAIK DI BANDUNG #11: Merawat Sahur Toleransi, Indahnya Berbagi

JEJAK PRAKTIK BAIK DI BANDUNG #11: Merawat Sahur Toleransi, Indahnya Berbagi

Sahur toleransi ala Sinta Nuriyah yang memilih jalan berbeda ini semakin menegaskan semua agama mengajarkan saling berbuat baik.

Ibn Ghifarie

Pegiat kajian agama dan media di Institute for Religion and Future Analysis (IRFANI) Bandung.

Suasana buka puasa bersama Shinta Nuriyah Wahid, di halaman Kantor Kecamatan Rancasari, Kota Bandung, Sabtu (25/3/2023). (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)

5 April 2023


BandungBergerak.idMaraknya aktivitas sahur (lintas iman, keliling bersama, safari Ramadan, on the road) menjadi ikhtiar bersama dalam merawat persaudaraan, memupuk toleransi, membangun dialog antarumat beragama dan menjaga keutuhan NKRI. Pasalnya, kegiatan sahur merupakan aktivitas makan dan minum bersama pada waktu sebelum imsak, subuh sebagai tanda mengawali amalan puasa (menahan haus dan lapar) dalam satu hari.

Momentum sahur bersama sejatinya dapat menjadi media yang tepat untuk mempererat, memperkokoh hubungan antarpara tokoh lintas agama, masyarakat di Indonesia, terutama Kota Besar, Yogyakarta, Surabaya, Malang, Bandung. Seperti yang terjadi Sabtu (25/3/2023) di halaman Kantor Kecamatan Rancasari yang menjadi tempat penyelenggaraan Sahur dan Buka Bersama Keliling Shinta Nuriyah Wahid, istri mendiang Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. 

Lantunan Shalawat Badar dari grup Qasidah Khairunnida mengiringi kedatangan Sinta Nuriyah Wahid dan rombongan lintas agama. Uniknya, sahur dan buka bersama keliling dilaksanakan Shinta sejak lebih dari dua dekade silam. Tujuannya untuk merangkul kaum duafa, marjinal dengan menjadikan bulan Ramadan sebagai momentum untuk mengukuhkan silaturahmi lintas iman dan merajut kerukunan antarumat beragama.

Bila buka puasa identik dengan momen membatalkan puasa bersama, maka sahur bersama dilakukan untuk mengajak berpuasa. Walhasil, tidak ada alasan untuk tidak menjalani puasa keesokannya (Bandung Bergerak, 27 Maret 2023).

Tempo pernah menurunkan berita "Sahur Bersama Walau Beda Agama" yang menjadikan Sinta Nuriyah, sebagai sosok inspiratif yang mampu mempersatukan berbagai lintas agama dalam aktivitas sahur.

Memang ada suasana lain saat kegiatan sahur keliling Sinta Nuriyah bersama komunitas adat Sunda di Gedung Paseban Tri Panca Tunggal Cigugur, Kuningan, Jawa Barat, Kamis (26/7/2012).

Pasalnya dihadiri 300 siswa Sekolah Luar Biasa, tokoh umat beragama, warga sekitar, komunitas Sunda Wiwitan yang berpegang teguh pada agama kepercayaan pada Tuhan yang Maha Esa, jamaah Ahmadiyah Indonesia, perwakilan dari Gereja Kristen Indonesia (GKI), Kong Hu Cu, Hindu dan Budha.

Sungguh indah. Mereka berbaur dalam suasana sahur yang segar dengan candaannya. Mengingat   Sinta Nuriyah, Pimpinan Puan Amal Hayati bersama Gus Dur menegaskan perjalanannya ke gedung ini menjadi pemersatu berbagai umat beragama (Tempo, 26 Juli 2023).

Dalam tulisan Jaya Suprana “Belajar Kearifan Ibadah Puasa dari Gus Dur” menggambarkan kebijaksanaan Gus Dur saat memakai puasa sebagai perekat, mengokohkan ikatan-ikatan sosial. Jika kita muslim terhormat maka kita akan berpuasa dengan menghormati orang yang tidak berpuasa.

Secara khusus dari Gus Dur, saya memeroleh warisan tambahan kearifan tentang makna puasa untuk menjalin hubungan sosial setiap insan manusia dengan lingkungan sosial masing-masing.

