Pasar Cikapundung: Besar berkat Inisiatif Pedagang

Pasar Cikapundung mulanya terkenal sebagai pusat jual-beli barang elektronik. Belakangan, pasar di jantung Kota Bandung ini kesohor sebagai surga barang antik.

Pengunjung melihat-lihat koleksi telepon lawas di salah satu kios Pasar Antik Cikapundung, Braga, Bandung, Rabu (17/3/2021). Buka sejak 2013, pasar di lantai 3 ini terkenal sebagai surga barang antik yang ramai dikunjungi orang dari berbagai daerah. (Foto: Arbi Ilhamsyah)

Penulis Emi La Palau14 April 2021


BandungBergerak.idSuatu hari menjelang sore, Ruby (73), pemilik Toko Cavalire, merasakan sebuah keanehan. Suara tangis samar-samar terdengar. Setelah ditelusuri, suara itu berasal dari sepasang patung antik Aborigin setinggi 1,5 meter yang belum lama dibelinya. Ia segera teringat, seorang teman yang jadi pemilik sebelumnya pun dibuat tidak nyaman oleh suara-suara yang keluar dari patung tersebut.  

Kajadian mistis seperti ini merupakan hal lumrah di lingkungan para pedagang barang antik. Selain patung Aborigin yang menangis itu, Ruby pernah memiliki lukisan antik Nyi Roro Kidul yang seringkali ia didapati mengikuti gerak-geriknya di dalam toko.

“Patung Aborigin suami-istri itu telanjang bulat. Cuman saya kan rajin (ibadah). Suaminya dipakein kopiah, istrinya dipakein juga baju. (Jadi) Suka nangis, mungkin (karena) sudah tidak betah,” ungkap Ruby kepada BandungBergerak.id, ditemui di Pasar Antik Cikapundung, Bandung, Jumat (12/3/2021).

Barang antik memang selalu membawa kejutan. Bukan hanya suara tangis dari patung atau lirikan mata sosok dalam lukisan, tapi juga keuntungan.

Di toko milik Ruby, barang-barang bagus tidak bertahan lama. Meski para pedagang memperolehnya dengan harga relatif murah, para kolektor tidak ragu untuk merogoh kocek dalam-dalam untuk memilki barang kesukaan mereka. Lukisan Nyi Roro Kidul yang diperoleh seharga kurang dari Rp 2 juta laku terjual Rp 15 juta.

Ruby, yang sebelumnya bekerja sebagai pedagang ban dan pelek di kawasan Braga, mengaku tidak banyak memahami seluk-beluk lukisan dan beberapa barang antik lainnya. Ia memutuskan terjun ke pekerjaan ini karena ia menyukainya. Meski sering mendapatkan keuntungan berlipat-lipat, tak jarang pula ia menjual barang antik koleksinya dengan harga lebih murah dibanding dengan pedagang lainnya.

“Kalau harga barang beginian (antik) kan tidak ada pasaran. Tidak kayak harga rokok. Seringnya saya tidak ambil untung besar. Biar cepet aja gitu, ntar untungnya mah yang sisa-sianya itu ajalah,” katanya.

Baca Juga: Pasar Cihaurgeulis: Revitalisasi di tengah Protes dan Tangis
Pasar Palasari: Razia Buku Kiri, Kebakaran, dan Mimpi Revitalisasi

Surga Barang Antik

Ruby merupakan satu dari ratusan pedagang barang antik yang menempati lantai 3 bangunan Cikapundung Elektronik Center (CEC), Pasar Cikapundung, di Jalan ABC, Kecamatan Braga. Dinamai Pasar Antik Cikapundung, inilah surga bagi para pemburu barang-barang tak biasa dengan harga relatif terjangkau. Di sana berderet lampu-lampu klasik, mesin ketik jadul, telepon-telepon khas tahun 1960 hingga 1970-an, barang-barang enamel semacam papan nama dari plat buatan Belanda, kamera molonog, keramik-keramik khas Jepang dan China, patung, lukisan-lukisan langka, serta beragam barang antik lainnya.

