• Opini
  • JEJAK PRAKTIK BAIK DI BANDUNG #10: Memupuk Toleransi, Menebar Kebaikan

JEJAK PRAKTIK BAIK DI BANDUNG #10: Memupuk Toleransi, Menebar Kebaikan

Pesantren, madrasah, sekolah adalah tempat untuk menyemai toleransi. Dari sini kebersamaan dan keberagaman dirawat.

Ibn Ghifarie

Pegiat kajian agama dan media di Institute for Religion and Future Analysis (IRFANI) Bandung.

Suasana belajar di sekolah di Kota Bandung, 2022. Sekolah menjadi ladang untuk menanam bibit toleransi. (Foto dan desain: Prima Mulia dan Reza Khoerul Iman/BandungBergerak.id)

27 Maret 2023


BandungBergerak.idMemupuk toleransi sejak dini sangat penting dalam membangun karakter bangsa. Caranya dengan menghadirkan pendidikan (Sekolah, Madrasah, Pesantren) sebagai tempat menebar benih welas asih, kebaikan, kesetaraan tanpa sekat agama, kepercayaan, suku, dan golongan.

Pasalnya, dari lembaga pendidikan ini diharapkan menjadi tempat penyemaian yang tepat untuk merawat keragaman, menata ulang kebangsaan, ikut mensukseskan tahun toleransi dan kerukunan umat beragama.

Rupanya, kehadiran Madrasah Aliyah Swasta (MAS) Mu’allimin Manba’ul Huda, Pesantren Persatuan Islam (PPI) ini menjadi wadah untuk belajar apa saja, mulai dari kepemimpinan, bergaul tanpa ada sekat bahasa, bangsa, sampai agama yang terus menyala di Kota Bandung.

Kehangatannya dirasakan Dina dan Daria, dua remaja perempuan Jerman yang tengah belajar di MAS Mu’allimin Manba’ul Huda, di Kecamatan Buahbatu, Kota Bandung, Jawa Barat, Selasa (26/1/2022).

Meskipun bukan seorang muslim, Dina tidak merasa kikuk menggunakan jilbab yang menutupi sebagian kepala dan tubuhnya.

"Tidak ada masalah. Saya sudah terbiasa menggunakannya. Awal menggunakannya (jilbab) hampir satu jam, tetapi sekarang beberapa menit sudah bisa.Teman-teman di sini sangat baik. Mereka mau mendengarkan, meski saya tahu mereka tidak begitu mengerti. Berbeda dengan anak-anak di Jerman, semuanya berdebat, berargumen,” ujarnya.

Sebagai Kepala Sekolah MAS Manba’ul Huda, Rosihan Fahmi ingin mendobrak pemahaman bahwa pesantren hanya memberi ilmu formal.

Saat mendapatkan kabar Julia, Ibu Dina dan Daria ingin anak-anaknya belajar, bergaul di Sekolah lokal, Fahmi menyambut dengan tangan terbuka. Kendati tidak untuk kebutuhan pendidikan formal, Dina dan Daria bisa belajar bagaimana anak-anak di sini bergaul dan berbagi tanpa harus memandang suku bangsa, bahkan agama.

“Salah satu teman saya adalah rekan kerja Julia di Bandung. Saat mendengar anak-anak Julia butuh tempat belajar, saya lalu dihubungi. Sekolah ini terbuka untuk siapa saja, makanya saya langsung ajak mereka,” paparnya.

Setelah melihat anak-anaknya bersekolah di Pesantren ini, Julia justru tertarik mengenal Islam lebih dekat dan kerap berdiskusi, hingga Fahmi memberikan sejumlah referensi bacaan tentang indahnya Islam kepada Julia.

Padahal, Fahmi tidak sekalipun mengajak Julia untuk mempelajari Islam. Dalam pengakuan Julia justru tertarik setelah merasakan bagaimana Fahmi menerima mereka dengan tangan terbuka dan anak-anaknya diperlakukan dengan baik oleh teman-temannya yang muslim.

