• Berita
  • Masalah Air Bersih yang Menjadi Keluhan Berulang Masyarakat Bandung

Masalah Air Bersih yang Menjadi Keluhan Berulang Masyarakat Bandung

Layanan penyediaan air bersih menjadi persoalan yang terus menerus berulang di Bandung. Masih berputar pada area cakupan layanan PDAM yang tidak merata.

Eni (46) mencuci pakaiannya di bangunan MCK yang ada di kawasan Gedong Cai Cibadak, Rabu (8/12/21). Walaupun keluarganya menggunakan layanan PDAM di rumah, untuk mengurangi tagihan penggunaan air bulanan, dia dan beberapa warga lain memanfaatkan bangunan ini.

Penulis Emi La Palau22 Februari 2023


BandungBergerak.id – Persoalan yang muncul akibat minimnya pasokan air bersih yang dibutuhkan masyarakat menjadi keluhan berulang yang terus menerus diterima Ombudsman RI perwakilan Jawa Barat. Di antaranya keluhan mengenai layanan air PDAM mulai dari air yang berhenti mengalir, volumenya yang kecil, hingga hanya mengalir di waktu tertentu saja. Pengaduan masyarakat tersebut terus berulang.

Tak hanya itu, masalah pasokan air bersih menjadi rutinitas yang merepotkan bagi  yang tidak bisa mengakses layanan air dari PDAM. Akhirnya mereka mesti membeli air secara mandiri ke tetangga, atau ke tempat penyedia air bersih untuk mencuci, memasak, mandi dan urusan-urusan lain yang berhubungan dengan air.

Nani Eutik, 56 tahun, warga RT 07 RW 05 Jamika Kota Bandung, misalnya, mesti memenuhi  kebutuhan air bersih yang dibutuhkan keluarganya dengan membelinya dari penjual air di RT10. Setiap hari ia harus mendapatkan air setara 5 jerigen yang masing-masing berukuran 20 liter. Pagi hari setiap pukul 6.30 WIB, ia harus sudah berangkat ke tempat penjual air untuk membeli air. Ia harus merogoh kocek Rp 4 ribu untuk mendapatkan 5 jerigen air. Tak hanya itu, ia harus membawa sendiri 5 jerigen air tersebut dengan meminjam roda gerobak dorong milik penjual air, yang tentu saja harus dikembalikannya lagi secepatnya.

Nani bisa saja mendapatkan air dari pihak RT yang menyediakan layanan air sibel untuk warga. Tapi untuk mengambil air di sana harus membayar Rp 5 ribu per jam. Karena sudah terbiasa membeli air, ia masih melanjutkan untuk membeli air secara mandiri.

Rutinitas tersebut ia lakukan setiap hari. Membeli dan mendorong sendiri roda gerobak untuk mengangkut air. Mau tak mau ia mesti melakukan hal itu untuk memenuhi kebutuhan air keluarganya.

 “Iya, masak, nyuci semuanya. Air minum pake itu juga, dimasak, tidak beli galon. Pernah kesulitan terlambat beli air habis, kesulitan beli lagi (di tempat lain), capek,” ungkapnya kepada Bandungbergerak.id ketika ditemui di Jamika, Selasa (21/2/2023).

Nani seorang ibu rumah tangga, suaminya bekerja sebagai pembuat jok motor dengan penghasilan Rp 450 ribu setiap minggu. Ia mesti pintar mengatur pengeluaran. Ia harus menyisihkan penghasilan suaminya tersebut untuk disimpan membayar kontrakan Rp 425 ribu per bulan, biaya listrik, dan juga untuk air. Khusus untuk air dalam sebulan ia harus sedia Rp 120 ribu dalam sebulan. Ia berharap agar bisa mengakses air dengan mudah dan murah. Apalagi dengan kondisi semua kebutuhan dapur yang meningkat, seperti beras dan lainnya.

Baca Juga: Menanti Car Free Day Digelar Lagi di Bandung
Menjelang Pemilu 2024, Pemilih Muda Bersuara
Orang Tua Siswa Minta Gubernur Jabar Batalkan Pemangkasan BOPD SMA dan SMK

Berharap Ada PDAM

Hal lain dirasakan oleh Neng, 42 tahun, warga RT 06 RW 10 Jamika. Hingga kini ia masih membeli air bersih untuk kebutuhan sehari-hari seperti mencuci, mandi. Khusus untuk air minum ia membeli air galon. Air bersih untuk kebutuhan sehari-hari diperoleh dengan memasang pipa saluran air dari tetangganya, per bulan ia mesti membayar Rp 150 ribu. Sementara untuk membeli air minum sebulan ia membeli sebanyak 6 galon isi ulang, yang masing-masingnya seharga Rp 5 ribu.

Pernah suatu waktu air dari tetangga mati, sehingga ia mesti membeli air dengan roda gerobak yang berisi lima jerigen. Untuk memenuhi kebutuhan air keluarganya dalam sehari itu ia membeli air yang diangkut dalam dua roda gerobak.

Neng sampai saat ini tidak dapat membeli air dari sibel yang dikelola oleh RT, karena mesti mengurus perpindahan pipa air yang memakan biaya Rp 600 ribu. Meski air dari sibel yang dikelola RT lebih murah, ia akhirnya tetap membeli air dari tetangga.

Di kawasan Jamika tempatnya tinggal pernah mendapat layanan air dari PDAM. Namun sudah lama air PDAM berhenti mengalir, sudah hitungan tahun. Ia berharap air PDAM bisa mengalir kembali di Jamika.

