Pasar Cicadas: Mereka yang Terlunta-lunta di Bahu Jalan
Proyek revitalisasi justru membuat ratusan pedagang Pasar Cicadas tersingkir. Mereka bertahan hidup dengan berjualan di bahu dan trotoar jalan.
Penulis Emi La Palau27 Mei 2021
BandungBergerak.id - Subuh itu, sekitar pukul tiga, ketegangan menjalar ke sudut-sudut Pasar Cicadas. Listrik dimatikan, kegelapan menambah suasana kian mencekam. Aparat kepolisian, tentara, dan satuan pengamanan (satpam) berjaga di pintu masuk pasar. Pedagang dilarang masuk untuk berjualan.
Enny (49) harus segera mengemas barang-barang dagangannya. Dia tidak menyangka, hari itu, 1 Februari 2020, dia dan ratusan pedagang lain harus angkat kaki dari pasar yang sudah menjadi sandaran hidup sejak 2006 lalu. Pada akhir Februari 2020 itu, pasar yang terletak di lahan bekas Super Bazar (SB) Matahari itu harus benar-benar kosong.
“Waktu awal diacak-acak, ibu-ibu banyak yang menangis. (Pedagang) cuman disuruh kosongkan lahan, ga dikasih tahu mau dijadiin apa. Cuman disuruh kosong aja,” ungkap Enny kepada Bandungbergerak.id, Sabtu (10/4/2021). “Banyak yang gulung tikar, banyak yang stres. Kacau banget kondisinya, pada saat pertama dimatiin lampu.”
Kabar pengosongan lahan pasar sebelumnya memang telah sampai ke telinga para pedagang. Namun mereka mengira bakal masih ada kesempatan berjualan selama satu hingga dua bulan ke depan. Atau paling tidak sampai seusai lebaran.
Tanpa melawan, para pedagang mengosongkan gedung yang saat ini hanya digunakan sebagai tempat parkir. Kabarnya, lahan milik milik perusahaan swasta itu telah dijual karena masalah keuangan. Para pedagang pasar, yang jadi penyewa, tidak bisa berbuat banyak.
Imbas Revitalisasi
Pasar Cicadas dulunya berlokasi di lahan yang saat ini menjadi kompleks Bandung Trade Mall (BTM) di Jalan Ibrahim Adjie nomor 47, Bandung. Para pedagang perintis pasar ini adalah mereka yang dipindahkan dari Pasar Cikutra pada 1983. Inilah lokasi yang disebut sebagai Pasar Cicadas lama.
Pada tahun 2004 bergulir rencana revitalisasi Pasar Tradisional oleh Pemerintah Kota Bandung di bawah komando Wali Kota Dada Rosada. Akan dibangun gedung yang terdiri dari beberapa lantai di lahan seluas 20 ribu meter persegi. Pada tahun 2005, pembongkaran lapak-lapak pedagang mulai dilakukan. Para pedagang dipindahkan sementara ke lahan bekas Super Bazar (SB) Matahari. Janjinya, begitu gedung baru Pasar Cicadas tuntas dibangun, mereka akan ditempatkan di lantai dasar.
Namun, janji tinggal janji. Para pedagang jadinya ditempatkan di lantai basemen (basement) gedung empat lantai Bandung Trade Mall (BTM). Kondisinya jauh dari laik. Hujan yang berlangsung tidak berapa lama akan segera mengirimkan genangan air. Melihat itu, para pedagang memutuskan untuk menetap di gedung bekas Super Bazar (Matahari).
“Pembangunan mal atau pusat perbelanjaan tidak ada dalam peraturan daerah ketika itu. Gak tahu gimana kompromi dengan pimpinan daerah sampai terjadilah pembongkaran,” kata Sudarman, bendahara Koperasi Simpan Pinjam Sejahtera Mnadiri (KSP-SM) yang juga pernah menjabat koordinator pedagang Pasar Cicadas.
Ketika pembongkaran Pasar Cicadas lama dimulai, nasib sekitar 700-an pedagang terlunta-lunta. Lokasi baru untuk berjualan tak kunjung diperoleh, sementara mereka harus terus menghidupi keluarga. Modal mulai terkuras. Tidak sedikit pedagang masuk jeratan rentenir.
Itulah awal pendirian Koperasi Simpan Pinjam Sejahtera Mandiri (KSP-SM) Pasar Cicadas yang resmi berbadan hukum sejak 2009. Sebelumnya memang sudah ada koperasi pedagang, tapi pada 2008 ada oknum yang membawa kabur uang simpanan. Ludes sudah semua.
Butuh kerja ekstra keras pengurus koperasi baru untuk mengembalikan kepercayaan para pedagang kepada koperasi. Terus tumbuh, saat ini koperasi sudah memiliki 592 orang anggota.
Di Bahu Jalan
Hingga saat ini ratusan pedagang Pasar Cicadas tidak memiliki tempat untuk berjualan. Sebagian dari mereka bangkrut dan tidak sanggup lagi berjualan. Yang lain, dalam jumlah terbesar, bertahan hidup dengan mendirikan lapak-lapak darurat di persimpangan Jalan Cicadas dan sepanjang bahu Jalan Cikutra. Waktu berjualan mereka tak leluasa. Pada pukul 7 pagi, jalan harus sudah kembali bersih.
