Pasar Gedebage: Pasar Tradisional yang Digandrungi Milenial
Tak banyak pasar tradisional yang punya pelanggan menyasar semua kalangan. Pasar Induk Gedebage salah satunya.
Penulis Emi La Palau27 Oktober 2021
BandungBergerak.id - Suara dari lagu-lagu Sunda mengusir keheningan di Pasar berGedebage yang sore itu tidak begitu ramai. Pandemi membuat sore hari di pasar itu semakin sepi. Begitu pula lapak Opan Sopandi (56) yang terlihat sepi. Opan dan dua karyawannya sibuk memilah pisang-pisang yang tertata di lantai kios.
Pasar Gedebage yang tak seramai biasanya, tak jarang membuat ratusan kilogram pisang dagangan Opan tak laku. Padahal harga pisang sudah dibanderol lebih murah. Dulu Rp 6-7 ribu, kini harganya turun menjadi Rp 4-5 ribu. Opan pun harus merelakan pisang-pisang yang lama tak laku berakhir di tempat pembuangan.
“Lagi jatuh pisang. Pengirimnya pada rugi semua sekarang. Di sini banyak yang kebuangnya, karena sepi. Sekarang mah jatuh pisan,” ujar Oden, April 2021.
Opan sudah berjualan pisang di Pasar Gedebage sejak pasar itu berdiri 30 tahun lalu. Pisang dagangannya dipasok dari daerah Palembang dan Lampung.
Sebelumnya Opan sempat berjualan pisang di Pasar Andir dan Pasar Ciroyom. Ia tergiur memindahkan usahanya ke Pasar Gede Bage karena lebih ramai. Tapi kini pandemi membalikkannya 180 derajat.
“Sekarang harga jatuh, jatuhnya jatuh pingsan sekarang, pokoknya tahun ini bukan jatuh lagi, jatuh pingsan,” ujar Opan.
Pasar Induk Gedebage berada di timur kota Bandung. Ada tiga pengeloa pasar di timur Bandung itu. Yakni Perusahaan Daerah (PD) Pasar, PT Ginanjar yang mengelola kawasan pasar tradisional, serta PT Javana Arta Perkasa yang mengelola kawasan Cimol.
Dulu Pasar Induk Gedebage merupakan pasar swasta milik PT Ginanjar Saputra. Perusahaan itu lalu menjual sebagian lahan pasar yang masih kosong pada pemerintah Kota Bandung. Lahan yang tersebut kemudian diserahkan pada pengelolaan PD Pasar. Dalam perkembangannya pedagang yang berjualan di pasar tradisional membeli kios pada PT Ginanjar. Tak jelas benar bagaimana pembagian pengelolaan pasar itu.
Nurodi, salah satu pedagang sayuran mengaku bingung dengan situasi pengelolaan pasar. Ketika pedagang telah membeli kios pada PT Ginanjar, pedagang juga ditagih retribusi oleh PD Pasar.
“Faktanya PD Pasar minta retribusi sedangkan keamanan dimintai oleh kelompok pengaman di sana. Nah sekarang siapa yang mengelola pasar induk Gedebage itu sebetulnya,” ujar Nurodi.
Tak dirasakan ada upaya serius untuk melakukan perbaikan dan pembenahan Pasar Gedebage.
“Harus pengelolaannya secara utuh kepada pemkot, atau memungkinkan dibeli semuanya saja oleh Pemkot, lalu direvitalisasi yang benar-benar menjadi pasar. Sekarang kan antar pasar induk atau pasar enceran tidak jelas statusnya,” ungkap Nurodi.
Saat ini terdapat sekitar 1.000-an ruang dagang di lahan PT Ginanjar. Sementara pedagang yang aktif sekitar 500-600 pedagang.
Dari Bencana ke Bencana
Pasar Induk Gedebage identik dengan banjir. Lokasi geografis pasar yang dulunya merupakan rawa-rawa, berada di daratan yang lebih rendah menjadi salah satu penyebab pasar itu diterjang banjir.
