• Liputan Khusus
  • Pasar Cihaurgeulis: Revitalisasi di tengah Protes dan Tangis

Pasar Cihaurgeulis: Revitalisasi di tengah Protes dan Tangis

“Pedagang bukan diajak musyawarah, (malah) aparat berjajar bawa anjing pelacak kayak mau nangkep teroris."

Suasana Pasar Cihaurgeulis, Bandung, pada Sabtu (20/3/2021). Revitalisasi yang digulirkan pemerintah mendapat protes dan penolakan dari para pedagang. (Foto: Arbi Ilhamsyah)

Penulis Emi La Palau6 April 2021


BandungBergerak.idUu Yusuf Bukhori (75) tidak kuat menahan tangis ketika menceritakan apa yang terjadi pada 2018 lalu. Ratusan tentara dan polisi berjajar lengkap dengan anjing herder, mengawal acara peletakan batu pertama revitalisasi pasar.

Yusuf mengingat betapa pahitnya perlakuan pemerintah terhadap para pedagang. Tiga hari menjelang bulan Ramadan, ketika stok barang dagangan telah siap, tiba-tiba lampu pasar dimatikan. Para pedagang disuruh segera mengosongkan kios dan dipaksa pindah ke tempat penjualan sementara di bekas lahan parkir.

“Pedagang bukan diajak musyawarah, (malah) aparat berjajar bawa anjing pelacak kayak mau nangkep teroris. Saya tidak bisa omong apa-apa. Saya hanya bisa mengeluarkan air mata waktu itu,” ungkapnya kepada BandungBergerak.id ketika ditemui di Pasar Cihaurgeulis, Jalan Suci, Kota Bandung, Jumat (12/3/2021).

Bangunan empat lantai yang diresmikan itu tampak tak terurus. Jauh dari ingar-bingar yang diimpikan pemerintah. Kondisinya masih setengah jadi. Halamannya ditumbuhi rumput liar. Gerbang masuk dibalut lembar-lembar seng yang tergembok. Akses masuk diberikan hanya atas seizin petugas satuan pengamanan (satpam) yang berjaga.

Para pedagang ramai-ramai menolak proyek revitalisasi itu karena mereka harus pindah ke lantai atas. Paksaan ini membuat mereka segera membayangkan omzet yang anjlok. Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan. Karakteristik pasar tradional tidak bisa disamakan dengan pasar modern. Pembeli yang datang ke pasar rakyat ingin mendapatkan barang secara mudah dan murah.

“Orang-orang yang ke pasar ini, jangankan bawa uang, gak bawa uang asal ada yang kenal saja, mau berapa pun, bisa bawa pulang barang,” kata Yusuf yang sudah setengah abad berjualan di Pasar Cihaurgeulis.

Tidak banyak yang tahu, menjelang dimulainya revitalisasi, rumah Yusuf beberapa kali didatangi aparat. Mereka membujuk agar ia dan para pedagang lain nantinya mau menempati lantai atas bangunan baru. Sang pedagang tidak goyah dalam pendiriannya.

Tarlina (50), salah seorang penjual telur, mengungkapkan protes serupa. Sebagai orang lama di pasar, dia merasa disingkirkan lewat penetapan sepihak harga kios. Lantai dasar dibandrol begitu mahal sehingga orang-orang bermodal dari luar pasar yang justru bisa mengaksesnya. Para pedagang lama dipaksa pindah ke lantai atas.

“PD Pasar tidak melihat keinginan pedagang, kayak mau mengeruk keuntungan sendiri,” ucapnya.

Tarlina juga merasa telah dibohongi. Di masa sosialisasi, para pedagang dijanjikan bisa menyicil pembayaran kios sebesar Rp 20 ribu per hari selama 20 tahun. Nyatanya, harga per kios dipatok Rp 150 juta untuk waktu sewa selama 25 tahun. Pelunasannya tidak boleh lewat dari lima tahun.

Musyawarah demi musyawarah di masa sosialisasi seolah tidak berarti apa-apa. Proyek revitalisasi jalan terus tanpa mengindahkan masukan dan harapan pedagang pasar agar bisa tetap berjualan di lantai dasar bangunan.

Pemerintah, dalam hal ini PD Pasar Bermartabat, bersikukuh membangun gedung baru yang menjulang setinggi 4,5 lantai dengan dengan lantai dasar diperuntukkan pedagang keringan, lantai 1 (pedagang basahan), lantai 2 (pedagang keringan), dan lantai paling atas bagi para perajin Sentra Kaos Suci. Akan ada 540 ruang dagang dengan pemrioritasan bagi 380 orang pedagang lama.  