Belum lagi ulah sekelompok oknum yang rutin menagih uang. Besaran biaya sewa per meja mencapai Rp 4 juta. Masih ditambah tagihan karcis harian yang macam-macam nama dan peruntukannya. Mulai dari karcis kepemudaan, karcis keamanan, karcis kebersihan, dan lain-lainnya.
Beberapa pedagang Pasar Cicadas melanjutkan berjualan dengan menyewa toko di sepanjang jalan Cicadas. Enny, misalnya, menyewa sebuah toko dengan harga Rp 50 juta per tahun. Dana sebesar itu dia peroleh dengan menjual barang-barang berharga miliknya, juga menggadaikan dua buah gelang emas dan dua kalung milik anaknya.
Enny merupakan pedagang keringan yang sebelumnya berjualan di pinggir jalan. Ini tahun kedua dia menyewa toko. Sudah bulan Mei dan belum ada cukup tabungan yang bisa digunakan Enny untuk melunasi biaya sewa yang jatuh tempo bulan depan.
“Teman-teman saya sampai ada yang stres. (Mereka) masih punya utang, punya anak kecil. Banyak yang tidak kebagian tempat,” ungkapnya.
Enny juga mengaku sering menjadi korban oknum penagih uang. Dia didatangi untuk dimintai sumbangan harian atau bayaran sewa.
Baca Juga: Pasar Cihapit: Dari Kamp Tawanan Jepang ke Pasar Rujukan
Pasar Cikapundung: Besar berkat Inisiatif Pedagang
Pasar Cihaurgeulis: Revitalisasi di tengah Protes dan Tangis
Kewenangan Siapa?
Mencari jalan keluar atas ketidakjelasan nasib, perwakilan pedagang Pasar Cicadas dan pengurus koperasi sudah pernah beraudiensi dengan Wali Kota Bandung Oded M. Danial. Beberapa pejabat dinas terkait turut hadir.
Para pedagang mengingat, ketika itu sang wali kota memberikan mandat kepada pejabat Dinas Perdagangan dan Perindustrian (Disdagin) Kota Bandung untuk menyelesaikan persoalan pedagang Pasar Cicadas. Disdagin memiliki kewenangan mengelola BTM. Para pedagang disarankankan untuk berjualan di kompleks komersial itu. Lokasi yang tersedia adalah lantai basemen.
Tawaran ini lagi-lagi ditolak oleh para pedagang. Kondisi lantai basemen BTM dinilai sangat jauh dari laik. Bukan hanya sepi penjual, tapi juga berpotensi membahayakan para pedagang.
Tatti Mulyati, sekretaris koperasi, menyebut Perusahaan Daerah (PD) Pasar Bermartabat, yang turut hadir dalam pertemuan di Pendopo Kota Bandung itu, juga tidak memberikan solusi. Alasannya, pengelolaan Pasar Cicadas di lokasi bekas SB Matahari bukan menjadi kewenangan PD. Sementara itu, di kompleks BTM, PD Pasar punya kewenangan mengelola lantai basemen saja. Selebihnya merupakan kewenangan Disdagin.
Para pedagang Pasar Cicadas datang dengan sebuah usulan agar dibolehkan berjualan sementara di lahan Jaswita. Mereka siap berembuk tentang biaya sewa jika diharuskan membayar sewa. Sayangnya, lahan Jaswita adalah milik Pemerintah Provinsi Jawa Barat sehingga Pemerintah Kota Bandung tidak memiliki kewenangan pengelolaannya.
“Pedagang tidak boleh berdagang di pinggir jalan, apalagi di jalan raya, jalan utama. Kami mau di lahan Jaswita karena itu wilayah yang terdekat, tapi tersandungnya ini wilayahnya provinsi,” ungkap Tatti.
Dimintai konfirmasi, Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian (Disdagin) Kota Bandung Elly Wasliah mengungkapkan, pengelolaan para pedagang Pasar Cicadas bukan menjadi kewenangan Disdagin, tapi Dinas Koperasi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (KUKM) Kota Bandung.
Kepala Dinas KUKM Kota Bandung Atet Dedi, kepada BandungBergerak.id, menyatakan bahwa persoalan pedagang Cicadas merupakan kewenangan Disdagin. “Sejak 2019 (pedagang) sudah direlokasi ke BTM. Penyediaan infrastruktur pasar kewenangan PD Pasar dan Disdagin. Kami membantu satu tim dengan Disdagin,” ungkapnya.
BandungBergerak.id mengonfirmasi ulang Elly Wasliah, tapi belum memperoleh informasi tambahan. Permintaan wawancara juga sudah dikirimkan ke Direktur Utama PD Pasar Bermartabat Herry Hermawan, tapi pesan hanya dibaca tanpa terbalas.
Demikianlah nasib ratusan pedagang Pasar Cicadas. Sudah beberapa tahun ini mereka terlunta-lunta, dalam berbagai keterbatasan berusaha bertahan hidup, di bahu dan trotoar jalan.