“Bagi saya, Islam itu menarik. Dengan Fahmi, saya jadi ingin lebih memahami Islam, dan semua ini tidak saya dapatkan selama berada di Jerman,” ujarnya.

Fahmi, menegaskan menerima tanpa memandang sekat perbedaan membuat orang-orang tertarik belajar dengan Islam dan Indonesia. Kehadiran pesantren diharapkan bisa menjadi wadah yang melambangkan Islam cinta damai kepada semua manusia (Kompas, 31 Januari 2022).

Sekolah Toleransi

Selama ini kita masih beranggapan pesantren, madrasah, sekolah masih menjadi tempat penyemaian bibit-bibit fundamentalisme, radikalisme, intoleransi, kekerasan yang terus tumbuh subur dan mendarah daging.

Dalam tulisan Sekolah Toleransiku, Luisa Aristy Lesmana, beragama Katolik keturunan Tionghoa, menceritakan pengalamannya tentang pentingnya toleransi yang ditanamkan, dipraktikkan sejak di sekolah. Berikut ini penuturannya:

Terlahir dari keluarga Katolik. Otomatis, sejak kecil sudah diajarkan nilai-nilai keagamaan Katolik. Seperti umumnya keluarga kristiani, orang tuanya menyekolahkan di sekolah Kristen di Kota Tangerang. Dari SD hingga SMP, mengenyam pendidikan di sekolah Kristen.

Begitu lulus SMP, pernah terpikir untuk sekolah di negeri. Namun dalam benaknya selalu terlintas bahwa sekolah negeri merupakan sekolah khusus orang-orang beragama Islam. Takut-takut kalau nanti dipaksa pindah agama dan sebagainya.

Berusaha merubah paradigma yang ditanamkan oleh lingkungan sekitar mengenai pikiran negatif. Dengan tekad ingin masuk sekolah negeri, memberanikan diri mendaftar di tiga sekolah negeri di Kota Tangerang.

Walhasil, memang diterima. Apa yang terjadi? Ketakutan yang dirasakan sebelumnya kembali muncul. Kenyataannya memang tidak benar-benar terjadi.

Di tempat inilah baru benar-benar belajar toleransi beragama yang begitu kental. Mayoritas siswa yang ada memang beragam Islam. Namun bukan berarti aku dan teman-temanku yang non-Muslim tidak mendapat tempat. Justru pandangan buruk yang pernah terbayang di pikiranku perlahan terkikis seiring berjalannya waktu.

Suatu ketika saat memasuki bulan Ramadhan, di mana kebanyakan siswa berpuasa, otomatis aku harus menghargai mereka. Terkadang aku harus bersembunyi hanya untuk sekadar makan, minum. Tujuannya untuk menghargai mereka yang berpuasa. Ilmu toleransi yang selama ini hanya kupelajari secara teori, kali itu benar-benar dipraktikkan.

Ketika teman-temanku mengadakan acara buka puasa bersama, dengan penuh antusias mereka mengajak diriku yang jelas-jelas tidak berpuasa. Sebuah perkataan dari seorang teman yang tidak pernah terlupakan.

"Bukan masalah buka puasanya, yang penting ngumpulnya. Bareng-bareng."

Kebersamaan yang tercipta dan kudapat dari masa-masa di SMA ini terbawa hingga sekarang. Tiap tahun, acara buka puasa bersama sudah seperti acara reuni tahunan yang kami adakan. Ya, meskipun aku tidak puasa.

Di balik semua toleransi yang pernah kudapatkan saat bersekolah di SMA negeri, bukan berarti tidak ada hambatannya. Di sekolahku, hanya terdapat sedikit murid yang memeluk agama Katolik. Dari seluruh angkatan, dijumlahkan hanya 13 orang.

