JEJAK PRAKTIK BAIK DI BANDUNG #9: Robohkan Prasangka, Rayakan Kebersamaan
Gelaran Bandung Lautan Damai (Balad) yang digagas Jakatarub bersama puluhan komunitas keagamaan sudah memasuki tahun keempat. Mengenalkan anak dengan keberagaman.
Ibn Ghifarie
Pegiat kajian agama dan media di Institute for Religion and Future Analysis (IRFANI) Bandung.
21 Februari 2023
BandungBergerak.id – Upaya mewujudkan kehidupan yang rukun, damai, harmonis antarumat beragama dapat dibangun dengan baik, manakala masing-masing pihak yang berbeda (agama, keyakinan, suku, golongan) melakukan usaha bersama untuk saling memahami, mengedepankan toleransi dan menepis berbagai prasangka negatif terhadap pihak lain.
Hadirnya aktivitas berkunjung ke sekolah (beda agama, lintas iman, pemahaman) sebagai ikhtiar keluar dari kotak kebencian, prasangka menjadi momentum yang tepat untuk merayakan keragaman.
Pasalnya, dari ruang perjumpaan autentik ini anak-anak didik bisa berbagi cerita, pengalaman, bermain bersama tanpa melihat perbedaan agama, kepercayaan, suku, golongan.
Selama ini kita beranggapan sekedar untuk bermain, mengunjungi sekolah di luar agama yang dianut tidak boleh, hingga terlarang. Ambil contoh Sekolah Islam Terpadu melakukan kunjungan atas nama apapun ke Sekolah Kristen tak diperbolehkan. Begitu pun sebaliknya.
Padahal sering terjadinya konflik horizontal, kekerasan atas nama agama diakibatkan dari jarang berkomunikasi, bertemu, berkumpul, berdialog, hingga kurang piknik.
Baca Juga: JEJAK PRAKTIK BAIK DI BANDUNG #8: Memupus Kebencian, Meraih Indahnya Hidup Berdampingan
JEJAK PRAKTIK BAIK DI BANDUNG #7: Merawat Kemah, Menebar Rahmah
JEJAK PRAKTIK BAIK DI BANDUNG #6: Merayakan Halalbihalal, Meneguhkan Persaudaraan Sejati
JEJAK PRAKTIK BAIK DI BANDUNG #5: Menebar Peacesantren, Meraih Kebahagiaan
Hikayat Anjangsana
Berbeda dengan Sekolah Kang Jalal yang membolehkan aktivitas luhur itu. Ya, sekitar 90an anak bermain bersama dalam acara Anjangsana, yang digagas oleh Bandung Lautan Damai (Balad) di SD Cerdas Muthahari Bandung, Selasa (21/11/2017).
Justru sekolah berbasis pendidikan Islam ini malah menyambut siswa-siswi dari SD St. Angela, SDN Karang Pawulang, SDK Yahya dan SD BPK Penabur demi merayakan keberagaman.
Sesekali terdengar ungkapan "Ayo lempar dadunya… Nah kalian di kotak yang sama”, Eres memandu kelompok yang terdiri dari sembilan orang anak usia SD. Mereka bermain Katumbiri (pelangi), satu permainan yang diadopsi dari permainan ular tangga, tapi dikemas secara apik, menarik untuk edukasi keberagaman. Warna board yang ceria, keseruan challenge saat mereka ada di kotak yang sama itu amat menyenangkan bagi anak-anak. Asyik!
Tak hanya bermain Katumbiri, anak-anak diajak melukis sosok temannya dalam menggapai cita-citanya. Mereka dilibatkan untuk permainan perkusi bersama dan ice breaking lainnya. Sungguh mengasyikkan.
Eres, membersamai rekan-rekannya dari Community of Youth (COY) Bandung, Guru Sekolah Minggu GKI Kebonjati, menjadi fasilitator yang memandu acara Anjangsana. Ikut serta guru SD Cerdas Muthahari, Komunitas ASKARA dan panitia Balad 2017.
