Sungai Kotor untuk Semua
Hari Air Sedunia yang jatuh 22 Maret kemarin mengingatkan kita bahwa masih ada warga yang menggunakan air kotor untuk kehidupan sehari-hari.
Hari Air Sedunia yang jatuh 22 Maret kemarin mengingatkan kita bahwa masih ada warga yang menggunakan air kotor untuk kehidupan sehari-hari.
BandungBergerak.id - Seorang pria lanjut usia dengan enteng memelorotkan celananya lalu buang air kecil di sebuah saluran air depan rumahnya di Kampung Ciwalengke, Kecamatan Majalaya, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Rabu (22/3/2023). Padahal ada jamban MCK (mandi cuci kakus) umum 3 meter dari pintu rumahnya.
Saluran air yang dikapai kencing itu bukan sekadar selokan biasa, melainkan bagian dari sistem sungai yang dialirkan ke ke bak penampungan beberapa MCK umum di kampung padat penduduk tersebut. Jaraknya sekitar 15 meter dari jamban MCK umum yang pertama.
Air kotor yang jadi sumber air untuk MCK di jamban-jamban umum di wilayah RW 10 tersebut berasal dari aliran Sungai Ciwalengke yang sengaja dibelokan lalu ditampung di bak dan sumur penampung. Puluhan tahun sudah warga kampung terpaksa beradaptasi dengan kondisi tersebut, karena memang mereka tak memiliki akses ke sarana air bersih dan sanitasi yang bersih.
Sekitar 30 kilometer dari Sungai Ciwalengke, terdapat perkampungan berkontur lereng di sisi Sungai Cikapundung menampilkan suasana permukiman yang khas, yaitu Kampung 200 di Kelurahan Dago, Kecamatan Coblong, Kota Bandung. Dibanding dengan Ciwalengke, warga Kampung 200 masih memiliki akses ke sumber air bersih melalui sistem selang-selang air yang mengalir ke jamban MCK umum dan rumah-rumah. Airnya berasal dari sumber air bersih alami yang masih ada di DAS Cikapundung. Tapi entah untuk saluran pembuangan limbah rumah tangganya, apakah ditampung di septic tank atau mengalir ke Sungai Cikapundung.
Lebih ke hilir lagi di kawasan Tamansari, pipa-pipa pembuangan limbah rumah tangga semua mengarah ke Sungai Cikapundung, semua berjajar seperti moncong meriam. Dipastikan semua bagian belakang rumah (dapur dan wc atau kamar mandi) dan saluran buangan jamban MCK umum menghadap Sungai Cikapundung.
Pemerintah Kota Bandung mengklaim wilayah ini termasuk daerah Open Defecation Free (ODF) alias bebas buang air besar sembarangan secara langsung ke sungai. 61 persen wilayah kota alias 93 kelurahan dinyatakan telah ODF. Kota Bandung menjadi salah satu dari 27 kota kabupaten di Jawa Barat yang bebas BAB, bersama 5 daerah lain yang diklaim bebas buang air besar sembarangan.
Saat kampanye ODF itu, beberapa sukarelawan warga menggelar aksi bersih-bersih sampah memakai perahu karet. Setelah bersih, anak-anak dengan ceria beriver tubing pakai ban dalam bekas mobil. Meliuk di antara jeram-jeram kecil dan bebatuan. Kita tak tahu baku mutu air Cikapundung berwarna coklat dan berbau itu, yang jelas sejak dulu Cikapundung sudah tercemar berbagai macam bakteri dan jamur. Salah satunya bakteri e-coli, sumber penyakit penyebab infeksi pada saluran pernapasan, pencernaan, dan saluran kemih. Bakteri ini berasal dari kotoran ternak dan manusia yang dibuang ke sungai, termasuk dari pembusukan sampah dan bangkai.
Ada beberapa septic tank komunal yang telah dibangun di kawasan Tamansari. Namun bukan berarti badan sungai utamanya bebas limbah, karena jumlah rumah di permukiman sepanjang aliran Sungai Cikapundung berbanding lurus dengan moncong-moncong pipa paralon dari wc dan kamar mandi yang mengarah ke sungai. Memanjang dari hulu di Bandung utara sampai muaranya di Kabupaten Bandung. Jika di hulu limbah rumah tangga bercampur dengan kotoran ternak, di perkotaan sampai kabupaten Cikapundung digelontor limbah rumah tangga dan industri, termasuk kotoran manusia. Cikapundung merupakan salah satu sumber air baku untuk PDAM.
Masalah serius dari pencemaran sungai adalah mikroplastik. Menumpuknya timbunan sampah plastik di badan dan sempadan sungai lalu terdegradasi jadi partikel berukuran kurang dari 5 mm, seperti debu. Sampah mikroplastik berasal dari dari degradasi kain sintetik limbah rumah tangga, kantong kresek, tutup dan kemasan botol plastik, foam, dan lain-lain.
Dari data yang dilansir Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton), Sungai-sungai besar di Indonesia seperti Bengawan Solo, Brantas, dan Citarum, dan Ciliwung, tercemar mikroplastik. Sungai-sungai ini perannya vital, jadi sumber air baku untuk PDAM dan sumber irigasi pertanian penyuplai lebih dari 50 persen stok pangan nasional. Artinya, mikroplastik mengancam sungai dan rantai makanan di Indonesia. Akibat pencemaran mikroplastik di perairan, Ecoton juga menemukan 68 partikel mikroplastik per ikan di Sungai Citarum. Bahkan ditemukan di tinja manusia, paru-paru, darah, dan plasenta ibu hamil. Ecoton menguji 102 sampel tinja manusia di Jawa dan Bali.