Berbeda dengan saudara kita yang beragama Kristen Protestan dan Budha yang jumlahnya cukup banyak. Sebagai kaum minoritas, tentu saja terdapat perbedaan perlakuan. Tapi itu hanya awalnya.

Saat baru masuk ke SMA, untuk pelajaran agama aku harus pergi ke gereja tiap hari Jumat untuk belajar di sana karena tidak adanya pengajar dari sekolah. Setengah semester berikutnya, seorang guru agama Katolik mengajukan diri untuk menjadi guru agama di sekolahku.

Luar biasanya, kepala sekolahku menerima dengan lapang dada. Mengingat ada beberapa murid beragama Katolik yang bersekolah di sekolahnya. Sekolah ini merupakan sekolah negeri pertama dan satu-satunya yang pernah kukecap ilmunya. Bukan hanya ilmu dari mata pelajaran, melainkan ilmu toleransi dan kebersamaannya yang masih tertanam, hingga sekarang.

Kini, walaupun sudah lulus, terkadang aku masih ingin ikut serta berpartisipasi dengan teman-teman yang berbeda latar belakang dan agama. Hitung-hitung sebagai melatih rasa toleransi kita kepada sesama (Wiwin Siti Aminah R [Editor],2014:136-138).

Keluar dari Sekolah

Setelah berusaha merobohkan tembok prasangka yang dimulai dari diri sendiri, dilanjutkan dengan sesekali berpergian, piknik ke luar daerah untuk menambah wawasan, pengalaman, cerita agar bisa hidup berdampingan, rukun, toleran, damai dan bahagia.

Mari kita baca kisah Viona Wijaya, beragama Kristen dari keturunan Tionghoa bertajuk "Keluar dari Kotak"

Sedari kecil Viona praktis hanya bergaul dengan sesama etnis Tionghoa yang beragama Kristen. Viona disekolahkan di sekolah swasta Kristen sejak menduduki bangku Taman Kanak-kanak. Di dalam pikirannya saat itu hanyalah belajar, lulus, dan mendapatkan nilai bagus. Tidak ada setitik pun perasaan untuk memikirkan bangsa Indonesia dan masyarakatnya yang melarat di luar sana.

Di sekolah, ditekankan untuk lebih serius belajar eksakta dan mengenyampingkan pelajaran-pelajaran sosial lainnya seperti Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), sejarah. Alasannya, mempelajari ilmu sosial tidak bisa memberikan profit.

Viona akui orang Tionghoa sangat berfokus pada bisnis dan profit. Ini dilakukan karena jika peristiwa Mei 1998 kembali terulang—dan menurutnya bisa saja itu terjadi—mereka punya cukup uang untuk membentengi diri, seperti kembali menyelamatkan diri ke luar negeri.

"Bisa dikatakan hidupku waktu itu sangat sempit. Lingkunganku hanya sebatas keluarga, sekolah, dan Gereja," kenangnya.

Namun dogma itu dipatahkan ketika seorang guru mengubah pemikiran dan cara pandangnya. Dialah guru yang mengajarkan pelajaran PKn di saat Viona duduk di bangku SMP. Pemuda yang saat itu masih jadi mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran (Unpad) mengajarkan dengan luwes tentang negara Indonesia dan berbagai intrik sosial yang akhirnya membuka mata Viona.

Ketika gurunya menampilkan video mengenai konflik dan berbagai permasalahan di Indonesia, Viona mulai berpikir ada sesuatu di luar sana, di balik hidupnya yang baik-baik saja.

Ajaran dan pemikiran dari gurunya terus mengendap di hati. Endapan itu dengan begitu mudah muncul kembali ketika Viona bersinggungan dengan isu-isu sosial. Membuatnya menjadi lebih peka dan menyukai isu sosial. Saat mendalami kitab sucinya dan menemukan berbagai pemahaman baru.

Viona menyadari bahwa agama bukan hanya sekadar ritual keagamaan belaka, tapi juga tentang bagaimana berbuat baik dengan sesama manusia, seperti keadilan dan kesejahteraan. Bisa dikatakan, saat itu adalah titik balik kehidupannya.