Dari Gus Dur saya memperoleh warisan kesadaran mengenai pada hakikatnya belum cukup bahwa seorang yang tidak menunaikan ibadah puasa hukumnya wajib menghargai dan menghormati sesama warga yang menunaikan ibadah puasa.

Menurut Gus Dur, toleransi antarumat beragama belumlah lengkap secara psikososial apabila belum ditambah dengan kearifan seorang yang menunaikan ibadah puasa hukumnya wajib menghargai dan menghargai sesama warga yang tidak menunaikan ibadah puasa.

Gus Dur menyadarkan saya bahwa toleransi antarumat beragama tidak cukup satu arah, namun justru dua arah demi saling menghargai dan saling menghormati (Kompas, 12 April 2021).

Warisan Gus Dur

Memang berbagi makanan, minuman di bulan Ramadan merupakan kegiatan yang sangat berharga untuk melipatgandakan amal kebaikan, kesempatan demi membahagiakan orang saat sahur tiba. 

Salah satu monumen peninggalan Gus Dur di era ini adalah Dian/lnterfidei, sebuah lembaga dialog antariman yang didirikan di Yogyakarta oleh sejumlah tokoh antaragama. Para intelektual muslim, baik dari NU, Muhammadiyah, meneruskan rintisan Gus Dur ini untuk membangun dialog, bukan saja dengan agama-agama dunia, tetapi bersama agama dan kepercayaan lokal.

Dari rintisan Gus Dur inilah lahir kesadaran yang sekarang sudah menyebar di banyak kalangan di NU untuk melakukan dialog dengan pihak-pihak di luar Islam. Sinta Nuriyah Wahid meneruskan warisan dialog Gus Dur itu dengan mengadakan sahur bersama yang kepanitiaannya melibatkan teman-teman dari luar Islam. Secara simbolis, ini gerakan yang amat penting untuk memperkuat dialog (Haidar Bagir, Ulil Abshar Abdalla, 2020).

Upaya memahami realitas perbedaan dalam beragama, lembaga-lembaga pendidikan Islam menyelenggarakan program road show lintas agama dengan tujuan untuk menanamkan kepedulian dan solidaritas terhadap komunitas agama lain.

Baru pada bulan Ramadan dapat dilakukan program sahur on the road, yaitu kegiatan sahur bersama antara siswa dengan anak-anak jalanan, misalnya. Melalui kegiatan ini diharapkan dapat memberikan manfaat langsung kepada siswa untuk menumbuhkan sikap kepekaan sosial, terutama pada orang-orang di sekitarnya yang kurang mampu (Rahmat, 2019:36).

Ihwal menumbuhkan sikap peduli terhadap sesama manusia telah dipraktikkan oleh pemuda-pemuda Gunungkidul, melalui kegiatan gerakan aliansi berbagi Handayani yang aktif memperjuangkan kaum pinggiran, marginal.

Mari kita baca tulisan indahnya perbedaan tanpa perbedaan, Brigitta Aisin Uba Arakian yang menceritakan aktivitas berbagi tanpa basa-basi, berbaur tanpa huru hara di Bonjing, salah satu wilayah di Desa Bejiharjo, Karangmojo Gunungkidul yang terdampak cukup parah akibat banjir, tanah longsor, hujan, rumah dan jembatan hanyut:

Bonjing memiliki daya tarik tersendiri bagi saya. Saya sangat terkesima, sekaligus terharu tatkala kedatangan kami ke sana disambut dengan hangat oleh warga Bonjing, khususnya Ibu Ratna, seorang guru. Kami menginap di Sekolah Darurat Bonjing dan dilayani dengan baik sekali. Kami sebagai tim trauma healing yang seharusnya membantu anak-anak di sana mengatasi trauma mereka, malah merasa kamilah yang di trauma healing oleh anak-anak itu. Masih terekam jelas bagaimana semangat mereka ketika diajak bermain, belajar dan bernyanyi bersama. Benar-benar respon yang tak terduga.

Pengalaman ini yang menyadarkan saya bahwa benar kata orang, bahagia itu sederhana, sederhana menciptakan senyum di wajah orang lain. Kesempatan ini juga menjadi awal mula persahabatan saya dengan keenam teman relawan yang lain. Hanya saya dan sahabat saya yang Katolik, selebihnya muslim.

Uniknya, kami berasal dari Universitas yang berbeda-beda. Saya dari Sanata Dharma, Ririn (sahabat saya) dari UNY. Mas Dedi dari UIN Sunan Kalijaga, Hani dan Ghina dari Mercubuana, Fikri dari UMY, dan Habib dari UTY. Saya bersyukur sekali bisa mengenal mereka.