Event ini merupakan bagian dari perayaan hari toleransi Internasional yang jatuh tiap 16 November. Bedanya di Bandung peringatan itu dikontekstualisasikan dalam tajuk Bandung Lautan Damai (Balad) yang digagas oleh Jaringan Kerja Antar Umat Beragama (Jakatarub) bersama puluhan komunitas keagamaan dan budaya di Bandung, termasuk GKI Klasis Bandung dan COY.
Dalam Bahasa Sunda: balad berarti teman, sahabat. Sejak tahun keempat penyelenggaraan Balad (2015), acara Anjangsana ini menjadi program yang rutin. Tujuannya untuk mempertemukan anak-anak sejak usia dini dengan keberagaman.
Panitia Balad, Yunita menyampaikan “Kita sadar perlu membuka ruang untuk mempertemukan anak-anak ini dengan rekannya yang berbeda. Mengenal dan bergaul yang berbeda agama, mungkin semakin terbatas, apalagi jika diperkotaan anak biasa bersekolah di sekolah yang cenderung homogen,” ucapnya.
Untuk diketahui, sebelumnya pada tahun 2015, Anjangsana itu diadakan di SDK Yahya, diikuti oleh SDK Yahya dan SDC Muthahari. Lalu 2016 di Pondok Pesantren Babussalam, yang dihadiri SD dan SMP Babussalam, SMO Bahtera, SDK Yahya, dan SMP BPK Penabur.
Anak-anak muda COY, mengaku amat senang dilibatkan dalam keseruan Anjangsana ini. Terlibat dari antuasiasme untuk saling mempertemukan perbedaan agama diharapkan dapat memberikan semangat, dukungan pada setiap orang agar terus berjuang merayakan keberagaman. (www.selisip.com)
Bertemu 2 Sekolah Berbeda
Lain SD, lain ceritanya untuk di lingkungan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Tak hanya di dalam kelas. Pertemuan di dunia nyata, menjadi ruang perjumpaan tulus untuk menumbuhkan nilai-nilai keberagaman, toleransi diajarkan kepada setiap anak didik.
Ini yang telah dipraktikkan oleh SMP Kristen Yahya dengan SMP Muhammadiyah 8 Bandung berinisiatif membuat program bersama untuk saling mempertemukan murid-muridnya yang berbeda agama, kepercayaan dalam satu acara kunjungan.
Salah satu siswi kelas 8 SMP Muhammadiyah 8 Bandung, Sarah Huwaidah, sangat antusias saat menceritakan pengalamannya berkunjung ke SMP Kristen Yahya. Raut wajahnya berbinar ketika mengungkapkan perasannya terhadap umat Nasrani selama ini berubah.
“Awalnya kan prasangka saya orang Kristen itu sombong. Eh, ternyata prasangka saya salah. Baik-baik kok. Malah sampai sekarang masih suka chat, masih temenan,” ujarnya.
Pertemuan dua sekolah beda agama ini merupakan wujud dari program saling kunjung yang diinisiasi oleh komunitas Peace Generation, untuk menanamkan nilai-nilai perdamaian dan toleransi kepada murid-muridnya.
Dalam setiap kunjungan, murid-murid dari kedua sekolah itu dibiarkan untuk saling berinteraksi satu sama lain dalam bentuk permainan.
“Jadi sebelumnya anak-anak SMP Yahya main juga ke sini. Kita main games bareng. Serulah. Kita jadi tahu meskipun beda agama kita masih bisa saling berteman,” katanya.
Mereka merasa kurikulum yang ada sekarang masih kaku dalam urusan menanamkan nilai-nilai perdamaian kepada murid-muridnya. Program saling kunjung ini dinilai efektif untuk meruntuhkan prasangka perbedaan pada benak anak-anak.
Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan SMP Muhammadiyah 8, Cepi Aunilah mengatakan, program ini sengaja dibuat untuk mengenalkan anak-anak pada sebuah perbedaan secara nyata. Menurutnya, sekolahnya memiliki misi yang sama dengan SMPK Yahya untuk membentuk karakter murid-muridnya agar bisa mencintai perdamaian.
"Sekarang tantangannya sangat berat, di medsos banyak informasi-informasi yang bisa memecah. Tapi kalau anak-anak itu sudah memahami nilai-nilai perdamaian, mereka akan sadar, kok ternyata tidak seperti ini,” ujarnya.
