Buka Bersama Lintas Iman untuk Meneguhkan Kerukunan Antarumat Beragama
Shinta Nuriyah Wahid, istri mendiang Gus Dur, menebarkan nilai-nilai kemanusiaan Ramadan melalui Sahur dan Buka Bersama Keliling.
Penulis Awla Rajul27 Maret 2023
BandungBergerak.id - Bulan Ramadan menjadi momentum untuk mengukuhkan silaturahmi lintas iman dan merajut kerukunan antarumat beragama. Semangat inilah yang diusung oleh Shinta Nuriyah Wahid, istri mendiang Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, yang rutin menggelar Sahur dan Buka Bersama Keliling sejak lebih dari dua dekade silam. Acara ini sekaligus menjadi ajang merangkul kaum duafa dan marjinal.
Ramadan tahun ini, acara Sahur dan Buka Bersama Keliling Shinta Nuriyah Wahid menyapa warga Kota Bandung, tepatnya di halaman Kantor Kecamatan Rancasari. Lantunan Shalawat Badar dari grup Qasidah Khairunnida mengiringi kedatangan Shinta dan rombongan, Sabtu (25/3/2023).
Sedikitnya 300 kaum duafa dari Kecamatan Rancasari mengikuti buka bersama ini. Hadir pula perwakilan dari gereja, umat Kristen, umat Konghuchu, perwakilan Bahai serta umat lintas iman lainnya.
Shinta menuturtkan kegiatan Sahur dan Buka Bersama Keliling yang mengajak kaum duafa dan kaum marjinal sudah ia lakukan sejak 23 tahun lalu, saat masih mendampingi Gus Dur di istana. Umat lintas iman turut diudang, bahkan panitia pelaksana terdiri dari umat lintas iman. Kegiatan ini sejatinya mencerminkan seluruh golongan di Indonesia bersaudara, tidak memandang latar belakang agama maupun kesukuan.
“Jadi kita ini semua bersaudara dan itu simbol yang disebut dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika,” katanya, dalam dialog kemanusiaan di sela-sela acara buka bersama.
Shinta lantas mengabsen perwakilan umat lintas iman mana saja yang hadir pada kegiatan tersebut. Keberagaman yang ada pada kegiatan ini diniatkan sebagai ungkapan kasih, sayang, rasa tolong-menolong, serta bentuk dukungan kepada umat Islam yang sedang melaksanakan ibadah puasa.
Shinta juga menyinggung, sebenarnya konsep utama acara ini adalah sahur keliling bersama. Buka puasa identik dengan momen membatalkan puasa bersama, meskipun terkadang tidak semua yang hadir masih menjalani puasa. Sahur bersama dilakukan bertujuan untuk mengajak berpuasa. Sehingga tidak ada alasan untuk tidak menjalani puasa keesokannya.
“Kalau memang mengaku bersaudara apa pantas gontok-gontokan? Apa pantas cakar-cakaran?” tanya Shinta kepada hadirin, kemudian dijawab tidak secara serempak. “Lantasnya apa? Hidup rukun dan damai. Jadi kita semua ini adalah bersaudara,” lanjutnya.
Usai berbuka bersama, Shinta menjelaskan terkait kondisi masyarakat pascapandemi. Eknomi masyarakat sulit, lahan pekerjaan berkurang, pendidikan anak terbengkalai dan lainnya. Akibatnya, masyarakat mulai terkikis kemanusiaanya. Sehingga pada momen Ramadan inilah masyarakat berupaya untuk kembali kepada kemanusiaan.
Usai menyampaikan pesan-pesannya, hadirin dipersilakan untuk bertanya langsung atau menyampaikan keluh-kesah kepada Nyai, demikian Shinta kerap disapa. Mayoritas masyarakat mengeluhkan terkait harga sembako yang terus naik, meminta pendidikan gratis, lahan pekerjaan yang terus menyusut pascapandemi.
Shinta menguatkan masyarakat agar bisa bersabar dan terus berupaya sesuai kemampuan yang dimiliki. Adapun terkait keluhan warga, ia akan meneruskannya kepada kementerian terkait. Ia juga menyingung bahwa besar harapannya perwakilan DPRD bisa hadir pada kesempatan tersebut. Sebab merekalah perwakilan rakyat dan merekalah yang seharusnya mendengarkan keluhan dan aspirasi dari masyarakat.
Meneruskan Cita-cita Gus Dur
Kegiatan Sahur dan Buka Bersama Keliling sudah dilakukan selama 23 tahun di Indonesia. Namun, di wilayah Bandung dan sekitarnya sudah dilakukan selama 21 tahun. Visi dari kegiatan ini adalah untuk menjaga toleransi dan meneruskan warisan dari Gus Dur agar masyarakat tetap guyub dalam kerukunan, sesuai semboyan Bhineka Tunggal Ika.
Ignatius Yunanto, koordinator acara Bandung menyebutkan bahwa Shinta memiliki kerinduan sekaligus punya cita-cita untuk mewariskan cita-cita Gus Dur. Makanya kemudian diadakan dengan konsep bukber atau sahur keliling mengajak kaum dhufa dan kaum marjinal dengan melibatkan seluruh kelompok lintas iman.
“Jadi memang diharapkan muncul persatuan-persatuan. Bahkan ibu itu suruh datang ke tempat-tempat konflik, supaya meneguhkan,” ungkap Ignatius Yunanto, kepada BandungBergerak.id, usai acara.
Tidak hanya dilakukan pada wilayah konflik untuk meneguhkan persatuan dan toleransi, acara seperti ini juga dilakukan di wilayah yang identik sudah kuat toleransinya, misal kampung-kampung damai atau toleransi. Kegiatan ini pula diniatkan untuk meneguhkan kembali toleransi dan persatuan, serta momen bagi Shinta untuk memberikan pesan-pesan moral kemanusiaan.
