Pasar Palasari: Razia Buku Kiri, Kebakaran, dan Mimpi Revitalisasi
Pasar Palasari, yang dikenal luas sebagai sentra buku Bandung, memiliki kisah hidup kaya warna. Dari musim razia buku, dua kali kebakaran besar, hingga kini pandemi.
Penulis Emi La Palau1 April 2021
BandungBergerak.id - Siang itu beberapa pedagang pasar saling berbisik dalam cemas. Berembus kabar adanya razia dan penyitaan buku-buku kiri. Tak sempat mengelak, apes menimpa Yedi Supriadi (57).
Satu kardus buku jualan Yeye, begitu Yedi akrab disapa, dirampas aparat. Ada 25 judul buku di dalamnya. Termasuk buku-buku langka karangan Pramoedya Ananta Toer dan DN Aidit. Terselip juga di sana buku tentang Sukarno dan Ali Sadikin.
“Banyak (buku) yang dirazia, banyak yang kena (angkut). Tapi kalau sekarang sudah bebas,” tutur pria yang akrab disapa Yeye, ketika ditemui di kiosnya di Pasar Palasari, Bandung, Kamis (11/3/2021).
Razia buku merupakan kejadian rutin di masa Orde Baru. Dalam ingatan Yeye, aksi itu semakin sering terjadi di sepanjang tahun 1985 dan 1986. Aparat gabungan polisi dan tentara rajin menyisir titik-titik penjualan buku untuk mencari judul-judul terlarang. Di Bandung, kios-kios buku di Pasar Palasari jadi salah satu langganan razia.
Di buku Menentang Peradaban: Pelarangan Buku di Indonesia (1999), termuat daftar ratusan judul buku yang dilarang oleh pemerintah sejak 1962. Pada 1986, misalnya, ada tujuh judul buku yang dilarang. Salah satunya, Jejak Langkah (1985)-nya Pramoedya Ananta Toer. Dua buku pertama Tetralogi Buru ini, Bumi Manusia (1980) dan Anak Semua Bangsa (1980), sudah lebih dulu dicap terlarang pada 1981.
Yeye mencoba peruntungan sebagai pedagang buku sejak tahun 1983. Ia meninggalkan pekerjaan yang sudah tiga tahun lamanya dijalani di sebuah usaha penerbitan. Buku-buku sekolah menjadi andalan pendapatan.
“Waktu itu kebanyakan buku pelajaran untuk mahasiswa dan umum masih buku-buku dari pemerintah,” ucap Yeye yang memiliki semakin banyak keriput di wajah dan warna putih di rambut.
Sebagai sumber pendapatan tambahan, Yeye dan beberapa pedagang buku lain secara sembunyi-sembunyi menjual juga buku-buku terlarang. Hasilnya lumayan besar meski risikonya juga tak kecil. Beruntung, beberapa hari sebelum apes kena razia, Yeye bisa menjual beberapa buku kiri ke salah satu dosen Universitas Parahyangan.
Dari Kebakaran ke Kebakaran
Pasar Palasari, muncul sejak tahun 1960-an, awalnya merupakan pasar rakyat yang melayani kebutuhan pokok sehari-hari warga. Ia terutama menjadi tumpuan warga Kelurahan Turangga, Kecamatan Lengkong. Lewat program Instruksi Presiden (Inpres), pada 1977 didirikan bangunan dua lantai. Para pedagang perintis menempati lantai bawah.
Pada tahun 1980, menjelang peringatan 25 tahun Konferensi Asia-Afrika, Pemerintah Kota Bandung memindahkan 20 pedagang buku kaki lima yang sudah sejak tahun 1950-an membuka lapak di kawasan Cikapundung, tidak jauh dari Alun-alun, untuk menempati lantai dua yang masih kosong. Sejak relokasi itulah, Pasar Palasari lebih termashyur sebagai pasar buku murah dibandingkan pasar Inpres yang menjual bahan makanan.
Jumlah kios terus bertambah dari tahun ke tahun. Pasar Palasari menjadi andalan warga Bandung, juga warga daerah-daerah di sekitarnya, untuk memperoleh buku dengan harga terjangkau. Para pedagang, yang pada 2014 tercatat jumlahnya sebanyak 240 orang, menikmati masa keemasan hingga awal 1990-an.
Lalu kebakaran besar melanda pasar pada awal Januari 1993. Si jago merah melahap habis seluruh isi dua lantai pasar dalam satu malam. Abas (53), koordinator pedagang pasar, masih mengingat betul bencana tersebut.