Inilah pertama kalinya saya merasakan betul arti perbedaan tanpa perbedaan. Kami bisa menjadi diri kami masing-masing tanpa saling menjatuhkan. Justru ini semakin menguatkan persahabatan kami hingga saat ini. Berada di passion yang sama, yaitu relawan juga membuat kami berpikir tentang kontribusi apa yang bisa kami lakukan.

Tentunya, sikap menghormati dan menghargai semakin terbentuk di sini. Usai menjadi relawan, kami masih sering mengunjungi Bonjing dan antusias yang kami terima tetap sama, bahkan bertambah dari para warga di sana. Kami tidak lagi dianggap sebagai relawan biasa, tapi keluarga. Inilah keluarga baru saya, warga Bonjing, khususnya Ibu Ratna yang selama ini menjadi orang terdepan bagi para relawan yang datang.

Pada bulan Mei yang lalu, ketika masih bulan puasa, kami kembali ke Bonjing dan melaksanakan buka bersama para pemuda Bonjing. Tidak ada penolakan ketika saya yang nonmuslim, justru mereka dengan senang hati menerima kehadiran saya. Setelahnya, kami ke rumah Bu Ratna dan menginap di sana. Karena sudah lama tidak bertemu, kami banyak berbagi cerita dan pengalaman, entah itu pengalaman memalukan ataupun hal-hal yang lucu.

Waktu semakin larut, kami pun beristirahat. Saat itu saya tidak bisa tidur, akhirnya saya bangun dan mendapati Bu Ratna sedang menyiapkan makanan untuk sahur. Saya pun menemani Bu Ratna, mengobrol kembali sambil sesekali membantu menyiapkan keperluan untuk sahur. Waktu berjalan begitu cepat, ketika mendekati waktu sahur, saya memanggil anak Bu Ratna untuk bangun sahur. Hari itu saya ikut sahur bersama keluarga Bu Ratna.

Dalam hati saya sudah bertekad untuk berpuasa pada hari itu. Siang harinya, tanpa saya duga ternyata Bu Ratna sudah menyiapkan makan siang untuk saya dan sahabat saya. Saya mencoba menolak, tapi Bu Ratna tetap mempersilahkan kami untuk makan. Tidak masalah makan di hadapan mereka, kata Bu Ratna waktu itu. Pada saat itu, saya terharu dan merasa damai (Martinus Joko Lelono dkk, 2018:40-42).

Baca Juga: JEJAK PRAKTIK BAIK DI BANDUNG #8: Memupus Kebencian, Meraih Indahnya Hidup Berdampingan
JEJAK PRAKTIK BAIK DI BANDUNG #9: Robohkan Prasangka, Rayakan Kebersamaan
IBN GHIFARIE Suasana belajar di sekolah di Kota Bandung, 2022. Sekolah menjadi ladang untuk menanam bibit toleransi. (Foto dan desain: Prima Mulia dan Reza Khoerul Iman/BandungBergerak.id) JEJAK PRAKTIK BAIK DI BANDUNG #10: Memupuk Toleransi, Menebar Kebaikan

Merawat Perbedaan

Senada dengan Brigitta Aisin, Wahyu Arianto menceritakan tentang pentingnya saling menghargai, merawat perbedaan. Bisa kita baca pada Catatan Teman Bicara dari Program Kelas Keberagama, Sebuah Testimoni.

Wahyu Arianto mengulik konteks kebudayaan di rumah dan mulai membenturkannya dengan kebaruan-kebaruan seiring luasnya pergaulan serta perjalanan yang dilakukannya. Dengan tegas menyampaikan bahwa saling menghargai satu sama lain adalah hal yang mutlak untuk membuat kehidupan sehari-hari dijalani dengan damai.

Ketika bulan Ramadan tiba, teman-teman kontrakan saya tidak jarang yang membangunkan saya ketika waktu sahur, jadi tidak perlu bantuan alarm dari HP untuk membangunkan sahur. Ketika hari minggu dan mereka ada jadwal ke gereja, saya juga sering membantu mengingatkan mereka meskipun dengan nada sedikit bercanda.