Yunanto juga menyebutkan agenda seperti Sahur dan Buka Bersama Keliling penting untuk menjaga kerukunan antar umat menjelang tahun-tahun politik. Ia juga menyinggung terkait panduan acara dari panitia pelaksana pusat yang tidak mau sama sekali menyentuh perihal politik.
“Sampai hal teknis, seperti spanduk atau backdrop tidak mau ada nama, tokoh, simbol politik. Hal ini dilakukan sebagai netralitas, sebab yang mau digaungkan adalah soal kemanusian, menyerukan persatuan sekaligus menyapa kaum duafa. Dan inilah yang terus diperkuat,” lanjutnya.
Sepanjang 21 tahun pelaksanaan kegiatan Sahur dan Buka Bersama Keliling di Bandung setiap bulan Ramadan, mayoritas masyarakat mendukung. Meski sempat dua kali kesempatan ada wilayah masyarakat di Bandung yang menolak kegiatan ini. Penolakan ditengari karena acara diselenggarakan oleh umat nonmuslim, bukan muslim.
Yunanto menyebutkan bahwa ini adalah tugas bersama. Makanya, Shinta saat “mengabsen” pada dialog menyebutkan semua golongan, seperti Bahai, Ahmadiyah, dan lainnya. Penyebutan golongan-golongan tersebut ditujukan agar melihat reaksi dan respons masyarakat terkait keragaman yang ada di Indonesia.
Usai pelaksanaan di Bandung, acara ini akan dilajutkan di Cirebon. Yunanto menyebutkan bahwa seharusnya yang dilakukan adalah Sahur Bersama Keliling. Namun di tahun ini karena kondisi kesehatan Shinta yang kurang baik, hanya tiga sampai empat kali agenda sahur dilakukan, sisanya adalah Buka Bersama Keliling.
Di tahun ini, kegiatan ini berlangsung atas kerja sama beberapa lembaga lintas iman, di antaranya: Yayasan Puan Amal Hayati Jakarta (Yayasan yang dipimpin oleh Ibu Shinta Nuriyah AW), Komisi Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Bandung, Komisi Hubungan antar-Agama dan Kepercayaan Keuskupan Bandung, GKI (Gereja Kristen Indonesia), GKP (Gereja Kristen Pasundan) Bandung, GKJ (Gereja Kristen Jawa), HKI, Gereja OSZA, Penghayat, Baha’i, Permabudhi, WHDI, Matakin, Makin, Jakatarub (Jaringan Kerja Antarumat Beragama), Sekodi (Sekolah Damai Indonesia) dan beberapa jaringan kemanusiaan lintas agama lainnya.
Baca Juga: Sungai Kotor untuk Semua
Perjalanan Panjang Mendapatkan Surat Keterangan Disabilitas bagi Orang dengan Autisme dan ADHD Dewasa
Himpunan Penghayat Kepercayaan Berharap Dibentuknya Kementerian Khusus Kepercayaan dan Agama Leluhur
Lega usai Curhat ke Nyai
Saat sesi tanya jawab dan curhat, banyak masyarakat yang mengeluhkan persoalan sembako yang tinggi, lapangan kerja berkurang, pendidikan yang mahal, serta soal lainnya. Beberapa warga bahkan mengeluhkan persoalan yang spesifik, seperti tidak pernah mendapatkan bantuan atau lainnya.
Beberapa keluhan warga ditanggapi oleh Shinta. Ia juga menambahkan akan menyampaikannya kepada pihak-pihak terkait di pemerintah pusat agar ditindaklanjuti. Beberapa keluhan warga juga ditanggapi langsung oleh Camat Rancasari.
Wiwin (41 tahun) misalnya. Warga Derwati ini memiliki dua orang anak. Suami pertamanya meninggal dan meninggalkan satu orang anak laki-laki yang kini berusia sekolah SD. Suami keduanya juga meninggalkan satu orang anak yang kini berusia balita. Namun suami kedua Wiwin disebut tidak bertanggung jawab.
Wiein mengeluhkan sudah tiga tahun bantuan Program Keluarga Harapan (PKH) dari Kementerian Sosial tidak kunjung diterima. Ia sudah melaporkannya kepada Dinas Sosial namun tidak ditanggapi. Kabarnya pula, di dalam daftar resmi Wiwin dinyatakan tidak layak untuk mendapatkan bantuan PKH.
“Saya teh sedih ya, kenapa yang kaya dapat, yang punya motor, rumahnya bagus. Kenapa saya yang ngontrak, jualan keliling, kenapa ti Dinsos tidak ditanggapi. Di Kelurahan ditanggapi kemarin cuma itunya ceunah nama saya tidak layak mendapatkan PKH,” ungkapnya.
Sehari-hari Wiwin berjualan keliling untuk menghidupi keluarganya dan membayar kontrakan. Ia menyesal tidak punya pendapatan cukup, anaknya yang yatim, anak balitanya, dan masa depan sekolah anaknya. Ia mengaku setelah meyampaikan langsung masalahnya ke Shinta dan didengar langsung Camat Rancasari. Ia merasa lega.
“Sudah plong gitu sekarang mah. Sudah ditanggapi katanya bukan saya saja, tapi yang lain ada juga. Iya, sudah lega, Alhamdulillah, plong,” ungkapnya kepada BandungBergerak.id.
Setelah keluhannya didengar dan ditanggapi oleh Shinta dan Camat Rancasari, Wiwin berniat mengurus lagi PKH-nya. Harapannya, bantuan sembako dan uang bisa menopang kembali kehidupannya.