Pasar Kosambi: Terbakar lalu Dihantam Pandemi
Pasar Kosambi terbakar, nyaris bersamaan dengan bergantinya pengelola pasar. Pedagang menjerit menghadapi harga sewa yang tinggi, sambil bertahan melewati pandemi.
Penulis Emi La Palau27 Oktober 2021
BandungBergerak.id - Novi, bukan nama sebenarnya, masih mengingat bubungan asap tebal dari Pasar Kosambi yang terbakar, Sabtu, 17 Mei 2019 tepat di hari ke-13 bulan Ramadan. Malam itu, sekitar pukul delapan, ia baru selesai berbelanja di toko swalayan di Jalan Baranangsiang.
Novi tidak mengira, asap itu datang dari pasar. Ia coba mendekat. Seketika ia panik saat melihat asap itu memang datang dari basement Pasar Kosambi.
“Perasaan mah di belakang Pasar, terus ada asap. Akhirnya ngeliat ke sini (pasar),” ujar Novi (42), pada April 2021.
Kebakaran Pasar Kosambi malam itu melahap habis 178 jongko dan 35 kios. Hingga kini sebagian pedagang yang menjadi korban masih meyakini ada yang sengaja membakar pasar itu. Kabar yang beredar, ada kompan bensin yang ditemukan pedagang di dekat mobil pemadam kebakaran menguatkan tuduhan itu.
“Perasaan kita mah cuma satu dua jongko yang kena, tapi ternyata semuanya kena. Pas kebakaran itu ada bensin, jadi disengaja, ada kompan bensin kecium sama orang (pedagang lain). Di dekat mobil pemadam kebakaran,” ujar Novi.
Pusat Laboratorium Forensik pun turun tangan untuk menyelidiki penyebab kebakaran Pasar Kosambi. Namun hingga kini polisi belum mengumumkan hasil penyelidikan tersebut.
Lima kios milik Novi di area basement Pasar Kosambi habis terbakar malam itu. Seluruh dagangannya ludes. Padahal saat itu stok barang sedang banyak untuk persiapan menghadapi marema menjelang Lebaran. Ia menghitung kerugian yang dialami hampir Rp 600 juta. Pedagang lain diketahuinya ada yang merugi hingga Rp 1,2 miliar.
“Jadi kita numpuk barang, baru selesai belanja dan habis semuanya,” ujar Novi.
Eli Marlina (54), pedagang sayur di area basement Pasar Kosambi juga menjadi korban kebakaran. Malam itu ia mendengar kabar pasar yang terbakar dari sang adik yang berjualan buah-buahan. Ketika itu ia sedang di rumah. Seluruh stok sayurannya habis di lahap si jago merah.
“Habis banget waktu itu. Di bawah mah gak ada yang bisa diselamatin,” ujar Eli.
Sudah terhitung 20 tahun, Eli berjualan di Pasar Kosambi. Jongko miliknya yang dibeli dari tangan pertama itu memang telah habis masa pakai. Ia membeli dengan harga Rp 15 juta untuk masa pemakaian 20 tahun. Namun saat ini kebijakan baru mengharuskan ia membayar sewa jongko yang sama Rp 9 juta per tahun.
Kini baru dalam hitungan bulan para pedagang Pasar Kosambi mulai kembali berjualan. Pandemi datang menghantam. Para pedagang hanya bisa pasrah.
Kebakaran lalu Pandemi
Hal yang membuat sesak Novi, ketika kebakaran baru saja menimpa para pedagang, pemerintah seolah lepas tangan. Tidak ada sama sekali bantuan yang diberikan. Tempat jualan darurat di depan halaman Pasar Kosambi disediakan terbatas. Setiap pedagang hanya diberi tempat satu meter setengah untuk berjualan, ditambah bantuan meja yang diberikan yang tidak bisa digunakan karena ukurannya terlalu kecil. Para pedagang akhirnya harus membangun kembali kios darurat dengan merogoh kocek sendiri.
“Tidak ada bantuan sama sekali dari PD pasar. Pemerintah sama sekali tidak ada bantuan,” ujar Novi.