Dari program saling kunjung itu diharapkan bisa perlahan memutus prasangka-prasangka muridnya terhadap orang yang berbeda keyakinan. Anak-anak dinilai masih memiliki prasangka buruk terhadap orang yang berbeda agama, yang disebabkan oleh faktor lingkungan sosial anak dan asupan informasi yang mereka dapat.
“Awalnya ada benteng pembatas seperti jangan dekat-dekat orang Kristen. Ternyata setelah kegiatan ini, asal keyakinan kita dijaga masih bisa berteman. Mereka akhirnya bisa main bersama membuat permainan supaya mereka kenal dan saling cerita. Anak-anak bilang ternyata sama juga kok,” jelasnya.
Guru PKN di SMP Kristen Yahya, Bandung, Ema Ridawati, cukup terperanjat ketika salah satu muridnya tiba-tiba bertanya, “Bu, benar enggak sih yang ngebom itu orang Islam?”
Ia mengaku mencoba menjawab pertanyaan itu dengan harapan bisa memberikan pemahaman utuh yang bisa diterima oleh muridnya.
“Betul mungkin secara individu Islam. Tapi tidak ada dalam ajaran Islam yang boleh membunuh. Semua dijelaskan dalam Al Quran, saya lihat tidak ada lho, nak. Semua agama mengajarkan membunuh itu tidak boleh,” ujarnya.
Ema merupakan salah satu guru beragama Islam di sekolah itu justru berharap pertanyaan-pertanyaan semacam itu dilontarkan oleh murid-muridnya saat mengajar di kelas. Baginya, pertanyaan itu justru bisa membiasakan anak-anak dalam berdialog.
“Sebenarnya itu yang terjadi di anak-anak tinggal bagaimana kita orang dewasa memberi penguatan kepada mereka,” ucapnya.
Diakuinya, prasangka-prasangka itu masih ada pada sebagian murid-muridnya. Untuk mengikis prasangka buruk itu tak cukup hanya melalui materi di dalam kelas. Mesti ada contoh dan teladan dari guru dan orang dewasa terdekat. Anak-anak harus dibiasakan berinteraksi dengan orang yang berbeda darinya.
“Mereka awalnya punya prasangka. Yang Islam punya prasangka kepada yang bukan Islam. Yang bukan Islam juga punya prasangka kepada yang Islam. Tapi ketika event terakhir (kunjungan SMP Muhammadiyah) mereka menuliskan prasangka lalu mereka mendobraknya,” ungkapnya.
Program saling kunjung sekolah dengan basis agama berbeda diakui bukan suatu yang mudah dilakukan. Masih banyak sekolah yang menganggap hal tersebut masih tabu.
Kepala Sekolah SMPK Yahya, Sony Karundeng mengatakan, pihaknya ingin program ini tak hanya dijalin dengan SMP Muhammadiyah saja. Berharap, sekolah lain dapat ikut dalam program ini. Namun, masih banyak sekolah yang masih sulit untuk mewujudkan program ini. “Mungkin mereka terbentur dengan kebijakan yayasan atau yang lainnya,” ujarnya.
Founder Peace Generation, Irfan Amalee mengungkapkan, di tengah polarisasi agama yang semakin menguat, peran guru sangat penting dalam meruntuhkan prasangka yang tertanam di benak murid-murid. “Jadi polarisasi itu semakin kuat. Makannya kita mengajarkan nilai-nilai perdamaian dengan mempertemukan murid Islam dengan non-islam. Agar prasangka-prasangka bisa dihancurkan,” katanya.
Rupanya, sampai saat ini masih banyak sekolah, pendidik yang memandang mengajarkan perdamaian cenderung memojokkan agama tertentu. Misalnya, saat membahas soal radikalisme di sekolah, kerap dicap menyudutkan Islam.
“Itu yang menjadi kelemahan lemah di pendidik kita pada umumnya, bahkan ada kesalahpahaman tentang toleransi. Jadi mereka masih menganggap radikalisme itu isu yang menyudutkan Islam misalnya. Sehingga mereka tidak mau mengajari itu. Kita juga sering dicurigai, kita mau mengajarkan perdamaian, tapi dicurigai. Itu juga tanda masih ada alergi,” ungkapnya.
