• Berita
  • Menghitung Kerugian Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan karena Kemacetan di Kota Bandung

Menghitung Kerugian Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan karena Kemacetan di Kota Bandung

Simpang Soekarno Hatta-Jalan Ibrahim Adjie (Kiaracondong) atau lampu merah Samsat dinilai sudah jenuh. Kemacetan kerap terjadi karena tingginya jumlah kendaraan.

Polisi melakukan pengaturan lalu lintas di Jalan Soekarno Hatta Bundaran Cibiru, Kota Bandung, Selasa (6/7/2021). (Foto Ilustrasi: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana12 Februari 2023


BandungBergerak.idMeningkatnya volume kendaraan pribadi membuat sejumlah jalan di Kota Bandung telah mencapai titik jenuh. Akhirnya, jalan di kota kembang mudah sekali dilanda kemacetan. Upaya mengurai kemacetan sudah ditempuh, tetapi belum menyentuh akar persoalan.

Salah satu jalan yang sudah jenuh di Kota Bandung adalah simpang Soekarno Hatta-Jalan Ibrahim Adjie atau lampu merah Samsat. Per tiga jam antara pukul 06.00-09.00 WIB, jumlah kendaraan dari arah timur menuju utara di simpang ini mencapai 28.900 kendaraan. Sedangkan dari timur ke barat sebanyak 22.792 kendaraan.

Jika dilihat dari siklus lampu lalu lintas per 180 detik, hanya 550 kendaraan saja yang bisa dialirkan simpang Samsat. Tak heran jika kawasan ini kerap dilanda kemacetan. Simpang Samsat sendiri merupakan titik temu bagi pengendara motor dari arah Bandung timur dan Bandung selatan menuju ke Bandung kota.

"Simpang itu sudah sangat jenuh. Tingkat kejenuhan jalan simpang Samsat sudah ada pada level F atau paling rendah. Solusinya kita lakukan intervensi," kata Kepala Bidang Lalu Lintas dan Perlengkapan Jalan Dishub Kota Bandung Khairur Rijal, dikutip dari siaran pers, Selasa (9/2/2023).

Untuk mengatasi kemacetan yang kerap melanda lampu merah Sampat, Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Bandung telah manajemen waktu lewat petugas Area Traffic Management System (ATCS). Sederhananya, manajemen waktu ini berupa pemberian waktu lampu hijau lebih lama pada simpang tertentu yang mengalami kepadatan lalu lintas. 

Khairur Rijal menjelaskan, lampu merah simpang Samsat dalam satu siklus terdiri dari 420 detik, dengan rincian dari arah timur 180 detik, selatan 50 detik, barat 75 detik, dan utara 80 detik.

“Namun, apabila terjadi antrean di kaki simpang tertentu, kami bisa berikan prioritas lebih waktu hijaunya agar terurai panjang antreannya,” ujar Khairur Rijal.

Manajemen waktu lalu lintas sebenarnya tidak akan berdampak besar tanpa menyentuh akar persoalannya, yaitu mengurangi penggunaan kendaraan pribadi dan mengalihkan pengguna jalan untuk memakai transportasi publik. 

"Macet sumbangsih terbesar dari kendaraan pribadi. Untuk itu kami mengimbau masyarakat untuk menggunakan transportasi umum seperti TMB, angkot dan transportasi publik lainnya," kata dia.

Namun masyarakat yang memilih kendaraan pribadi daripada transportasi umum bukan tanpa alasan. Mereka tentu ingin beralih ke transportasi publik jika sarana dan prasarananya tersedia, aman, nyaman, dan murah. Sarana dan prasarana inilah yang belum ada di Kota Bandung.

Kerugian karena Kemacetan

Kemacetan lalu lintas di Kota Bandung dikhawatirkan akan semakin parah jika tidak ada upaya agresif membenahi transportasi publik. Kemacetan yang lestari menjadi kerugian yang ditanggung masyarakat setiap harinya. 

Sebagai gambaran, untuk melihat kerugian warga akibat kemacetan, kita bisa menyimak uraian Rinaldy Akhmad Herawan dan Ria Haryatiningsih dalam jurnal Bandung Conference Series: Economics Studies: Dampak Kemacetan di Kota Bandung Bagi Pengguna Jalan (Prodi Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Islam Bandung).