Sekarang sudah hampir tiga tahun para pedagang terpaksa berjualan di tempat penjualan sementara demi bisa menyambung hidup. Sejak proyek revitalisasi bergulir, pendapatan mereka anjlok hingga 90 persen. Pandemi Covid-19 membuat penderitaan pedagang menjadi-jadi.

Uu Yusuf Bukhori (75) merupakan saksi sejarah panjang Pasar Cihaugeulis sejak kemunculannya pada tahun 1970-an hingga pengguliran proyek revitalisasi yang saat ini berlangsung. (Foto: Emi La Palau)
Uu Yusuf Bukhori (75) merupakan saksi sejarah panjang Pasar Cihaugeulis sejak kemunculannya pada tahun 1970-an hingga pengguliran proyek revitalisasi yang saat ini berlangsung. (Foto: Emi La Palau)

Nasib Koperasi

Pasar Cihaurgeulis muncul sejak tahun 1970-an. Beberapa pedagang perintis, termasuk Yusuf, mulanya menyewa tanah lapang yang saat ini menjadi lokasi Pusat Dakwah Islam (Pusdai). Sepuluh tahun berselang, sekitar tahun 1980-an, pemerintah memindahkan para pedagang ke atas tanah Kebun Kangkung yang menjadi lokasi gedung pasar hingga hari ini.

Gedung pasar terdiri dari dua lantai. Lantai dasar diperuntukkan para pedagang basah dan pedagang kebutuhan pokok (sembako). Lantai atas diperuntukkan para pedagang keringan dan penjual buku.

Perjalanan panjang Pasar Cihaurgeulis tidak lepas dari Koperasi Pedagang Pasar Cihaurgeulis (Koppalis) yang didirikan secara mandiri pada 5 November 1980. Berkat koperasi simpan-pinjam ini, sekian banyak pedagang bisa terbebas dari jerat rentenir. Yusuf, yang sekarang menjabat ketua, merupakan salah satu pendirinya.

Anggita Regi Virdiana dalam tesisnya, Tinjauan atas Prosedur Penyusunan dan Realisasi Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja pada Koperasi Pedagang Pasar Cihaurgeulis (Koppalis) (2018), menyebut pembangunan pasar sebagai salah satu hambatan terkini pengelolaan koperasi. Kesimpulan diperoleh setelah mahasiswa Universitas Komputer Indonesia (Unikom) Bandung tersebut melakukan penelitian selama sekitar enam bulan, dari Februari hingga Agustus 2017.

Menurut Anggita, pembangunan pasar membuat besaran sisa hasil usaha (SHU) Koppalis merosot tajam. Penyebabnya, banyak pedagang membutuhkan biaya dadakan untuk pindah sebagai dampak proyek pembangunan pasar yang sedang berlangsung.

“Karena membutuhkan biaya tersebut, para pedagang meminta pinjaman kepada koperasi dan para pedagang yang menyimpan di koperasi mengambil simpanannya. Hal tersebut melebihi apa yang sudah dianggarkan untuk simpan pinjam sebelumnya,” tulisnya.

Selama proyek revitalisasi pasar berlangsung, para pedagang terusir ke bekas lahan parkir. Kantor dan gudang koperasi di lantai dua gedung lama dibongkar. Ironis, karena justru di masa-masa sulit seperti inilah sebenarnya para pedagang membutuhkan betul peran koperasi. Bukan saja untuk memperoleh pinjaman tapi juga pasokan kebutuhan-kebutuhan pokok dalam harga lebih murah.

Baca Juga: Pasar Cicaheum: Antara Kebakaran Besar, Koperasi, dan Persib
Pasar Palasari: Razia Buku Kiri, Kebakaran, dan Mimpi Revitalisasi

Nostalgia Sentra Buku

Ada masanya, Pasar Cihaurgeulis memiliki sebuah sentra penjualan buku yang terletak di lantai dua. Ada 20-an pedagang yang sebagian besar di antaranya merupakan pindahan dari kawasan Cikapundung. Sentra buku ini jelas kalah besar dan kalah pamor dibandingkan Pasar Palasari. Namun ia tetap punya ceritanya sendiri.

Mamat Sasmita (70), salah satu bekas pedagang buku di Pasar Cihaurgeulis, mengingat datangnya tahun ajaran baru sebagai musim panen yang ditunggu-tunggu pedagang. Warga berdatangan ke pasar untuk membeli buku-buku pelajaran sekolah.

Namun Mamat juga mengingat buruknya kondisi lantai dua pasar itu. Kios-kiosnya yang tidak begitu luas berjajar berimpitan. Lantai masih berupa papan. Jika hujan deras mengguyur, atap kios bocor. Bagi pedagang buku yang peruntungannya banyak tergantung pada mutu kertas, rembesan atau tetesan air adalah bencana.

“Harapannya ada usaha dari pengelola pasar untuk promosi bahwa di situ ada pasar buku. Kan tidak pernah ada semacam promosi atau apa begitu,” ungkapnya lewat sambungan telepon.