Pasar Antik Cikapundung dibuka sejak tahun 2012. Semuanya berawal dari inisiatif para pecinta barang antik di Bandung yang merasa perlu memiliki tempat jualan bersama. Mulanya ada 80 pedagang yang bergabung. Belakangan, jumlah ini terus bertambah menjadi 128 orang yang menempati 128 ruang dagang yang tersedia. Pada 6 Oktober 2013, pasar diresmikan oleh Wali Kota Bandung Ridwan Kamil.

Arianto Kuncono (58) merupakan salah satu perintis Pasar Antik Cikapundung. Ia sudah bergelut dengan dunia barang antik sejak tahun 1978. Sebelum memiliki sebuah galeri besar di Braga, Arianto berjualan di Dalem Kaum selama tujuh tahun, Terusan Jamika tujuh tahun, lalu Setiabudi empat tahun.

“Dari ngontrak ke ngontrak sebanyak empat kali, saya kepikiran bagaimana kalau saya merekrut pedagang antik di kota Bandung semua,” ucapnya.

Deddy Junaedi (60), salah seorang pengurus Pasar Antik Cikapundung, mengatakan, kehadiran para pedagang barang antik membuat lantai 3 gedung CEC yang sebelumnya kosong menjadi ramai pembeli. Para kolektor berdatangan dari berbagai kota. Bukan hanya Bandung dan kota-kota lain di Jawa Barat, tapi juga mancanegara.

“Orang-orang luar kota, dari Ciamis, Garut, Bogor, suka ngambil (barang antik) ke sini. Kolektor-kolektor dari Malaysia, Siangapura, Jepang, Cina, bahkan Amerika juga mencari barang antik di sini,” tuturnya.

Selain kolektor, Pasar Antik Cikapundung juga jadi langganan rumah-rumah produksi untuk keperluan artistik pembuatan film atau klip video. Jejen (48), pemilik Toko Cakra Antik yang banyak mengoleksi barang-barang mesin tik jadul, lampu-lampu jangkung jadul, rantang-rantang China jadul, serta telepon-telepon antik, sering kali menerima pesanan jenis ini.

“Kebetulan kemarin ada yang baru sewa untuk pembuatan klip video. Mereka sekiranya shooting-nya tidak lama mending sewa. Sekiranya lama, mungkin diperhiungkan dengan biaya sewa, lebih baik mereka beli,” ungkapnya.

Jejen mengoleksi banyak benda antik Cina karena pasarnya besar. Guci dan keramik paling sering dicari orang. Ia pun mempelajari betul bagaimana menilai kualitas benda-benda tersebut dengan cara menimba ilmu dan pengalaman para pedagang senior.

Arianto Kuncono (58), salah satu perintis Pasar Antik Cikapundung. (Foto: Emi La Palau)
Arianto Kuncono (58), salah satu perintis Pasar Antik Cikapundung. (Foto: Emi La Palau)

Berawal dari Koperasi

Pasar Cikapundung sejak dulu dikenal sebagai pasar tematik. Sebelum gedung tiga lantai berdiri, orang sudah mengenal pasar ini sebagai pusat loak elektronik. Para pedagang menjajakan barang-barang elektronik bekas di sepanjang teras Banceuy Permai. Ketika itu, sekitar tahun 1970-an, pasar masih berupa bedeng-bedeng kios tak permanen.  

Jika kebanyakan pasar tradisional dibangun menggunakan dana pemerintah, beda ceritanya dengan Pasar Cikapundung. Pasar ini lahir, tumbuh, dan besar berkat inisiatif para pedagang. Semua berawal dari pendirian Koperasi Himpunan Pedagang Pasar Cikapundung (Kohippci) pada 1982.