“Ketika azan magrib, percik api datang dari bawah terus merembet ke atas (lantai 2), ke toko buku. Kertas cepat terbakar dan lantainya masih kayu,” katanya.
Api berkobar sepanjang malam. Ketika petugas berhasil memadamkannya keesokan harinya, para pedagang menjumpai seluruh barang jualannya sudah musnah. Buku-buku yang selamat dari api rusak oleh guyuran air yang digunakan untuk memadamkannya. Bagunan pasar Inpres tinggal puing, tidak mungkin ditempati lagi.
Agar pedagang bisa segera berjualan kembali, pemerintah membangun kios-kios darurat masih di kawasan yang sama. Para pedagang bahan makanan yang semula menghuni lantai satu pasar ditempatkan di lahan bekas tempat pembuangan sampah (TPS). Para penjual buku yang sebelumnya menempati lantai dua dipindahkan ke pinggir Jalan Palasari. Lokasi bekas kebakaran sendiri dijadikan lahan parkir. Penataan seperti inilah yang bertahan sampai hari ini.
Abas bercerita, tidak lama setelah bencana kebakaran, beberapa perusahaan swasta didatangkan Pemkot untuk menawarkan rencana membangun pasar menjadi lebih besar sekaligus lebih tinggi. Para pedagang menolak wacana itu karena mereka lebih nyaman jika pasar dikembalikan setinggi dua lantai seperti sebelumnya.
“Yang namanya perusahaan, maunya lima sampai tujuh lantai. Kan dihitung sama pedgang, nanti jadi (banyak) saingan, biayanya mahal,” katanya.
Negosiasi berlangsung alot selama beberapa tahun tanpa berujung kata sepakat. Rencana revitalisasi pasar itu akhirnya kandas.
Melewati badai krisis moneter yang diikuti kelahiran era reformasi pada akhir 1990-an, para pedagang buku Pasar Palasari kembali mengalami musibah. Pada 24 Agustus 2007, kobaran api kembali muncul. Sebanyak 67 kios pedagang buku hangus. Ribuan judul buku, yang jadi sumber pengetahuan bagi pembaca sekaligus sumber penghasilan bagi para pedagang, musnah jadi abu.
Koran Tempo, dalam laporannya di edisi 25 Agustus 2007, menyebut kebakaran terjadi di tengah kencangnya isu revitalisasi yang berembus kembali ke pasar yang terletak di seberang kawasan olah raga Lodaya itu. Para pedagang sudah ditawari uang ganti rugi kios senilai Rp 17,5 juta per meter persegi. Bahkan Pemkot Bandung, yang ketika itu dipimpin Wali Kota Dada Rosada, sudah menyiapkan nama baru untuk proyek yang bakal dikerjakan bersama perusahaan swasta itu: Bandung Edutainment Square.
Lagi-lagi berkat kengototan pedagang, proyek revitalisasi itu urung bergulir.
Dari Rencana ke Rencana
Terletak di kawasan strategis, Pasar Palasari selalu disebut-sebut dalam rencana revitalisasi Pemkot Bandung siapa pun wali kotanya. Jika sebelumnya getol menggandeng perusahaan swasta, dalam beberapa tahun terakhir Pemkot menggulirkan wacana revitalisasi mandiri oleh PD Pasar Bermartabat. Perusahaan plat merah ini merupakan pemilik dan pengelola 40 aset yang mencakup 37 pasar tradisional.
Pada 2014, di tahun kedua kepemimpinan wali kota Ridwan Kamil, Direktur Umum PD Pasar Bermartabat Rinal Siswadi menyebut Pasar Palasari sebagai satu dari beberapa pasar tradisional yang bakal direvitalisasi. Pasar-pasar yang lain adalah Sederhana, Cihaurgeulis, dan Buahbatu.
Pada tahun-tahun itu Pemkot Bandung sedang fokus menuntaskan proyek revitalisasi Pasar Sukajadi. Proyek di Sukajadi itu betul kelar, namun tidak terjadi apa perubahan di Palasari.
Pada 2018, rencana merevitalisasi Pasar Palasari kembali mencuat. Kali ini jabatan wali kota sudah berpindah ke tangan Oded M. Danial. PD Pasar Bermartabat dipimpin oleh Andri Salman sebagai Pejabat Sementara (Pjs.) Direksi.
Dalam perayaan hari ulang tahun perusahaan daerah itu, Andri menyebut target revitalisasi 11 pasar dalam jangka lima tahun. Program ini rencananya dimulai dengan revitalisasi Pasar Astanaanyar dan Pasar Sederhana pada 2019. Sumber dananya, selain dari APBD Kota Bandung, akan diusakan secara mandiri oleh PD Pasar Bermartabat.