"Saat itu terjadi, aku sudah SMA dan mau masuk kuliah. Ketika membaca Alkitab yang berkaitan dengan hukum, ayat itu akhirnya membuat nekad masuk Fakultas Hukum Unpad. Keinginanku inilah yang kemudian membuat orang tuaku menasihatiku sembari menceritakan kembali luka-luka lama mereka saat tragedi 1998 tersebut. 'Jangan masuk (sekolah) negeri, nanti diapa-apain, dikucilkan, diculik, dibunuh' dibicarain gitu," aku perempuan yang menyandang predikat Mahasiswa Berprestasi Fakultas Hukum Unpad pada tahun 2010 ini.

Menurutnya, sikap orangtuanya—juga kebanyakan orang tua etnis Tionghoa lain—yang selalu menceritakan trauma peristiwa tragedi 1998 pada anak-anaknya, bukanlah hal yang tepat. Zaman sudah berubah.

Walaupun orang diskriminatif itu ada dan akan selalu ada di masa apa pun, ia yakin tidak semua suku Indonesia lain itu jahat dan diskriminatif. Sayangnya, di banyak kasus 'jurus jitu' itu mampu mempengaruhi anak-anak.

"Aku seneng mem-brainwash orang (teman Tionghoa), mencoba menyadarkan mereka, tapi ternyata susah."

"Penyebabnya apa?"

"Banyak dari mereka yang tidak punya kesempatan untuk bersentuhan dengan hal lain di luar kotak mereka --keluarga, sekolah, gereja. Mereka sulit untuk diubah karena berasal dari sekolah homogen, apalagi kalau nanti kuliah pasti masuk (kampus) swasta Kristen. Kalaupun mereka bertemu dengan etnis lain, kebetulan aja sikap orangnya tidak baik. Satu kasus itu kemudian langsung digeneralisasikan."

Singkat cerita, halangan dari orangtua dan keluarga besar tidak menyurutkan nyali Viona untuk belajar hukum. Dia berhasil menjadi mahasiswa Hukum Unpad dengan pilihan minat Hukum Tata Negara (HTN).

Kala itu dia hanya satu-satunya mahasiswa etnis Tionghoa di pilihan minat HTN. Tidak terbesit sedikitpun rasa rendah diri, karena tidak punya teman. Lingkungan baru itu malah menjadi jembatan baginya untuk memahami Indonesia secara lebih luas.

Selama kuliah, tak pernah merasakan diskriminasi apa pun dari temannya yang non-Tionghoa. Walaupun Viona mengakui bahwa prasangka-prasangka itu masih ada.

Puncaknya saat mengikuti program Kuliah Kerja Nyata Mahasiswa (KKNM) tahun 2011 silam. Saat itu, sedang mencuci dan mengepel ketika temannya berkomentar, "Saya gak nyangka kamu bisa ngepel dan nyuci!" Ketika ditanya mengapa, "Karena kamu orang Tionghoa!"

Dari situlah Viona menyadari prasangka itu ada. Begitu juga masyarakat etnis Tionghoa kepada orang (suku) lain. Namun ia berpendapat asalkan ada orang yang menjadi penghubung, maka prasangka itu bisa diluruskan. Pertemuan lintas etnis menurutnya adalah kunci utama.

Sayangnya hal itulah yang masih jarang dilakukan. "Dari pada frustasi dengan perilaku suku lain, justru aku lebih gampang frustasi dengan perilaku kaumku sendiri. Aku menyaksikan bagaimana kaumku enggan untuk berbaur karena takut dan lain hal, mendiskriminasi diri sendiri dengan mengulang cerita lama, membuat batas-batas sendiri... Padahal kalau untuk memulai (berbaur), kenapa harus tunggu orang lain, kita sendiri saja yang memulai," timpalnya (Rio Rahadian Tausikal, dkk, 2014: 20-24).

