Kemacetan dan Krisis Lingkungan di Balik Pembangunan Tol Gedebage (Cigatas)
Pembangunan Tol Gedebage mesti memerhatikan aspek lingkungan, ekonomi rakyat kecil, dan dampaknya pada penggunaan kendaraan pribadi.
Penulis Emi La Palau11 Januari 2022
BandungBergerak.id - Pembangunan di Kecamatan Gedebage, Kota Bandung, kembali menjadi pusat perhatian dengan hadirnya rencana pemerintah untuk membangun Tol Gedebage, Tasikmalaya, Cilacap atau Cigatas (Cilacap, Gedebage, Tasikmalaya). Tol sepanjang 206,65 kilometer yang menghubungkan Kota Bandung dengan Priangan Timur hingga Jawa Tengah ini ditargetkan selesai dibangun 2024 dengan dana mencapai 56 triliun rupiah.
Rencana pembangunan di Kecamatan Gedebage bukan hal baru. Sebelumnya, sejak era Wali Kota Bandung Dada Rosada hingga Ridwan Kamil, Gedebage sempat digadang-gadang menjadi pusat pertumbuhan baru bagi Kota Bandung yang sudah padat dan sesak alias heurin ku tangtung.
Gedebage memiliki ruang terbuka hijau paling luas berupa persawahan dan ladang-ladang. Total luas lahan Gedebage 978 hektare, sekaligus kecamatan terluas di Kota Bandung.
Wacana pembangunan Bandung Teknopolis di Gedebage sempat dilontarkan di era Wali Kota Ridwan Kamil. Bahkan Bandung Teknopolis masuk dokumen Rencana Detail Tata Ruang dan Kawasan (RDTRK). Melalui konsep ini, Gedebage diangankan sebagai kawasan digital atau semacam mini smart city-nya Kota Bandung.
Meski demikian, kini Bandung Teknopolis tinggal nama. Dari luas 800 hektar rencana lahan Bandung Teknopolis di Gedebage, sekitar 300 hektarenya adalah milik pengembang. Dan kini yang tampak jelas di Gedebage adalah bisnis properti.
Kali ini, rencana pembangunan Gedebage datang dari pusat melalui pembangunan jalan tol oleh Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Dalam situs resminya, Kementerian PUPR menyatakan Tol Gedebage akan memiliki 10 simpang susun. Tol akan memiliki dua jalur, dengan masing-masing 2 lajur.
“Pembangunan jalan tol ini bertujuan untuk menghubungkan Jawa Barat dengan Jawa Tengah serta mendukung pariwisata di Jawa Barat dan Jawa Tengah,” demikian Kementerian PUPR, diakses Selasa (11/1/2022). Disebutkan bahwa potensi keuntungan (Net Present Value/NPV) proyek ini senilai USD 139.28 juta, dengan masa konsesi 40 tahun.
Pakar Transportasi dari Institut Tekonologi Bandung (ITB), Sony Sulaksono mengungkapkan beberapa nilai strategis yang dihadapkan muncul dengan pembangunan ruas tol Gedebage (Cigatas) ini baik untuk Kota Bandung maupun Jawa Barat. Contohnya, akses ke Pangandaran atau wilayah Priangan Timur (Jabar Selatan) menjadi lebih mudah. Jabar selatan merupakan wilayah yang mengandalkan objek wisata alam.
“Kita lihat dari sisi kebermanfaatannya ini akan menunjang wisata, lalu aktivitas pergerakan orang dan barang dari dan ke Kota Bandung, lebih mudah,” ungkap Sony Sulaksono, kepada Bandungbergerak.id, melalui sambungan telepon, Senin (10/1/2022).
Namun, Sony mengingatkan pembangunan Cigatas harus berkaca pada pembangunan Tol Trans Jawa (Cipali) yang menghubungkan beberapa titik dari kawasan Pantura, hingga Jawa Tengah dan Jawa Timur. Menurutnya, Tol Trans Jawa tidak laku karena sejak awal tol ini dibangun untuk menyelesaikan masalah kemacetan mudik lebaran. Targetnya langsung ke kota-kota tujuan mudik, akibatnya di luar waktu mudik atau long weekend, tol tersebut sepi.
Tol Jawa dinilai tidak menghubungkan langsung ke pusat-pusat ekonomi. Selain itu, tarif Tol Jawa relatif mahal, dan ini sering dikeluhkan pengguna tol. Sony berharap pengalaman membangun Tol Jawa menjadi pelajaran dalam membangun Tol Gedebage.
“Artinya pembangungan Tol Cigatas itu memperhatikan terhadap akses pusat pariwisata, akses pusat industri, dan jangan terlalu mahal. Karena kalau mahal orang tdak mau menggunakan,” ungkapnya.
Baca Juga: Lima Poin Kunci Pengelolaan Stadion GBLA Gedebage
Pasar Gedebage: Pasar Tradisional yang Digandrungi Milenial
Data Populasi Burung Blekok Sawah dan Kuntul Kerbau di Rancabayawak, Gedebage, Kota Bandung 2011
Bandung akan Semakin Macet
Salah satu fungsi Tol Cigatas ialah membuka pintu masuk dari dan ke Bandung timur. Menurut Sony, konsekuensi pembangunan tol ini akan mendorong penggunaan kendaraan pribadi. Artinya orang akan mudah ke Kota Bandung dengan membawa kendaraan pribadi. Maka Bandung yang sudah terkenal akan kemacetannya, diprediksi akan semakin parah lagi kemacetannya.