Pada akhir Mei 2019, PD Pasar Bermartabat menandatangani nota kesepahaman dengan PT. Wijaya Karya Bandungan Gedung, Tbk terkait kobalorasi pengembangan pasar tradisional. Konsep yang diusung adalah perpaduan antara ruang usaha dan hunian.
“Pasar tradisional digabung dengan pusat perbelanjaan yang tematik. Lalu di atasnya ada fungsi lain: hunian, apartemen, rumah susun, atau apa pun itu,” ujar Andri dalam siaran pers Humas Kota Bandung.
Dari 37 pasar tradisional di Bandung, pasar-pasar di tengah kota menjadi prioritas rencana ini. Lagi-lagi nama Pasar Palasari disebut. Andri bahkan mengklaim sudah ada pengembang yang menaksir bisa mendirikan 1.500 hunian di kawasan seluas 2 hektare.
Wali Kota Oded M. Danial menegaskan pentingnya konsep kerja sama yang tidak membuat pedagang pasar tradisional terpinggirkan. Usaha membuat wajah pasar tradisional lebih modern ini harus menguntungkan semua pihak. “Jangan sampai kerja sama jadi tidak seimbang,” tuturnya.
Dari Pasar Digital ke Pandemi
Ujian bagi para pedagang Pasar Palasari tidak berhenti di razia buku, kebakaran, dan rencana-rencana revitalisasi yang tak kunjung jadi. Setidaknya dalam satu dasawarsa terakhir, bisnis jual-beli buku secara daring terus meroket. Dari pasar tradisional, semakin banyak orang pindah ke pasar digital.
Beberapa pedagang buku Pasar Palasari mencoba mengikuti kecenderungan ini dengan memasuki juga jagat penjualan digital. Namun sulit terbantah bahwa masa keemasan mereka, barangkali mirip nasibnya dengan bisnis koran cetak, sudah lewat.
Redupnya pasar legendaris di Bandung ini makin menjadi selama pandemi Covid-19 setahun terakhir. Bukan hanya para pedagang buku yang terdampak, tapi juga para penjual bahan makanan di sisi lain pasar.
“Jam 12 atau jam dua siang (kios) sudah pada tutup. Sepi sekarang, daya beli sudah mulai kurang,” ungkap Yayat (64).
Sebelum pandemi, Yayat masih bisa menjual dua ton beras setiap hari. Saat ini bisa laku lima atau enam kuintal ia sudah bersyukur. Pemasukan yang tak menentu memaksanya semakin sering membayar karcis retribusi dengan cara dicicil.
Gambaran tentang dampak pandemi bagi dunia perbukuan terlihat dari hasil survei yang dilakukan Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) baru-baru ini. Sebagian besar penerbit, tepatnya sebanyak 58,2 persen, menderita penurunan penjualan lebih dari 50 persen dari masa normal sebelumnya dan hanyya 4,1 persen penerbit yang kondisi penjualannya relatif tidak berubah selama pandemi.
Baca Juga: Pasar Cicaheum: Antara Kebakaran Besar, Koperasi, dan Persib
Lima Rekomendasi
Pada 2014 Musa Mujaddid Imaduddin and Wawan Dhewanto dari Sekolah Bisnis dan Manajemen Institut Teknologi Bandung (ITB) membuat kajian tentang transformasi bisnis Pasar Palasari. Ketika itu tercatat sebanyak 351 pedagang aktif yang terdiri dari 28 pedagang pemilik kios permanen, 299 pedagang pemilik kios semi permanen, serta 24 pedagang yang hanya memiliki meja. Jumlah pedagang tidak aktif sebanyak 433 orang.
Namun, kajian juga mengungkap beberapa persoalan yang dihadapi pedagang akibat terlalu lambannya kinerja PD Pasar Bermartabat. Contoh persoalan itu adalah sistem administrasi pasar yang tidak jelas dan terlalu kuatnya aktor-aktor tak resmi dalam mengatur biaya retribusi. Pasar di lahan seluas 20 ribu meter persegi itu “perlu direvitalisasi baik secara fisik maupun secara sistem” dengan membuka peluang kerja sama antara PD Pasar Bermartabat dan pihak-pihak ketiga.
Kedua penulis kajian lantas menyodorkan lima rekomendasi yang bisa diambil pengelola pasar, yakni pembuatan basis data secara lebih akurat, pengurusan status sertifikasi lahan, perumusan studi dampak lalu lintas, penjajakan peluang kerja sama dengan sektor swasta, serta kemauan menerapkan proyek bisnis serupa di pasar-pasar tradisional lainnya.