Baca Juga: JEJAK PRAKTIK BAIK DI BANDUNG #7: Merawat Kemah, Menebar Rahmah
JEJAK PRAKTIK BAIK DI BANDUNG #8: Memupus Kebencian, Meraih Indahnya Hidup Berdampingan
JEJAK PRAKTIK BAIK DI BANDUNG #9: Robohkan Prasangka, Rayakan Kebersamaan

Toleransi Sejati

Ingat, beragam perbedaan budaya, agama, suku, dapat diatasi dengan ilmu pendidikan keagamaan dan bimbingan yang baik pada anak. Bekal bimbingan keagamaan dapat diberikan baik di masyarakat, sekolah, maupun keluarga serta orang tua juga berperan penting untuk melakukan tugas mendidik anak. Dengan adanya pendidikan perlu dilakukan proses pembelajaran sejak dini.

Pendidikan yang diberikan orang tua di rumah sangat berperan penting bagi pembentukan karakter anak. Jika orang tua tidak membekali toleransi sejak dini, maka anak dapat menyimpang dalam kekerasan, memilih sifat egois dan berujung pada perkelahian terhadap orang lain. Terhadap pemeluk Islam sendiri peraturan seorang muslim sesungguhnya dianjurkan untuk bersikap toleransi (Ernawati Harahap, dkk, 2022: 108).

Ikhtiar menumbuhkan jiwa toleransi dapat dilakukan misalnya berkunjung pada kegiatan perayaan hari-hari besar keagamaan yang berbeda keyakinan agamanya. Dimulai dengan mengunjungi teman, sahabat, tetangga dan sanak keluarga terdekat terlebih dahulu. Berperan dan membantu kelancaran perayaan keagamaan, menjaga komunikasi yang baik dengan sesama yang berbeda keyakinan, turut serta dalam memelihara lingkungan rumah ibadah, dan lain sejenisnya.

Peran orang tua sangat besar dalam pembentukan karakter anak yang nantinya akan menjadikan gaya hidup anak dengan karakter dan jiwa toleran. Selain mengajarkan kebajikan yang bermakna untuk lingkungan keluarga, orang tua menebarkan kebajikan yang menjadi berkat bagi lingkungan dan sesama.

Dengan demikian, menjadi kewajiban seluruh orang tua dan kita semua untuk memberikan asupan nilai-nilai toleransi yang positif kepada anak dan generasi penerus bangsa seperti saat ini.  Tujuannya jangan sampai terjebak pada kondisi sosial yang menyesatkan dan tidak sesuai dengan nilai-nilai dasar budaya dan norma kita sendiri.

Sedemikian beragamnya bangsa kita, menjadikan toleransi sebagai perekat kebersamaan. Dalam segala hal toleransi menjadi pokok materi yang harus diperkuat dari berbagai lini pengajaran. Perbedaan menjadi sumber kekuatan bukan perpecahan. Justru dengan perbedaan akan memunculkan, menjadikan inovasi-inovasi baru yang akan memperkaya peradaban kita.

Dalam konteks pendidik yang dapat dilakukan itu menyajikan dan mengkondisikan konsep pembelajaran yang bertujuan memupuk dan membangun rasa toleransi peserta didik. Contohnya dengan memberikan materi tentang "besarnya" negara kita yang didukung keberanekaragaman, mulai dari suku, ras, agama, budaya, etnik, geografis, gaya, sampai prinsip-prinsip kedaerahan lainnya.

Perbedaan justru menjadi perekat dan bukan menjadi pemecah, dengan semangat "semua untuk satu, bukan satu untuk semua."

Dengan begitu satuan pendidikan menyediakan ruang dan waktu untuk membangun toleransi, antara lain: terbentuknya diskusi lintas agama, suku, dan kekhasan masing-masing dengan membahas "hebatnya bangsa kita", kegiatan hari besar keagamaan yang mengusung semangat kebersamaan, kunjungan bersama dan anjangsana ke panti asuhan tanpa melihat latar belakangnya, yang semua bermuara pada pentingnya toleransi.