Melunturnya nilai-nilai toleransi dan perdamaian di tingkat lembaga pendidikan tercermin dari hasil survei PPIM UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta yang menunjukkan 53 persen guru-guru di Indonesia secara implisit memiliki opini intoleransi.
Hasil riset yang dirilis pada Oktober 2018 menegaskan guru-guru di Indonesia dari tingkat TK hingga SMA memilki opini intoleran dan opini radikal yang tinggi. (Kumparan, 15 November 2018 21:10)
Tanamkan Sejak Dini
Harus diakui, praktik toleransi di Indonesia bukanlah melulu pergulatan para elit aktivis dan para ulama. Toleransi adalah kenyataan sehari-hari yang dilakoni anak kecil, remaja, pemuda, seorang Ibu, Ayah, kita semua. Toleransi bukan sekedar teori basa-basi indah di mimbar dialog formal, tapi pahit-manis keadaan yang dicoba-hidupi. Justru perjuangan orang-orang seperti inilah yang menjadi tapak otentik untuk mengupayakan toleransi, mewujudkan perdamaian. (Rio Rahadian Tausikal, dkk, 2014:3)
Mengingat karakter toleransi sangat penting dimiliki oleh setiap orang, terutama kita sebagai warga negara Indonesia. Dalam kehidupan berbangsa, bernegara, sehari-hari kita sangat membutuhkan sikap, perilaku toleransi agar semua dapat berjalan dengan damai dan rukun.
Tentunya, toleransi tidak hanya dalam bidang agama saja, melainkan dari berbagai sudut pandang seperti kebudayaan, gender dan yang lainnya. Meskipun toleransi sering kali dianggap abstrak bagi anak, terlebih untuk usia 6-8 tahun. Toleransi merupakan bagian dari kecerdasan moral. Ada cara untuk meningkatkan kecerdasan moral anak yang berkaitan dengan toleransi.
Proses penanaman karakter toleransi sejak dini sangat penting dilakukan. Sebab tumbuh berkembangnya budi pekerti, kepribadian tidak dapat dilakukan secara instan. Cara terbaik yang dapat dilakukan dengan melibatkan anak dalam berbagai urusan, bentuk yang memiliki unsur toleransi. Baik toleransi dalam urusan agama, suku, gender dan lain sebagainya.
Paling tidak penanaman karakter toleransi pada anak dapat dilakukan dengan enam cara; Pertama, Perangi prasangka buruk. Bantu anak becermin dan melihat prasangka buruk diri sendiri; Kedua, Tekadkan untuk mendidik anak yang toleran. Keinginan orang tua dalam mendidik anak lebih berhasil, karena telah dirancang pola asuh yang akan dilakukan; Ketiga, Jangan dengarkan komentar bernada diskriminasi; Keempat, Beri kesan positif tentang semua suku. Tunjukan kepada anak tentang hal positif dari cerita, video, tokoh masyarakat, berita di TV, surat kabar yang menggambarkan beragam suku bangsa; Kelima, Dorong anak agar banyak terlibat dengan keragaman. Mendorong anak terlibat dengan individu yang mempunyai suku, agama, budaya, gender, kemampuan, dan keyakinan yang berbeda-beda; Keenam, Contohkan toleransi dalam kehidupan sehari-hari. (Borba, 2008: 234, Benedicta Rani Nugraheni, Gregorius Ari Nugrahanta, 2020: 16-17)
Sikap toleran memang harus ditanamkan oleh semua komponen bangsa, terlebih pendidik sejak dini, terutama terhadap remaja pada rentang usia 15-18. Sebuah periode usia yang rentan akan berbagai polusi paham keagamaan yang tidak jarang menimbulkan destruksi.
Mengingat secara psikologis periode ini dianggap penuh dengan kebimbangan, disorientasi, dan secara sosial-psikologis terisolasi. Wirawan membuktikannya bahwa anak remaja masih awam berbagai paham keagamaan serta secara psikologis tengah mencari identitas diri, rentan terkena dampak berbagai perilaku yang ada di sekitarnya.