Bandung pernah menyandang kota paling macet di Indonesia. Asia Development Bank (ADB) bahkan menyebut kemacetan di Kota Bandung mengalahkan kota besar seperti Surabaya dan Jakarta. Hal ini diakibatkan oleh banyaknya kendaraan bermotor di Kota Bandung yang hampir setiap tahunnya meningkat.

“Kerugian akibat dari kemacetan di Kota Bandung hingga 2019 mencapai angka 4 triliun rupiah hal ini disebabkan oleh meningkatnya jumlah kendaraan pribadi yang signifikan,” tulis Rinaldy Akhmad Herawan dan Ria Haryatiningsih, dikutip Minggu (12/2/2023).

Kedua penulis tersebut menghimpun 100 responden pengguna kendaraan yang melewati gerbang tol Pasteur. Dalam sehari, gerbang tol Paster dilalui sebanyak 61.000 pengendara.

Penulis membagi kerugian pengguna jalan ke dalam tiga jenis, yakni kerugian sosial, ekonomi, dan lingkungan. Kerugian sosial yaitu, pengendara yang terjebak kemacetan sering mengalami kelelahan yang diakibatkan berdiam di jalan terlalu lama. Pengguna jalan mengalami kehilangan fokus dan konsentrasi dalam berkendara. Pengguna jalan juga mengalami stres akibat kemacetan.

“Kinerja pengendara angkutan pribadi menjadi lebih berat saat berada dalam kemacetan karena mereka harus menginjak gas dan mengerem lebih sering. Selain membuat perjalanan lebih lama dibandingkan dengan kondisi normal, kemacetan juga membuat badan lelah dan berdampak pada emosi pengguna jalan sehingga ada dari mereka yang menggerutu, kesal, marah dan akhirnya stress,” papar Rinaldy dan Ria.

Pengguna jalan yang terjebak kemacetan di sektiran gerbang tol Pasteur setiap harinya mengalami pemborosan waktu. Kemacetan yang dialami pengguna jalan paling lama selama 420 menit.

Baca Juga: Ketidakadilan Pembagian Waktu pada Lampu Merah di Kota Bandung
Kemacetan Menciptakan Budaya Ngaret Kolektif, sebuah Kerugian bagi Warga Bandung
Kota Kembang Lautan Kendaraan Pribadi

Dalam situasi tidak macet, pengguna jalan di sekitar gerbang tol Pasteur rata-rata menghabiskan 129,97 menit per sekali tempuh. Namun apabila terjebak kemacetan waktu tempuh tersebut meningkat menjadi 220,55 menit per mobil.

Dari segi ekonomi, dampak kemacetan lalu lintas ini berdampak terhadap bertambahnya biaya yang harus dikeluarkan oleh pengendara/pengemudi dalam membeli bahan bakar minyak.

Kendaraan yang melaju pada lalu lintas normal, tidak terjebak kemacetan, biasanya mengkonsumsi BBM sesuai dengan efisiensi mesin kendaraan dalam mengkonsumsi BBM. 

Jenis BBM yang paling banyak dipakai yaitu pertalite dengan rata-rata kerugian sebesar 28.535 rupiah per orang, jenis BBM pertamax memiliki kerugian sebesar 40.500 rupiah per orang, pengguna solar meiliki kerugian sebanyak 42.075 rupiah per orang.

Hasil perhitungan pengeluaran pengguna kendaraan roda empat untuk pembelian BBM dengan rumus perhitungan rata-rata, dalam kondisi lalu lintas normal didapat sebesar 11,33 liter per hari untuk kendaraan dengan jenis BBM pertalite, 11,28 dengan jenis BBM pertamax, 25,25 liter dengan jenis BBM solar.

Namun apabila terjebak kemacetan maka pengeluaran tersebut meningkat menjadi 15.06 liter untuk pertamax, 15,7 liter untuk pertalite, 30,25 liter untuk solar. 

Dampak lingkungan yang muncul dari kemacetan adalah meningkatnya polusi dari kendaraan yang terjebak macet, serta meningkatnya konsumsi BBM.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//