Pasar Cihapit: Dari Kamp Tawanan Jepang ke Pasar Rujukan
Pasar Cihapit saat ini dikenal sebagai surga kuliner yang bersih dan membuat nyaman pengunjung. Jadi rujukan pengembangan pasar-pasar tradisional.
Penulis Emi La Palau22 April 2021
BandungBergerak.id - Mak Eha (91) masih mengingat dengan jelas kegemaran keluarga Presiden Sukarno berkunjung ke warung nasinya. Dia ingat bagaimana Hartini, dalam pengawalan ketat, sering menyantap udang dan otak-otak.
“Putranya (Sukarno) yang suka makan di sini Guntur dan Guruh. Istrinya, Ibu Hartini, juga (suka) karena ada budhe-nya (tinggal) di situ, di Jalan Anggrek 47,” ungkap Eha dengan suaranya yang masih saja lantang, ditemui di Pasar Cihapit, Jumat (26/3/2021).
Tempat makan legendaris ini mulanya bernama bernama warung nasi Bu Nok. Sejak tahun 1960-an, namanya berubah menjadi warung nasi Bu Eha. Menu andalannya di antaranya adalah gepuk, perkedel, ayam, otak-otak, beragam pepes, limpa, rendang, serta soto Bandung.
Eha bercerita, kondisi Pasar Cihapit tempo dulu tidak semegah sekarang yang lantainya berupa keramik putih. Pasar masih berupa tanah lapang. Jumlah pedagang bisa dihitung jari.
“Dulu garasinya tempat nyuci kuda, mandiin kuda. Tidak ada (bangunan khusus) pasar dulu mah. Dulu (yang jualan) tukang loak, sayuran. Yang tukang nasi hanya ibu saya sendiri,” katanya.
Pasar Cihapit terus tumbuh melintasi zaman. Demikian juga warung nasi Mak Eha. Meski tersembunyi di dalam pasar tradisional, orang-orang terus berdatangan. Tidak terkecuali para pejabat dan tokoh-tokoh publik.
Mak Eha, misalnya, menghafali sosok RIdwan Kamil yang sejak masih kecil sering diajak orang tuanya makan di warung nasinya. Ketika menjabat wali kota Bandung, Ridwan masih sempat beberapa kali mampir makan.
“Senangnya pepes peda, pepes tahu, pepes ayam, dan pepes ikan emas,” ujar Eha yang masih punya cukup tenaga untuk turut melayani pembeli.
Baca Juga: Pasar Cikapundung: Besar berkat Inisiatif Pedagang
Pasar Cihaurgeulis: Revitalisasi di tengah Protes dan Tangis
Bertahan di Pandemi
Pasar Cihapit muncul pertama kali sekitar tahun 1947. Dari lahan terbuka tak jauh dari tempat memandikan kuda, ia tumbuh menjadi bangunan pasar yang sering dijadikan lokasi program-program percontohan. Terakhir, pada pertengahan Februari 2021 lalu, di Pasar Cihapit diluncurkan gerakan mengurangi penggunaan kantong belanja plastik sekali pakai.
Menjelajah Pasar Cihapit seperti berwisata. Di gang selebar dua meter, sayuran, buah-buahan, serta makanan segar milik pedagang berjejer rapih. Itulah ‘gang senggol’ yang jadi akses utama memasuki pasar. Lukisan-lukisan di temboknya menambah semarak suasana.
Dijuluki gang senggol karena, di jam-jam ramai, mau tidak mau para pembeli dan pedagang bakal saling bersenggolan, mencari celah untuk bergerak. Namun selama pandemi Covid-19, keramaian khas seperti itu semakin jarang ditemui. Irma (38) dan Tukirin (71) memberikan kesaksian serupa.
Irma mewarisi jongko di gang senggol dari orang tuanya yang berjualan sejak 1990-an. Di sana, dia menjual makanan siap santap, menu sayur-sayuran, tutut, jengkol, dan beberapa lauk lainnya. Sementara Tukirin (71) sudah berjualan di Pasar Cihapit sejak tahun 1973.
“Dulu banyak pengunjung, tidak seperti sekarang (ketika) pandemi. Jualan sepi,” ucap Tukirin.
Selain pedagang makanan, pandemi juga berimbas ke pengelolaan Los Cihapit. Warung kopi ini bukan hanya dikenal sebagai tempat nongkrong untuk menikmati Arabika khas Ciwidey, tapi juga tempat diskusi. Biasanya digelar dua kali dalam sepekan.
“Sebelum pandemi banyak teman bikin acara diskusi kecil-kecilan. Banyak, (topiknya) peristiwa sosial budaya, musik, seni, diskusi permasalahan apapun. Biasanya (berupa) bedah buku,” tutur Bayu Wijanarko (59), pemilik Los Cihapit.