Adain lagi PDAM, adain lagi kayak dulu PDAM jadi murah, dulu ada tapi sekarang sudah tidak ada lagi, sudah dicabut semua. Pengennya kayak dulu, air bersih jadi ga mahal, bisa diminum,” ujar Neng.

Imas, warga Jamika, juga mengungkapkan hal yang sama. Sudah lama sekali air PDAM tak mengalir. Ia ingat sejak ia memiliki anak pertama pada tahun 1990an, bersamaan dengan pembangunan Jalan Jamika, air PDAM terputus. Kini untuk kebutuhan kesehariannya ia membeli air dari sibel yang dikelola dari RT dengan membayar Rp 5 ribu per jam. Seminggu ia bisa menggunakan sebanyak tiga kali, atau tiga jam. Sebulan 12 kali. Namun, untuk kebutuhan minum, ia mesti membeli air dari roda di tetangga lainnya.

“Harusnya air tetap ada, ngocor terus gak ada halangan, jadi gak susah buat mandi buat apa. Kadang-kadang rusak karena mesin, kadang sehari gak ngocor. Kalo gak ngocor beli di gerobak itu. Kalau gak ngocor,” keluh Imas.

Ombudsman Jabar Soroti Krisis Air di Bandung

Berkenaan dengan keluhan mengenai air di Kota Bandung, Ombudsman RI perwakilan Jabar beberapa kali menerima laporan berulang mengenai keluhan warga terkait air PDAM. Keluhannya air tak mengalir dengan lancar, dan persoalan krisis air lainnya.

Kepala Keasistenan Pencegahan Maladministrasi Ombudsman RI perwakilan Jabar Noer Adhe Purnama mengatakan bahwa pengaduan terkait layanan air bersih yang diterima lembaganya meski jumlahnya secara kuantitas tak sebanyak pengguna PDAM dan masyarakat Kota Bandung, namun terus menerus berulang. Ombudsman kemudian mendiskusikan masalah tersebut dengan berbagai pihak. Di antaranya Dinas Lingkungan Kota Bandung, dan pihak PDAM Kota Bandung yakni Perumda Tirtawening.

Beberapa hal disoroti. Di antaranya permasalahan secara teknis yang dialami masyarakat seperti air yang tidak mengalir, kemudian jumlah tagihan yang harus dibayarkan warga membengkak yang tidak sesuai dengan pemakaian. Ombudsman mendorong agar Perumda Tirtawening  segera menindaklanjuti pengaduan dari masyarakat.

Noer mengatakan bahwa dari penjelasan yang diterima lembaganya ada ada banyak faktor penyebab permasalahan air yang dialami masyarakat. Di antaranya disebabkan kelangkaan air atau air tidak mengalir dengan baik karena distrik area meter yang belum menyeluruh berada di seluruh titik wilayah di Kota Bandung. PDAM sendiri hanya bertugas sebagai pengelola.

Hal ini menyebabkan aliran air untuk daerah-daerah yang berada di area kota dan dekat dengan fasilitas milik PDAM relatif berjalan dengan lancar, sementara area yang jauh seperti Bandung Timur, Bandung Utara, atau Bandung Selatan akan lebih banyak mengalami persoalan pendistribusian air.

“Karena kalau secara teknis kita juga tidak bisa memaksakan untuk PDAM secara jangka pendek menyelesaikan si krisis air ini. Kan persoalannya tidak segampang itu ternyata, dan tidak sesimpel itu. Jadi memang kompleks, butuh anggaran yang cukup,” ujar Noel lewat sambungan telepon.

Beberapa hal yang coba didorong oleh Ombudsman. Di antaranya mendorong Perumda Tirtawening menyosialisasikan sarana prasarana kanal pengaduan serta alur mekanisme penyelesaiannya.

“Lebih menyosialisasikan lagi alur mekanisme ketika masyarakat menyampaikan pengaduan,” ujar Noer.

Terpisah, Dirut Perumda Tirtawening Sonny Salimi dalam keterangannya pada Ombudsman menjelaskan bahwa hingga kini, kemampuan suplai air bersih di Kota Bandung belum bertambah sejak tahun 1990. Saat ini kemampuan suplai Perumda Tirtawening sekitar 2.400 liter per detik, sementara kebutuhan idealnya 6.000 liter per detik. Hal ini menjadi salah satu faktor yang menghambat pelayanan penyediaan air bersih.

Di sisi lain, kawasan cekungan Bandung dalam 2-3 tahun terakhir mengalami kemarau basah sehingga ketersediaan air baku menurun kendati dirasa masih cukup. Untuk mengatasi hal tersebut Perumda Tirtawening sedang giat membangun Distric Meter Area (DMA). Wilayah pelayanan akan diklasifikasi melalui sekelompok pelanggan yang memiliki kontur dan sudut evaluasi tanah yang sama sehingga harapannya tidak lagi ditemukan banyak persoalan pendistribusian air dalam jangka panjang.

“Apabila terdapat masalah distrubusi air, Perumda Tirtawening akan memberikan kompensasi pada saat air tidak mengalir, yaitu kelompok masyarakat dapat menghubungi Perumda Tirtawening agar menyediakan mobil tangki air, yang dapat dimanfaatkan 10-15 pelanggan,” ujar Sonny, mengutip dari keterangan Ombudsman Jabar.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//