Beberapa tahun berselang, menggunakan dana tabungan kepemilikan kios di koperasi, pembangunan pasar tahap pertama dimulai di atas lahan pemerintah di Jalan ABC. Bangunan dua lantai di sisi timur memiliki 330 kios dagang, sementara di sisi barat dibangun gedung yang lebih sedikit daya tampungnya. Pada 1986, pasar diresmikan oleh Wali Kota Bandung Ateng Wahyudi.  

“Tidak ada kucuran dana dari pemerintah. (Dana pembangunan pasar) Murni dari tabungan kepemilikan kios pedagang melalui koperasi. Dan koperasinya sampai sekarang alhamdulillah masih berdiri,” kata Ketua Kohippci Aziz Sholeh.

Pasar Cikapundung yang kesohor dengan barang-barang elektroniknya ini terus membesar. Pada 1999, tidak lama setelah krisis moneter yang diikuti pergantian kekuasaan di Indonesia, pembangunan pasar tahap kedua dimulai. Sebanyak 36 ruang dagang ditambahkan di gedung di sisi barat.

Meski tergolong pasar tradisonal, Pasar Cikapundung terlihat berbeda dibandingkan pasar lainnya. Gedung-gedungnya berdiri kokoh meski bercak-bercak hitam lumut menandakan usianya yang semakin menua. Pengunjung yang memasuki kawasan pasar tidak akan menjumpai becek atau bau tak sedap.

Dua gedung yang dibangun di tahap pertama dan kedua memiliki peruntukkan berbeda. Di gedung yang terletak di sisi timur, lantai satunya ditempati para pedagang yang menjajakan barang-barang teknikal-mekanikal dan alat-alat pabrik, sementara lantai duanya diperuntukkan para pedagang barang elektronik, spare part, serta jasa reparasi.

Di gedung yang terletak di sisi barat, lantai dasarnya diperuntukkan para pedagang elektronik jadi, seperti televisi, kipas angin, dan pendingin udara, sementara lantai 2 ditempati pedagang yang menjajakan spare part dan piranti elektronik.

Pasar Cikapundung terus tumbuh membesar. Pada 2005, Koperasi Kohippci bekerja sama dengan pengembang membebaskan tanah swasta untuk mendirikan gedung Cikapundung Elektronik Center (CEC). Terdiri dari tiga lantai, gedung ini menyediakan 750 ruang dagang. Lantai pertama diperuntukkan pedagang mekanikal, lantai dua yang awalnya diperuntukkan pedagang barang elektronik telah bercampur dengan pedagang alat-alat lainnya, sementara lantai tiga digunakan oleh para pedagang barang antik.  

Saat ini pengelolaan Pasar Cikapundung terbagi dua. Gedung-gedung yang dibangun di tahap pertama dan kedua dikelola oleh pemerintah melalui PD Pasar Bermartabat sejak hak kelola koperasi berakhir pada 2007. Sementara itu, gedung CEC dikelola oleh pihak swasta dan pengembang.

Pandemi Covid-19 yang sudah setahun umurnya memukul juga para pedagang Pasar Cikapundung. Daya beli masyarakat melemah. Jumlah pengunjung anjlok akibat kebijakan penutupan jalan di pusat kota dan pembatasan kerumunan.

Jejen, pedagang barang antik, mengaku menderita penurunan omzet hingga 75 persen. Kisahnya adalah juga kisah pedagang lainnya.

Namun, di masa serbasulit seperti ini, solidaritas antarpedagang tidak luntur. Bentuknya kadang teramat sederhana, yakni dengan saling membeli barang jualan. Pedagang yang menerima pesanan barang yang tidak dipunyai, mengambilnya dari rekan pedagang.

Marketplace (pasar daring) tidak begitu membantu,” ujar Jejen. “Untuk bertahan, kami banyak mengandalkan media sosial masing-masing.” 

Editor: Redaksi

COMMENTS

//