Sumber mikroplastik berasal dari limbah industri tekstil, industri daur ulang plastik dan kertas, serta timbunan sampah plastik yang tak terkelola di daratan dan akhirnya dibuang ke sempadan dan badan sungai. Sama seperti Sungai Ciwalengke yang merupakan anak Sungai Citarum itu, limbah berupa kotoran manusia, industri, plastik, hewan mati, dan entah apa lagi, yang mencemari airnya dipakai untuk kebutuhan dasar manusia seperti mandi, mencuci, buang air.
Masih di bulan Maret, tumpukan sampah plastik dan sampah organik, tampak menumpuk di bagian hilir Sungai Ciganitri di Desa Lengkong, Kecamatan Bojongsoang, sebelum memasuki muaranya di Sungai Citarum. Sejumlah sukarelawan dari River Cleanup Indonesia dan Plastic Fischer sibuk mengangkat sampah yang dijebak memakai trash boom.
"Baru pertama ini ikut angkat sampah sama River Cleanup, tahu infonya dari temen, ternyata banyak banget sampahnya, banyak orang buang sampah ke sungai, di daerah saya mah nggak ada, sungainya masih bisa dipakai renang," kata Salma, mahasiswi Polban yang berasal dari Ciamis.
"Saya jadi sadar ya betapa pentingnya bawa sedotan sendiri yang berbahan logam, tadi pas angkat sampah benda sepele seperti sedotan plastik itu banyak banget," kata Widya.
Sampah plastik dan popopk bayi mendominasi jenis sampah yang diangkat. Baunya minta ampun, selain jenis sampah seperti plastik, styrofoam, dan diaper sekali pakai, yang dibuang langsung ke aliran sungai, tak terhitung juga jumlah bangkai hewan macam tikus, ayam, ular, dan sampah-sampah organik busuk lainnya.
Timbulan sampah di 163 kabupaten kota se-Indonesia mencapai 19.305.946.91 ton per tahun (Data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2022). Jenis sampah terbesar didominasi sisa makanan dan berikutnya adalah sampah plastik.
Indonesia termasuk negara penghasil sampah plastik terbesar di dunia. Pemanfaatan sampah masih sangat kecil, sekitar 7,5 persen dari total sampah yang menumpuk setiap hari. Sisanya dibuang ke pembuangan akhir atau berakhir di sempadan dan badan sungai. Semuanya berakhir jadi limbah yang menurunkan kualitas mutu air.
Sadar akses air dan sanitasi bersih adalah tanggung jawab negara, Kementerian Kesehatan memiliki target Indonesia 100 persen akses air minum layak dan 15 persen akses air minum aman untuk rakyatnya dalam kurun waktu tahun 2020-2024. Indonesia berkomitmen untuk mendorong terwujudnya pencapaian target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) salah satunya yaitu “Mewujudkan Akses Air Minum dan Sanitasi Aman serta berkelanjutan Bagi Semua”.
Untuk itu pemerintah telah menyelaraskan target SDGs dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 yang mengamanatkan terwujudnya 90 persen akses sanitasi layak, termasuk di dalamnya 15 persen rumah tangga memiliki akses sanitasi aman, serta penurunan angka BABS hingga 0 persen pada akhir tahun 2024.
Upaya itu masih membutuhkan kerja ekstra keras. Ciwalengke dan Cikapundung, bersama puluhan anak sungai lainnya sebagai bagian dari sistem Sungai Citarum, masih berkutat dengan masalah yang sama setidaknya dalam dua dekade terakhir ini. Kualitas airnya masih buruk. Cerita warga yang memakai air selokan untuk sanitasi mereka bukan isapan jempol belaka.
"Kalau ke jamban mah cuma buat BAB saja, sedangkan mandi dan mencuci pakai air sumur di rumah," kata Ida (52 tahun), yang baru saja keluar dari jamban di sisi Sungai Ciwalengke. Sebaliknya, Atikah, wanita 56 tahun, penduduk Kampung 200 di sisi Cikapundung masih lebih beruntung, ia bersama warga lainnya membayar ledeng secara kolektif yang dialirkan ke rumah-rumah. "Jamban ada di rumah, nggak perlu ke sungai," katanya. Saluran jamban-jamban tersebut tetap mengalir langsung ke Cikapundung.
"Beberapa tahun lalu kan sempat ada pompa bantuan, tapi sudah tidak dipakai karena sumur-sumur warga yang lain jadi kering, jadinya ya nggak dipakai lagi, entah ke mana itu semua fasilitas setelah tak lagi digunakan, jadi kami pakai lagi air di MCK yang kotor,” ucap Ida.
Warga Ciwalengke lainnya, Nuy (57 tahun) menjelaskan di rumah kontrakannya ada fasilitas pompa. Namun kualitas airnya kotor terutama saat musim hujan.
“Kita dikutip 20.000 sebulan per kontrakan untuk bayar listrik pompa air. Untuk kebutuhan minum, cuci beras, dan masak, pakai air galon, ke MCK hanya mandi, nyuci, dan buang air," kata Nuy. Ada 18 rumah petak berderet di lingkungan tesebut di antara ratusan rumah penduduk lainnya.
Warga lainnya lagi, Ema, tengah mencuci perkakas dapur usai mencuci beras di dekat rumahnya, 5 meter dari jamban MCK. Perempuan 48 tahun ini nyaris seumur hidupnya terpaksa beradaptasi dengan akses air yang buruk. Penyakit gatal baginya sudah biasa.
Manusia sangat tergantung pada air dan sungai. Alam telah memberikan cintanya kepada manusia. Namun cinta itu berbalas tuba dengan masih maraknya pembuangan limbah ke sungai. Ironisnya di Hari Air Sedunia yang jatuh 22 Maret, kita seakan menanti bala akibat perbuatan yang tak menghormati alam.
Foto dan Teks: Prima Mulia
COMMENTS