Pada 2007, Mamat meninggalkan Pasar Cihaurgeulis. Ia mencurahkan waktu untuk mengurus Rumah Baca Buku Sunda (RBBS), perpustakaan pribadi yang ia buka di rumah di Perumahan Margawangi, Buahbatu.

Indra Prayana (44) menyampaikan kesaksian serupa. Pasar Cihaurgeulis jauh dari terawat. Kondisinya, terutama lantai dua, tidak membuat nyaman para pedagang. Mulai berjualan pada 2004, bekas aktivis yang menyasar para penggemar buku-buku sastra dan humaniora itu memilih hengkang tiga tahun kemudian.

“Mencari buku, orang kan langsung datang ke Palasari. Di Pasar Cihaurgeulis orang-orang belum begitu tahu kalau ada toko buku,” tutur Indra yang meneruskan usaha jual beli buku secara daring.

Sejak 2007 itu berangsur-angsur jumlah pedagang buku di lantai dua Pasar Cihaurgeulis menyusut. Saat ini tinggal beberapa gelintir saja yang masih bertahan.

Begitulah nasib para pedagang buku di lantai dua Pasar Cihaurgeulis itu bisa menjadi gambaran risiko seperti apa yang akan dihadapi pedagang seperti Yusuf dan Tarlina ketika harus pindah dari lantai dasar.

Satu dari sedikit pedagang buku di lantai dua Pasar Cihaurgeulis yang bertahan. (Foto: Iqbal Kusumadirezza)
Satu dari sedikit pedagang buku di lantai dua Pasar Cihaurgeulis yang bertahan. (Foto: Iqbal Kusumadirezza)

Rencana Lama

Direktur Utama PD Pasar Bermartabat Herry Hermawan, sampai tulisan ini ditayangkan, tidak memberikan tanggapan perihal kelanjutan pembangunan pasar dan keluhan para pedagang. Ia hanya membaca pesan yang dikirim BandungBergerak.id tanpa membalasnya.

Pernyataan terakhir Herry tentang program revitalisasi pasar tradisional bisa dilacak lewat siaran pers Humas Pemkot Bandung bertanggal 23 November 2020. Beberapa nama pasar ia sebut sebagai target program kerja tahun anggaran 2021, mulai dari Pasar Gedebage di Los ABCD, Pasar Sarijadi, hingga Pasar Kosambi di lantai dasar (basement). Pasar Cihaurgeulis juga disebut bersama Pasar Sederhana yang sama-sama sedang dalam proses revitalisasi.

“Fokus kami untuk mempercepat proses penyelesaian. Yang sudah selesai tinggal optimalisasi pemanfaatan saja,” tutur Herry.

Herry lalu memaparkan data tentang ruang dagang pasar-pasar tradisional di Bandung. Dari total sekitar 24 ribu ruang dagang, baru 17 ribu di antaranya terisi. Ia menargetkan semakin banyak ruang dagang terisi.

Rencana revitalisasi Pasar Cihaurgeulis sudah mencuat sejak lama. Nama pasar yang tidak jauh dari Gedung Sate ini selalu muncul di deretan pertama.

Pada Kamis, 2 Februari 2017, misalnya, Wali Kota Ridwan Kamil menggelar pertemuan dengan para pengelola pasar di Bandung. Ketika itu menguat rencana merevitalisasi sembilan pasar. Cihaurgeulis salah satunya.

Ridwan Kami menyarankan ada tempat untuk berdiam diri atau nongkrong di kawasan pasar. Ia bahkan sempat merekomendasikan agar pasar di Bandung meniru pasar-pasar di Eropa, seperti San Miguel Market di Madrid, Spanyol. Di sana pedagang sayur bisa bersebelahan dengan cafe.

"Saya rekomendasikan kepada Bapak dan Ibu, coba lihat desain pasar-pasar di Eropa yang menurut saya sangat unik. Tidak ada pembagian zona di sana sehingga pengunjung bisa beli sayur sambil ngopi," ujar arsitek yang saat ini menjabat Gubernur Jawa Barat.

Lewat proyek revitalisasi yang bergulir, Pemkot Bandung mengubah nama Pasar Cihaurgeulis menjadi Pasar Geulis. Wahyu Edi Suwarno, arsitek perencananya, menyebut pasar sejak awal dirancang menjadi bangunan hemat energi. Cahaya matahari dimanfaatkan secara optimal di dalam bangunan dengan lebar 27 meter dan panjang 50 meter ini.

“Meski pasar rakyat tetapi (Pasar Geulis) ditata dengan suasana yang lebih menarik,” katanya dalam siaran pers bertanggal 27 Agustus 2019. 

Editor: Redaksi

COMMENTS

//