Orang Tua Siswa Minta Gubernur Jabar Batalkan Pemangkasan BOPD SMA dan SMK
Anggaran operasional sekolah atau BOPD SMA/SMK dikurangi 30 persen. Dari semula Rp 145 ribu per siswa per bulan menjadi Rp 95 ribu. Itu pun hanya untuk 7 bulan.
Penulis Emi La Palau16 Februari 2023
BandungBergerak.id – Puluhan orang tua siswa dan Forum Masyarakat Peduli Pendidikan (FMPP) menggelar aksi di depan kantor Gubernur Jawa Barat, Gedung Sate, Kota Bandung, pada Rabu (15/2/2023). Aksi tersebut menuntut gubernur mencabut kebijakan pemangkasan anggaran Biaya Operasional Pendidikan Daerah (BOPD) Jawa Barat. Hal ini akan berdampak pada pungutan iuran yang dibebankan kepada orang tua siswa.
Banyak dari orang tua siswa datang, sebagian dari mereka membawa anak-anak. Dalam unjuk rasa tersebut mereka melakukan aksi masak-masak di depan Gedung Sate. Mereka juga membawa poster beragam tuntutan.
Salah satu orang tua siswa, Sri (43 tahun) warga Kabupaten Bandung, yang anaknya masih duduk di bangku kelas 3 sekolah menengah pertama (SMP), merasa khawatir jika BOPD dipangkas akan berdampak pada biaya iuran pendidikan anaknya nanti ketika sudah masuk di jenjang sekolah menengah atas (SMA). Ia merasa perlu ikut dalam aksi tersebut.
“Pengennya ke depan kalau masuk SMA jangan ada biaya-biaya, negeri katanya gratis, tapi ada aja yang bayar. Kalau pengen di negeri gratis ya sudah gak ada pungli-pungli gitu,” ujar Sri pada BandungBergerak.id di sela aksi itu.
Hal sama disampaikan Rohayati (53 tahun), warga Bandung. Saat ini anaknya berada duduk di bangku Kelas 1 Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Ia berharap tidak ada pungutan apapun. Dengan pemangkasan anggaran BOPD, ia khawatir akan berdampak pada permintaan iuran dari sekolah.
Ketua Forum Masyarakat Peduli Pendidikan (FMPP) Illa Setiawati menyayangkan pemangkasan anggaran BOPD, dana tersebut dialihkan untuk pembangunan infrastruktur fisik. Seharusnya pembangunan infrastruktur fisik jangan mengambil dari dana pendidikan.
“Seharuasnya kalaupun ada pengalokasian anggaran itu tidak boleh dari anggaran pendidikan, karena pendidikan itu sifatnya sangat urgen ya, sangat krusial bagi masyarakat, sangat dibutuhkan oleh masyarakat, dan kalau saya pikir juga tidak dibenarkan memangkas anggaran sebegitu besar,” ujar Illa.
FMPP mendapati, anggaran BOPD yang awalnya Rp 1,5 triliun saat ini dipangkas sebesar 30 persen menjadi Rp 933 miliar. Awalnya dana tersebut dihitung setara Rp 1,5 juta per siswa per tahunnya, (Rp 145 ribu per siswa per bulan), kini hanya Rp 1,1 juta per siswa per tahun (Rp 95 ribu per siswa per bulan). Itu pun dianggarkan hanya sampai 7 bulan.
Baca Juga: Aksi Solidaritas Koalisi Masyarakat Sipil Bandung Mendesak DPR Segera Sahkan RUU PPRT
Tahapan Pemilu 2024, dari Pemutakhiran Data Calon Pemilih hingga Hari Pemungutan Suara 14 Februari
Menghitung Kerugian Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan karena Kemacetan di Kota Bandung
Kelompok Penyanyi Jalanan Menuntut Pemerintah Kota Bandung Hentikan Razia
Akan Berdampak pada Iuaran bagi Orang Tua Siswa
Illa khawatir pemangkasan anggaran BPOD tersebut akan berdampak pada orang tua siswa. Saat ini sebelum dipangkas saja sudah ada biaya iuran yang dibebankan bagi orang tua. Meski sumbangan tidak ditentukan nominalnya namun ternyata masih ada patokan nominal sebesar Rp 2 juta per siswa.Hal ini memberatkan orang tua siswa yang tidak mampu.
“Nah apalagi kalau BOPD dipangkas, kan itu sudah jelas anggaran sekolah itu dibebankan melalui gotong royong orang tua siswa, tentunya siswa miskin pun akan terkena imbas dari itu,” ujar Illa.
Pemangkasan anggaran BOPD tersebut otomatis akan mengurangi anggaran sekolah sehingga kebutuhan sekolah akan dibebankan pada orang tua siswa. Jika ada slogan Jabar Juara, maka Pemprov Jabar semestinya memberikan fasilitas yang lebih dengan memberikan kenyamanan pada masyarakat agar bisa bersekolah dengan dibebaskan biayanya, terutama bagi masyarakat yang tidak mampu. Jika seperti ini, bagaimana masyarakat mau mendapatkan pendidikan yang layak dan berprestasi kalau mesti memikirkan biaya dan anggaran pendidikan dan mesti berhitung dengan iauran sekolah yang dibebankan kepada orang tua siswa.
“Makanya kita juga jangan salahkan kalau ada anak yang putus sekolah, kalau ada anak yang pengamen, sekarang itu sudah marak ya seperti begal, terus anak-anak geng motor kayak gitu,” ujar Illa.
“Harapan saya semoga gubernur Jabar bisa membuka hatinya, kalau diberikan hidayah mungkin terlalu ekstrim ya, dapat membuka hatinya untuk masyarakat di bidang pendidikan.”
Illa mengatakan jika terjadi pemangkasan anggaran pendidikan seharusnya gubernur Jabar memperhitungkan dampak persoalannya kepada masyarakat. Kalau anggaran pendidikan dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur fisik seperti tempat wisata, berarti mengarahkan masyarakat untuk tidak bersekolah. Ia berharap agar Gubernur Jawa Barat mengembalikan anggaran BOPD.
“Tidak minta ditambah tapi jangan sampai dipangkas.”