Pasar Gedebage juga berkali-kali terbakar. Tahun 2018 misalnya areal pasar tradisional yang dikelola PT Ginanjar terbakar. Ratusan kios milik pedagang hangus terbakar. Akibatnya, banyak yang terpaksa tutup sementara, ada juga yang akhirnya bangkrut.
“Kawan-kawan saya banyak yang habis, banyak sampai yang gak punya rumah, pedagang yang sejak awal jualan hancur,” ujar Opan.
Opan pernah merasakan keduanya. Kiosnya sempat menjadi korban si jago merah hingga merugi Rp 20 juta karena dagangannya hangus terbakar. Tapi kini lebih sering tergenang banjir.
Pasar Gedebage mulai sering kebanjiran sejak pembangunan di sekitaran pasar mulai marak pada tahun 2000. Banjir semakin sering terjadi saat hujan.
“Dulu sungai dalam, kalau sekarang sungainya jadi kecil, sungai di belakang pasar, pembuangannya hanya satu,” ujar Opan.
Opan berharap pemerintah mengatasi masalah ini agar para pedagang tak jadi korban.
Kepala Pasar Gedebage, Taufik Hendra mengatakan, pemerintah tengah menyelesaikan pembangunan kolam retensi untuk mengurangi banjir di sekitar pasar. Tidak hanya banjir, sampah juga tengah mendapat penanganan serius. Pasar Gedebage bisa menghasil 25 ton sampah per hari, kedua terbesar setelah Pasar Caringin.
“Jadi konsen Pemerintah itu mengurangi banjir, karena di sini itu terkenal tidak hujan saja suka banjir. Kita juga coba akan mengurangi dampak sampah dengan adanya Komunitas Bagot, Eco Enzim, kita merangkul komunitas,” ujar Taufik, awal Maret 2021.
Baca Juga: Pasar Kosambi: Terbakar lalu Dihantam Pandemi
Pasar Sarijadi: Renovasi Berujung Sepi
Pasar Cihapit: Dari Kamp Tawanan Jepang ke Pasar Rujukan
Pasar Cihaurgeulis: Revitalisasi di tengah Protes dan Tangis
Pasar Cicadas: Mereka yang Terlunta-lunta di Bahu Jalan
Geliat Penjualan Pakaian Bekas
Jangan lupa di dalam Pasar Induk Gedebage terdapat Pasar Cimol, kepanjangan dari Cibadak Mall. Area di dalam Pasar Gedebage ini khusus menjual pakaian bekas. Cibadak Mall dulu menjadi awal geliat perjualan baju bekas yang tumbuh subur di kawasan Cibadak, Kota Bandung.
Letak Pasar Cimol, berada di area Pasar Induk Gedebage, didirikan pada tahun 2008 dan mulai aktif pada 2010 lalu. Luas bangunan pasar 14.536 meter persegi. Dengan total ruang dagang di lantai dasar sebanyak 1.088 ruang dagang. Saat ini ada sebanyak 700 pedagang aktif. Sementara untuk lantai 1, sedang disiapkan sebanyak 200 ruang dagang.
Sejak awal pembangunan Pasar Cimol, Pemerintah Kota Bandung melibatkan pihak ketiga PT Javana Arta Perkasa. Saat ini, pengelolaannya dipegang oleh pihak ketiga dan Perusahaan Daerah (PD) Pasar Kota Bandung.
“Kita cuma pembayaran sewa sama penjualan kios, sama kita bantu pembayaran listrik, selebihnya kita tidak tahu, retribusi dan lainnya oleh PD Pasar, perawatannya juga, kita penjualan, membantu listrik itu saja,” ujar salah satu karyawan PT Javana Arta Perkasa, Pengkuh Wasis Saputro.