Pengetahuan multikulturalisme penting bagi masyarakat majemuk, sehingga perlunya dimasukkan ke dalam sistem pendidikan sebagai upaya positif di dalam pembentukan karakter toleransi sejak usia dini.
Posisi agama dan kedudukan tokoh pendidik lintas agama dalam mengelola toleransi beragama dengan demikian menjadi penting. Pasalnya, agama yang membawa nilai-nilai toleransi pada ajarannya. Sedangkan tokoh pendidik lintas agama sebagai orang yang berupaya untuk mewujudkan pendidikan dan dakwah sebagai sarana adaptasi hubungan antar manusia, introspeksi diri menuju jalan lurus, mencegah perbuatan yang dilarang oleh agama, dan melaksanakan pendidikan dan dakwah agama, serta mengembangkan keahlian di bidang agama.
Toleransi itu penting, tapi mengelola toleransi ternyata jauh lebih penting, sebab tidak bisa terwujud toleransi tanpa dikelola dengan menggunakan strategi tertentu oleh berbagai komponen bangsa.
Salah satu komponen bangsa yang penting melakukan adalah pendidik lintas agama karena pendidikan tidak bisa dipisahkan dengan toleransi dan toleransi, termasuk di antaranya keragaman tidak bisa dipisahkan dengan persatuan dan kesatuan bangsa. (Najmuddin Petta Solong, 2022:66-67).
Hadirnya, beragam keyakinan berbeda bisa menjadi langkah awal yang baik untuk menumbuhkan rasa hormat dan penghargaan terhadap orang lain. Pengenalan akan keberadaan teman yang beragama lain, dapat menumbuhkan semangat toleransi dan kerja sama antara pemeluk agama dan kepercayaan yang menjadi dasar kekuatan bangsa Indonesia. Ajak peserta didik untuk mengadakan kunjungan ke tempat-tempat beribadah yang ada di lingkungan sekitar sekolah.
Kegiatan kunjungan ke tempat-tempat beribadah (sekolah beda agama) ini bisa dilakukan dengan banyak cara disesuaikan dengan kondisi kelas. Terutama untuk mengembangkan semangat saling menghargai dan toleransi antarpemeluk agama sejak dini. Melalui kegiatan ini, peserta didik diharapkan memiliki pengetahuan dan wawasan yang terbuka terhadap perbedaan agama, keyakinan dan kepercayaan yang menjadi hak asasi manusia.
Di satu sekolah, untuk menghantar peserta didik memiliki pemahaman akan perbedaan agama dan keyakinan, guru mengajak peserta didik mengenal tempat-tempat ibadah pemeluk beragama lain. Ada yang pada tahap awal mempergunakan gambar-gambar tempat ibadah dan penjelasan tertulis atasnya. Gambar-gambar ini dipasang di kelas dan setiap peserta didik secara bergiliran dengan model galeri berjalan, sehingga peserta didik dapat mengenal tempat-tempat ibadah melalui gambar.
Setelah memahami dan mengerti pengetahuan tentang tempat-tempat ibadah, guru bisa mengajak peserta didik ke lokasi yang sesungguhnya, sehingga peserta didik tidak merasakan ada kekagetan. Model pendekatan ini cocok untuk anak-anak SD. (Doni Koesoema A, Evy Anggraeny, 2021:437).
Dengan demikian, pendidikan yang diberikan orangtua di rumah, guru di sekolah, teman di kelas dan luar (lintas agama, iman, keyakinan, pemahaman) sangat berperan penting bagi pembentukan karakter anak. Jika orangtua, guru tidak membekali toleransi sejak dini, maka perilaku anak-anak dapat menyimpang, ganjil dan terbiasa dalam menghadapi segala persoalan dengan cara tindakan kekerasan.
Mudah-mudahan dengan adanya aktivitas Anjangsana yang dilakukan oleh Jakatarub, kunjungan dua sekolah beda agama (Islam-Kristen) yang diprakarsai Peace Generation ini dapat dijadikan sebagai ikhtiar keluar dari kotak kebencian, merobohkan tembok prasangka, manghancurkan sekat antaretnis, agama, golongan menjadi momentum yang tepat untuk merayakan keragaman demi menciptakan hidup berdampingan, rukun, toleran dan damai. Semoga.