Kepekaan dan keseriusan pendidik sangat menentukan keberhasilan sikap bertoleransi. Demikian pula pendidik mempunyai andil besar terhadap kegagalan memupuk toleransi. Dampak yang kita harapkan peserta didik akan menjadi tokoh kecil dalam toleransi, namun berdampak besar pada nilai nilai dan sikap toleransi pada masyarakat dan bangsa kita.

Sikap toleransi yang terbentuk sejak dini akan menjadi karakter toleransi yang bermakna pada utuhnya nilai persatuan bangsa kita ke depan. Toleransi bermakna menjadikan sikap kita yang menerima dan menghargai perbedaan. Pokok pikiran inilah yang harus kita dampingan dengan perkembangan toleransi bersama peserta didik.

Sikap toleransi menjadi perilaku yang harus kita tonjolkan dalam kehidupan dimulai dari keluarga, masyarakat dan kehidupan berbangsa dan bernegara. Toleransi menjadi hal yang sangat krusial dan mahal saat ini. Tentunya dipengaruhi oleh rasa ego yang berlebihan tanpa melihat dampak yang akan datang.

Kesalahan kita adalah membiarkan sifat ego tersebut ada dan berkembang. Oleh sebab itu, kemampuan lembaga pendidikan kita melalui pendidikan karakter dituntut bisa mengolah ego menjadi lebih baik, wajar dan dapat menciptakan suasana yang lebih nyaman, tenteram, bersahabat dan kondusif.

Pendidik memiliki peran yang sangat penting dan strategis dalam konteks ini, pendidik harus mampu membuat pola pendidikan karakter menjadi lebih mendalam dalam memahami dan menumbuhkan sifat toleran ini. Faktor keteladanan menjadi penting dalam pemahaman toleransi ini, pendidik harus menunjukkan sikap dimaksud terlebih dahulu demi tumbuh kembangnya sifat toleran pada peserta didik kita. (Suprapto Wahyunianto, 2020:50-54).

Dengan cara ini kita dapat memberikan sikap keberagamaan yang terbuka, ramah, toleran, inklusif, adil dan mengakui perbedaan keyakinan (sekte, madzhab, aliran) bagi tumbuh dan berkembangnya kerukunan antarumat beragama di Indonesia.

Toleransi sejati diwujudkan dalam sikap yang tidak memperselisihkan klaim orang lain terhadap kebenaran agamanya. Toleransi sebenarnya terhadap agama lain ditunjukkan dengan tidak adanya ekspresi mempertentangkan, tidak setuju terhadap klaim orang lain terhadap kebenaran agama, keyakinannya (Stetson, 1994:77 dan Fuad Fachruddin, 2006:126).

Perlunya umat Kristen merasa senang melihat penganut Islam menjadi Islam lebih baik dan menjadi teladan bersama. Sebaliknya umat muslim merasa bahagia melihat saudaranya yang Kristen menjadi Kristen terus berbuat baik dan menginspirasi.

Hidup berdampingan sebagai praktik toleransi di sekolah, menyediakan kelas terbuka ruang dialog, diskusi, tempat saling bertanya, bercerita, curhat, bahkan merobohkan prasangka, perbedaan antarsiswa yang beragam keyakinan menjadi keharusan dalam memupuk sikap toleran sejak di bangku sekolah.

Dengan demikian, membiasakan toleransi atas keberagaman ini harus dimulai dari individu guru, siswa, kepala sekolah, madrasah, pesantren, orang tua, sampai komite sekolah yang berusaha membangun kesadaran, kemampuan sikap empati, peduli, cinta, kasih sayang, menebar kebaikan terhadap sesama tanpa sekat agama, kepercayaan, suku, etnis dan golongan.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//