Pasar Cihapit memang demikian identik sebagai pusat kuliner. Saat ini tercatat ada 176 ruang dagang dengan 86 orang pedagang aktif. Biaya retribusi per hari tidak lebih dari Rp 3 ribu, sementara biaya perpanjangan surat sewa tahunan Rp 75 ribu per jongko atau meja serta Rp 85 ribu per kios.
Pada 2019 lalu, Pasar Cihapit mewakili Kota Bandung untuk bersaing dalam Lomba Pasar Juara yang diadakan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Pasar Cihapit ada di peringkat ketiga. Ia jadi rujukan pengembangan pasar-pasar tradisional di Bandung. Pengembangan yang tidak harus identik dengan pembangunan gedung-gedung baru yang menjulang tinggi.
“Pasar ini jadi baromoternya pasar di Kota Bandung,” kata Khus Hendarsyah, salah seorang staf pengelola Pasar Cihapit.
Kamp Tawanan Jepang
Ariyono Wahyu Widjajadi, pegiat Komunitas Aleut, mengungkapkan perkembangan Pasar Cihapit tidak bisa dipisahkan dari perkembangan kawasannya terutama sejak 1920-an ketika rencana pemindahan ibu kota Hindia Belanda dari Batavia ke Bandung bergulir kencang. Kawasan Cihapit disiapkan terutama sebagai kawasan hunian bagi apra pegawai instansi yang gedung-gedung perkantorannya didirikan di kawasan Gedung Sate.
“Nah untuk pegawai rendahan, bentuk perumahannya itu seperti di kawasan Gempol. Pejabat tingginya di kawasan Riau. Juga dibangun komplek-komplek (permukiman) di sekitar Taman Pramuka dan Cihapit untuk pejabat menengah ke bawah,” ujar Ariyono yang akrab disapa Alex.
Pele Widjaja dalam buku Kampung Kota Bandung (2013) menyebut program pembangunan kawasan baru yang dinamai kleinwaningbouw itu telah menggusur kampung Cihapit yang sebelumnya sudah ditinggali penduduk. Selain Cihapit, kampung Gempol dan Teloekboejoeng mengalami nasib serupa. Kleinwaningbouw adalah perumahan bagi pekerja kelas rendah Belanda yang termasuk dalam areal kawasan Archipelwijk.
“Rumah-rumah kecil ini ditempatkan di daerah kantung di dalam blok yang dikelilingi oleh rumah vila besar dnegan masing-masing unit lingkungan dilengkapi pertokoan dengan gaya toko Tionghoa,” tulis Pele.
Ariyono menambahkan, hingga awal 1930--an, telah terbangun sekitar 800-an rumah tinggal. Namun akibat krisis ekonomi dunia, pembangunan tidak dilanjutkan. Beberapa sisa bangunan ini masih bisa ditemui di kawasan jalan Cihapit dan jalan Sabang.
Di masa pendudukan Jepang, Pasar Cihapit memiliki kisah kelam. Ia jadi bagian dari daerah hunian yang difungsikan sebagai kamp tawanan bagi perempuan dan anak-anak. Robert P. G. A Voskuil dalam buku Bandung: Citra sebuah Kota (2017), menyebut daerah hunian itu berbatasan dengan Jalan Riau, Jalan Cihapit, Jalan Ciliwung, Jalan Supratman, dan Jalan Jenderal Ahmad Yani.
Pernah ada 14 ribu orang yang ditawan di sana dari akhir November 1942 hingga Desember 1944. Lalu, 10 ribu di antaranya dipindahkan ke berbagai kamp di Jakarta, Bogor, dan Jawa Tengah. Sisanya sekitar 4 ribu orang baru dipindahkan ke Jakarta pada bulan Mei 1945.
“Pertengahan Agustus 1945, tinggal sekitar 60 orang, tetapi sesudah Jepang menyerah sampai 1946 datang beribu-ribu penghuni baru yang terdiri dari para pengungi,” tulis Voskuil.
Ariyono Wahyu Widjajadi mengatakan, sebagian besar dari para tawanan di Cihapit adalah warga Eropa. Meski terkurung dalam kompleks, mereka masih diperbolehkan berintekasi dengan keluarga lewat surat.
“Namun harus menggunakan huruf-huruf kanji juga agar bisa dibaca oleh penjaga,” ungkapnya.
Kampung Cihapit yang dibangun untuk pekerja kelas rendah itu kini telah berkembang pesat. Berada tidak jauh dari pusat pemerintahan, dan sekarang juga dikelilingi oleh pusat-pusat ekonomi, ia sekarang justru lekat dengan cap kawasan elite. Para warga kawasan di kawasan inilah, juga mereka yang bekerja di kantor dan toko di sana, yang membuat Pasar Cihapit lestari.