“Ini salah satu konsekuensinya, kita banyak membangun fasilitas jalan, maka penggunaan pribadi akan menjadi lebih tinggi. Sebenarnya kalau perjalanan antarkota tidak masalah, mau pakai pribadi atau kereta api, tetapi masuk ke kota kemacetan akan terjadi,” ungkapnya.
Mematikan Usaha Kecil
Konsekuensi pembangunan jalan baru seperti tol akan memengaruhi kehidupan ekonomi di jalur-jalur lama. Sebagai contoh, kata Sony, hadirnya tol dari Jakarta ke Bandung (Cipularang) berdampak pada usaha-usaha kecil seperti rumah makan dan lainnya di daerah Purwakarta. Maka pembangunan Tol Cigatas dihadapkan tidak mengesampingkan dampaknya pada usaha-usaha kecil ini.
Sony melihat, saat ini kehidupan ekonomi sudah tumbuh lama di jalur yang ada saat ini antara Gedebage, Tasikmalaya, sampai Cilacap. Mulai dari rumah makan, perhotelan, cinderamata, dan usaha kecil lainnya. “Itu jangan sampai mati,” tandas Sony.
Apa Manfaat bagi Warga Gedebage?
Pembangunan di kecamatan Gedebage cukup masif belakangan ini. Mulai dari maraknya bisnis properti dengan harga selangit, kawasan kereta cepat, Stadion GBLA, dan kini Tol Cigatas. Pemerintah Kota Bandung tidak bisa membiarkan pertumbuhan itu terjadi secara alamiah, tanpa penataan yang matang. Penataan harus bertujuan pada meningkatnya kesejahteraan warga, khususnya warga Gedebage
“Jangan sampai masyarakat Gedebagenya tidak bisa mendapatkan manfaat apa-apa dengan adanya pertumbuhan yang luar biasa di sana,” ungkapnya.
Maraknya pembangunan akan membuat meroketnya harga tanah di Gedebage. Hal ini justru hanya menguntungkan bagi pihak tertentu, pengembang, misalnya. Sehingga warga Gedebage dikhawatirkan hanya menjadi penonton.
Sony menyarankan Pemkot Bandung agar segera menyusun rencana matang, seperti menghidupkan UMKM warga sekitar, dan usaha lainnya yang bersifat kerakyatan. Sehingga pembangunan jalan tol tidak hanya menguntungkan segelintir elite yang sudah berinvestasi besar di Gedebage.
Tugas pemerintah daerah, kata Sony, seperti pemerintah kota, kabupaten, dan provinsi adalah menjaga agar pembangunan mendatangkan manfaat kepada masyarakat sekitar.
Gedebage Kawasan Banjir
Gedebage merupakan kawasan terendah di cekungan Bandung. Tak heran jika daerah ini sudah lama menjadi langganan banjir. Massifnya pembangunan dikhawatirkan akan memperparah bencana banjir di Gedebage. Karena itu, pembangunan apa pun di Gedebage harus memerhatikan aspek lingkungan.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat, Meiki W Paendong mengungkapkan pemerintah tak boleh mengesampingkan aspek lingkungan yang akan timbul dari pembangunan tol Gedebage.
Meiki memprediksi luasan banjir di wilayah Gedebage akan semakin bertambah jika pembangunan tidak memerhatikan aspek lingkungan. Tak hanya itu, pembangunan jalan tol juga akan menambah persoalan polusi udara akibat tingginya penggunaan kendaraan pribadi.
“Sebenarnya polusi udara ini akan jangka panjang selama tol ini jadi, sama halnya juga dengan dampak banjir yang akan terjadi bila mana proyek ini mulai dan beroperasi. Belum lagi dampak lainnya itu akan menurunkan daya dukung dan daya tampung di Gedebage, karena banyak kawasan terbangun. Di situ itu efek dominonya,” ungkapnya Meiki W Paendong.
Perlu diketahui bahwa ruang terbuka hijau (RTH) Kota Bandung mengalami penyusutan luar biasa setiap tahunnya. Salah satu RTH yang menjadi andalan sebagai resapan air adalah persawahan terutama di kawasan Bandung timur, termasuk Gedebage.
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bandung dalam dokumen “Kota Bandung dalam Angka 2003-2018”, penyusutan luas lahan sawah berlangsung secara signfikan. Pada tahun 2003, Kota Bandung masih memiliki 2.104 hektare lahan sawah. Pada tahun 2017, luasnya tersisa 725 hektare. Artinya, dalam kurun 14 tahun terjadi pengurangan luas lahan sawah sebanyak 1.379 hektare. Atau, 98,5 hektare setiap tahunnya.
Bandung dengan sekitar 2,5 juta penduduknya, tentu membutuhkan pembangunan. Namun pembangunan ini tidak boleh dimaknai secara sempit, yakni pembangunan fisik (infrastruktur) belaka dengan mengorbankan lingkungan. Bandung juga membutuhkan pembangunan ruang terbuka hijau.