Hanya berjalan beberapa bulan berjualan di lapak darurat. Pada Januari 2020 pemerintah kemudian memaksa para pedagang berjualan di dalam pasar dengan biaya sewa yang lebih mahal. Pemerintah kota bersama PD Pasar mematok harga sewa Rp 25 juta per tahun.
Pada awal Maret 2020 gelombang pandemi Covid-19 mulai menghantam. Pandemi yang berkepanjangan membuat pendapatan pedagang pasar merosot sangat tajam.
Novi yang berjualan sudah hampir 20 tahun di pasar itu hanya bisa mengelus dada. Kenaikan biaya sewa kios di Pasar Kosambi pascakebakaran itu memberatkan. Harga sewa kios yang dibebankan tidak sesuai dengan fasilitas yang diberikan. Pedagang pun dipaksa membayar biaya sewa tanpa mendapat keringanan.
“Kalau kita pikirkan kita stres,” ujar Novi.
Novi hingga saat ini belum mampu membayar uang sewa kios. Kerugian yang diderita akibat kebakaran belum pulih, kini harus bertahan melewati pandemi.
“Sekarang bingung, kan pas kita masuk awal tahun beberapa bulan korona. Jadi kita mah udah dua kali kena, udah jatuh tertimpa tangga lagi kitanya. Gimana ngerinya,” ujar Novi.
Jeje Alamsayah (66), pedagang ikan basah, punya cerita yang hampir mirip. Ia memulai berjualan sejak bangunan gedung Pasar Kosambi belum berdiri. Ia menyaksikan banyak pedagang seangkatannya yang akhirnya gulung tikar akibat harga kebutuhan yang naik, modal yang makin mahal, serta uang sewa kios yang terus naik. Puncaknya adalah kebakaran di pasar, yang disuul pandemi.
“Enak dulu atuh jualan mah, sekarang barang-barang makin mahal bukan lebih besar labanya, malah masih kurang, masih tipis, susah jualan juga sampai sekarang. Yang bagus jualan di tahun 2007 ke belakang, ke sini mah parah. Dulu bisa 100 persen, sekarang tinggal 20 persen, apalagi korona, lebih-lebih jatuhnya. Sampai menjeritlah sekarang,” ujar Jeje.
Kebakaran Pasar Kosambi tidak hanya membuat membuat Jeje merugi karena dagangannya terbakar. Setelah peristiwa itu ia harus merogoh kocek dalam-dalam. Mulai dari membuat toko darurat di depan pasar, hingga membayar sewa kios yang makin mahal.
Dulu pedagang membayar sewa kios setiap 20 tahun sekali. Setelah perbaikan gedung pasar yang terbakar, uang sewa diminta untuk di bayar per tahun. Musababnya, hak guna pakai pengembang pasar sudah habis, praktis kepemilikan pasar kembali pada pemerintah Kota Bandung. Aturan ini baru dibebankan pada pedagang pasar yang berjualan di area basement Pasar Kosambi.
“Setahun bayar 5 juta, dalam kondisi sekarang, pedagang makin menjerit, hanya bisa pasrah sekarang. Kami minta kebijaksanaannya saja ke pemerintah, soal pembayaran per tahunnya, merasa keberatan, kami sudah sampaikan ke atas (kepala pasar), cuman Rp 500 ribu dipotong pembayaran, kalau saya dipotong Rp 400 ribu,” ujar Jeje.
Baca Juga: Pasar Cihapit: Dari Kamp Tawanan Jepang ke Pasar Rujukan
Pasar Cihaurgeulis: Revitalisasi di tengah Protes dan Tangis
Pasar Cicadas: Mereka yang Terlunta-lunta di Bahu Jalan
Pasar Sarijadi: Renovasi Berujung Sepi
Pasar Cicaheum: Antara Kebakaran Besar, Koperasi, dan Persib
Dari Pusat Oleh-oleh ke Ruang Ekspresi Kaum Muda
Pasar Kosambi menjadi salah satu pasar tradisional yang terkenal menjual aneka oleh-oleh khas Bandung dan seragam sekolah. Pasar yang terletak tepat di Jalan Ahmad Yani, Kelurahan Kebon Pisang, Kecamatan Sumur Bandung dibangun sekitar tahun 1990-an di atas lahan seluas 12 ribu meter persegi.