Salah seorang pedagang cimol, Agus (57), mengaku sudah tiga tahun memasarkan baju bekas itu. Dulu dia nyambi berjualan di siang hari, dan malamnya bekerja sebagai Satpam di salah satu komplek perumahan di kawasan Panyelekan, Ujung Berung. Bekerja sebagai Satpam sudah digelutinya selama 22 tahun.
Ia tertarik jualan cimor dari coba-coba setelah tahu dari anaknya. Menurut anaknya, potensi penjualan cimor baik. Karena kondisi fisiknya yang tak muda lagi, Agus akhirnya memutuskan untuk fokus berjualan baju bekas.
“Materi (penghasilan) agak mendingan ini, kalau (jualan) begini pagi datang sore pulang. Kalau security terus gak kuat fisiknya,” ujar Agus.
Dengan telaten, Agus mulai mengeluarkan satu persatu pakaian bekas dari dalam karung. Sambil memilah dan memisahkan, untuk memudahkan ia menggantung pakaian tersebut di lapaknya. Beragam baju-baju unik dengan kualitas baik tergatung. Di tiang pakaian tertera keterangan harga Rp 10 ribu rupiah.
Pagi menjelang siang, lapaknya masih nampak sepi. Baru terjual 10 potong sampai dengan pukul 11.30 WIB. Ia sempat mengeluhkan kondisi pandemi penjualan begitu turun. Namun, sedikitnya ia masih bisa pulang untuk membawa uang, meski terkadang hanya terjual 1 potong.
“Kalau dulu (penjualan) lebih satu dua karung sehari juga. Kalau dulu ramenya lumaya, sekarang aduh merosot,” ujarnya.
Digandrungi Banyak Kalangan
Wiwi (62) mulai tertarik berburu barang second sejak geliat penjualan pakaian bekas pada tahun 1995. Alasannya sederhana, kualitas barang original dengan harga miring, dan kualitas yang masih sangat bagus. Berbelanja baju bekas seperti seni, karena harus jeli mencari barang-barang branded.
“Modelnya lucu, kualitasnya bagus, dapat yang lucu dengan harga murah. Memang harus pintar-pintar (mencari), kayak seninya, ngerasain serunya. Ada kepuasan sendiri,” ujar Wiwi.
Tidak hanya Wiwi, banyak juga anak muda seperti Aprilinda (21) yang kepincut berburu pakaian bekas. Ia begitu bersemangat memilih baju-baju yang tertumpuk. Ia rela berpanas-panasan, berdesakan, dan kotor-kotoran ke Pasar Gedebage untuk berburu baju bekas.
“Murah, tapi dapat kualitasnya, yang awet. Gak takut jorok, udahnya (setelah pulang) langsung dicuci lagi. Pake air panas. Sering belanja di sini, murah fashionable,” ujar Aprilinda.
Tidak kalah, Dudi (50) jauh-jauh datang dari Jakarta khusus berbelanja di Pasar Cimol. Ia bahkan sudah akrab dengan banyak penjual di sana. Ia fasih melafalkan merek barang luar negeri. Mulai dari Nata Bene dari Italia, Epson Lauro, Liberton Cafali, Jojo, Armani, Ninos Ruti, Levis serta barang lainya. Sering ia dapati harganya Rp 10 ribuan untuk baju, dan celana Rp 50-70 ribu.
Dudi dulunya memang warga Bandung. Namun, saat ini ia bekerja di Jakarta. Hobi berburu baju bekas dimulainya saat masih tinggal di Bandung. Setelah pindah ke Jakarta, ia masih sering menyempatkan berbelanja pakaian saat pulang ke Bandung. Tidak heran jika ia begitu dekat dan kenal betul dengan para pedagang dan pasar Cimol.
“Suka banget milih-milihnya, dari pada ke mal mending ke sini, di sini katun seratus persen, walaupun second layak pakai,” ungkapnya.
Ia pernah membawa 200 potong pakaian cimol dan laku dibeli teman-teman sekantornya.