Ketika hari raya besar masing-masing agama tiba, kami menyambutnya dengan suka cita. Hari libur menjadi bertambah dan makanan pasti meriah, minimal itu yang kami pikirkan. Kami tidak mempermasalahkan akan dapat ucapan selamat hari raya dari teman beda agama atau tidak, dan juga tidak pernah meminta untuk diberikan ucapan selamat. Jika ingin mengucapkan selamat maka kami sambut dengan senang hati, jika tidak pun juga tidak apa-apa.

Kami menjalaninya dengan santai dan tidak pernah ada ketersinggungan satu sama lain. Kami tidak pernah meributkan tentang perbedaan diantara karni, tidak pernah ada permasalahan mengenai agama, suku, arau tentang identitas yang lain. Semua berjalan lancar-lancar saja karena kami menganggap perbedaan bukanlah suatu hal yang perlu dipermasalahkan.

Dari contoh kecil di lingkup kontrakan ini akhirnya saya mulai berpikir bahwa sebenarnya Indonesia baik-baik saja, rukun, dan damai antarsuku, agama dan budaya. Entah kenapa di luar sana malah ada beberapa oknum yang memanfaatkan perbedaan untuk saling memecah persatuan. Agama, suku, dan ras dijadikan alat untuk suatu kepentingan dan saling dibenturkan satu sama lain. Bahkan ada juga yang ingin mendirikan ideologi sendiri di Indonesia yang mana menjadikan negara ini homogen. Padahal dengan keberagaman  dan semboyan Bhineka Tunggal Ika semua perbedaan bisa disatukan dan Indonesia menjadi negara yang indah dan kaya.

Selain kehidupan kampus yang menjadikan saya banyak berkenalan dengan banyak keberagaman, dunia luar kampus juga punya peran dalam membuka sudut pandang saya. Lewat komunitas kesenian di Malang yang saya ikuti menjadikan saya banyak belajar ketika mengikuti sebuah proses kreatifnya. Membuat saya berdiskusi dengan banyak orang dengan sudut pandang yang berbeda, mempelajari banyak hal di luar wilayah yang selama ini saya tekuni, baik itu mengenai kebudayaan, agama ataupun bidang akademik (Wishnu Mahendra Wiswayana, dkk, 2020:xii, 84-85).

Berkah Ramadan

Hadirnya bulan Ramadan yang penuh dengan cinta dan berkah, maka harus disambut cinta pula yang disertai pembuktian dengan melakukan berbagai macam bentuk amaliah Ramadan mulai dari yang wajib sampai kepada hal-hal yang sangat sederhana.

Berbahagia dengan datangnya Ramadan merupakan tanda akan kecintaan Nabi Muhammad saw. dengan berbagai macam sunahnya yang akan dihidupkan baik pada siang hari maupun malam hari. Mencintai baginda Nabi, merupakan wasilah akan kecintaan kita kepada Allah swt.

Dengan demikian, memupuk semangat dan rasa cinta dengan menyemarakkan bulan suci Ramadan (sahur bersama) adalah salah satu tanda persembahan cinta seorang hamba kepada Tuhannya dan seorang umat kepada Nabinya. Oleh karenanya, sorang muslim harus menjadikan Ramadan sebagai momentum kebangkitan yang ditandai dengan berbagi macam kegiatan spiritual dan sosial agar menjadi manusia taqwa sebagai predikat bagi setiap orang yang bersungguh-sungguh mengisi bulan Ramadan sesuai dengan tuntunan baginda nabi Muhammad saw (Abdul Pirol, Abdul Mutakabbir, Dodi Ilham Mustaring [Editor], 2022:36-37).

Sahur toleransi ala Sinta Nuriyah yang memilih jalan berbeda ini semakin menegaskan semua agama mengajarkan saling menghormati, menyayangi, tolong menolong, berbuat baik, berbagi, hidup rukun berdampingan, toleran, damai. Semangat solidaritas sosial yang tidak membedakan golongan, suku, etnis, kepercayaan, agama menjadi landasan utama dalam menyelenggarakan sahur keliling selama Ramadan ini.

Sungguh indah merawat perbedaan itu jika dimaknai dengan penuh. Perbedaan bukan sesuatu yang harus diperdebatkan, dicaci maki, dihindari, dikotori, tetapi keragaman inilah yang memberi warna dalam kehidupan kita. Ketika kita dengan rendah hati mau menerima perbedaan sebagai suatu keistimewaan, niscaya akan mudah bagi kita memaknai setiap pengalaman dalam kehidupan. Mari kita berbagi.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//