Bangunan pasar berupa gedung enam lantai dan satu basement dengan luas masing-masing lantai 8 ribu meter persegi. Bangunan pasar mulai digunakan sekitar tahun 1998-an.
Area basement Pasar Kosambi diperuntukkan sebagai tempat berjualan bahan baku makanan basah, seperti daging, ikan basah, sayur-mayur, serta aneka oleh-oleh khas Bandung. Lantai satu berisi deretan kios penjual makanan kering, produk fashion, dan seragam sekolah. Beberapa lantai di bagian atas dibiarkan kosong sejak pasar mulai beroperasi. Belakangan lantai 5 dan 6 dimanfaatkan untuk berbagai aktivitas olahraga seperti voli dan futsal.
Setahun sebelum Pasar Kosambi terbakar, tahun 2019, pengelola pasar tengah mengembangkan area lantai dua untuk anak-anak muda berkreasi. Area tersebut dikenal dengan sebulan The Hallway. Hingga saat ini baru 55 tenant mengisi lanta dua gedung Pasar Kosambi. Terdiri dari tenant produk fashion, food and beverage (FnB). Di lantai tiga pemerintah Kota Bandung menyimpan rencana untuk memanfaatkan lantai tiga gedung Pasar Kosambi sebagai Mall Pelayanan Publik (MPP).
“Lantai 4-nya belum ada rencana, tapi saya berharap juga dibentuk ekosistem baru, sistem perjualan yang lain. Untuk lantai 5 saat ini voli, lantai 6 futsal, saya berharap lantai 5-6 nya bisa jadi sport center,” ujar Septie Sahreza, Kepala Pasar Kosambi, awal Maret 2021.
Di dalam Pasar Kosambi tersedia 1.302 ruang dagang. Tapi karena kurang efektif, hanya 600 ruang dagang yang bisa dipergunakan. Itu pun masih banyak yang kosong. Bagian basement baru terisi 80 persennya pascakekabaran. Lantai satu terisi 60 persen. Lantai tiga dan empat dibiarkan kosong.
“Setengahnya 300-an pedagang (yang aktif), paling segitu,” ujar Septie.
Nongkrong di Pasar
Belakangan, Pasar Kosambi tidak hanya dikenal sebagai pasar yang menjajakan bahan baku, atau Oleh-Oleh khas Bandung saja, tetapi menjadi ruang para pemuda mengekspresikan berbagai kreativitas melalui beragam jualan yang kekinian, hallway.
Area Hallway yang menempati lantai dua menjadi area terbaru yang dikembangkan pengelola Pasar Kosambi. Area tersebut mulai dikembangkan tahun 2018. Bermula dari Dwi (29), Ribby (30), Bob (30), Galih (29) yang memberanikan mengisi 4 toko di area tersebut.
“Kalau konsep dari Hallway sendiri kita memanfaatkan ruang kosong yang sudah hampir 20 tahun mati, nah kita coba inisiasi buat dijadikan kreatif space dan ada perubahan,” ujar Dwi.
Mereka lalu mengajak kawan sebayanya untuk ikut mengisi. Gayung bersambut.
“Kita dulu ingin punya tempat intimate gigz, ternyata untuk di Hallway kondisi kurang memadai, akhirnya setelah itu, sebelumnya kita sudah bangun 4 toko, kita ajak teman-teman untuk buat satu ruang kreatif, dan akhirnya sampai sekarang,” ujar Dwi.
Belum setahun berjalan, terjadi peristiwa kebakaran di Pasar Kosambi. Tahun 2019 aktivitas di Hallway terhenti sekitar delapan bulan.
Saat ini sudah 52 tenant mengisi 70 ruangan yang tersedia di Hallway. Terdiri dari tenant produk fashion, FnB, dan kedai kopi. Tahap selanjutnya akan dibuka co-working space.
Dwi dan kawan-kawannya menyiapkan konsep Hallway yang dikemas dengan sebutan “Hidden Game”.
“Biasanya berekspektasi kalau di dalam pasar ada tempat nongkrong, ketika mereka lihat di depan tampilan rasa tradisional ketika ke dalam ada perubahan,” ujar Dwi.
Tahun 2019 terjadi kebakaran yang memaksa aktivitas mereka terhenti selama 8 bulan.