• Liputan Khusus
  • MEMBEDAH KEMACETAN KOTA BANDUNG #4: Masyarakat Mau Beralih dari Kendaraan Pribadi, Transportasi Publiknya Belum Memadai

MEMBEDAH KEMACETAN KOTA BANDUNG #4: Masyarakat Mau Beralih dari Kendaraan Pribadi, Transportasi Publiknya Belum Memadai

Bukan jalan layang atau jalan bawah tanah, transportasi publik adalah solusi mengurai kemacetan Bandung. Tapi pembenahan transportasi publik belum prioritas.

Suasana di dalam bis Trans Metro Pasundan koridor 4 Dago-Leuwipanjang, Bandung, Kamis (15/12/2022). Transportasi di Bandung belum terintegrasi dan masih banyak yang perlu dibenahi. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)

Penulis Awla Rajul3 Januari 2023


BandungBergerak.idModa tranportasi publik di Bandung cukup beragam tapi dinilai serba tanggung dan berjalan sendiri-sendiri. Penumpang berharap ada pembenahan serius baik pada angkutan kota (angkot), Trans Metro Bandung (TMB), DAMRI, Buratas, kereta api lokal, dan yang paling baru adalah Trans Metro Pasundan (TMP).

Untuk merasakan langsung apa yang dialami para penumpang transportasi publik di Bandung, reporter BandungBergerak.id melakukan perjalanan naik bis Trans Metro Pasundan, Kamis (15/15/2022). Hari itu, perjalanan dimulai saat TMP berhenti di halte Bandung Indah Plaza (BIP).

Di halte BIP, TMP mendapat empat orang penumpang. Mereka masuk ke dalam bis besar dengan kelir biru itu sembari melakukan pembayaran nontunai dengan metode scan QRIS yang terpampang di dashboard bis.

Begitu penumpang tadi duduk, pak sopir tangkas menggerakkan persneling. Roda berputar, bis melaju ke halte pemberhentian selanjutnya, halte Bank Indonesia, dan seterusnya. Sebelumnya bis Trans Metro Pasundan koridor 4 ini memulai perjalanan dari Dago dan akan berhenti di terminal Leuwipanjang, pemberhentian akhir.

Di antara penumpang yang naik dari halte BIP tadi merupakan ibu-ibu berumur kisaran 40 tahunan. Keduanya baru pertama kali naik TMP dan melakukan perjalanan pulang-pergi naik TPM untuk bertamasya. Di dalam bis terlihat beberapa kali kedua ibu tersebut berswafoto.

Penumpang lainnya, seorang pria berumur kisaran 30 tahun, bertanya kepada BandungBergerak.id yang menjadi penumpang TMP; ia memastikan apakah benar bis ini mengarah ke Leuwipanjang. Seraya menggendong tas ransel, pria ini juga menanyakan cara pembayaran digital. Ia baru kali pertama kali naik TMP.

Kursi TMP masih banyak yang lowong. Tak banyak penumpang yang naik ke dalam bis TMP di halte-halte berikutnya.

Salah seorang penumpang, ibu-ibu, tampak sudah biasa naik TMP. Ia bahkan bercengkerama dengan sopir bernama Budi Budiman yang pengalaman menjadi sopir DAMRI selama 18 tahun.

Sang ibu bekerja di Soreang, Kabupaten Bandung. Jadi ia harus dua kali naik TMP, yakni rute Dago-Leuwipanjang dan disambung dengan TMP koridor Leuwipanjang-Soreang yang merupakan armada paling baru di bidang transportasi pubik Bandung Raya.

Ibu tersebut bercerita, menggunakan TMP lebih hemat waktu dibandingkan dengan naik angkot. Sebelum TMP koridor Leuwipanjang-Soreang beroperasi, ia banyak menggunakan angkot untuk berangkat kerja. Menurutnya kelemahan angkot adalah sering ngetem menunggu penumpang.

Sopir Trans Metro Bandung sedang menunggu lampu lalu lintas, Kamis (15/12/2022). Transportasi di Bandung belum terintegrasi dan masih banyak yang perlu dibenahi. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)
Sopir Trans Metro Bandung sedang menunggu lampu lalu lintas, Kamis (15/12/2022). Transportasi di Bandung belum terintegrasi dan masih banyak yang perlu dibenahi. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)

Keluhan di Trans Metro Bandung

Selain Trans Metro Pasundan, Trans Metro Bandung lebih dulu mengaspal di Kota Bandung. Bis ini mulai beroperasi sejak 2006 dan dikelola oleh Dinas Perhubungan Kota Bandung.

Sama seperti moda transportasi publik di Bandung lainnya yang menuai kritik dari penumpang, TMB pun memiliki sejumlah kelemahan seperti yang dirasakan Fatimah Nur’aini, 21 tahun, mahasiswi UIN SGD Bandung.

Bagi Fatimah, TMB adalah pilihan yang tepat untuk menuju kampusnya yang beralamat di Cibiru. Fatimah tinggal di ujung barat Bandung Raya, yakni Kota Cimahi. Dengan TMB ia melakukan perjalanan dari ujung ke ujung menggunakan rute TMB Cibeureum-Cibiru.

Namun, Fatimah mengeluhkan jadwal keberangkatan TMB yang tidak menentu. Tidak ada jadwal pasti kapan bis bisa dicegat.

“Jam operasionalnya sih gak nentu, harusnya misalkan sudah fix nih bis pertama jam setengah enam, harusnya jam segitu terus. Nah, ini bis pertama kadang bisa sampai nunggu dulu sampai jam tujuh sampai bisa telat ke kampusnya,” ungkap Fatimah saat ditemui di kampus UIN SGD Bandung, Jum’at (9/12/2022).

Selain waktu keberangkatan yang tidak menentu, ia juga mengeluhkan soal metode pembayaran dan halte. Menurutnya sudah saatnya bus TMB menerapkan metode pembayaran nontunai (cashless) seperti busway di Jakarta. Sistem pembayaran ini penting efesiensi.

Sekarang ini, sistem pembayaran TMB masih tunai alias cash, jadi ada petugas di dalam bis yang melakukan penagihan ongkos penumpang. Model jadul ini dinilai mengurangi kenyamanan penumpang yang sedang beristirahat.

Bis TMB juga tidak berhenti dari satu halte ke halte lainnya. Bis justru bisa berhenti di mana saja. Gayanya seperti angkot yang mencari muatan atau berhenti di mana saja. Model ini dinilai membahayakan pengendara lainnya.

Fatimah yang sehari-hari menggunakan TMB atau kereta api lokal ke kampusnya, menilai transportasi publik di Bandung masih berantakan dan perlu pembenahan. Menurutnya, di Bandung masih terjadi tumpang tindih trayek. Contohnya angkot yang belum tertata baik. Situasi ini berdampak pada meningkatnya kemacetan.

Buruknya sistem transportasi di Bandung membuat warga lebih memilih kendaraan pribadi yang justru menjadi penyumbang kemacetan terbesar yang menjadi masalah sehari-hari di Kota Kembang. Kunci untuk mengurai kemacetan ada pada sistem transportasi publik ini.

“Cuma karena mungkin jam operasionalnya belum tentu juga makanya mereka memilih kendaraan pribadi, gitu, karena lebih pasti dan bisa lebih cepat,” kata Fatimah. 

Selain jadwal operasional yang tepat waktu, Fatimah berharap tidak ada pengurangan jumlah armada bis TMB. Menurutnya TMB justru harus ditambah.

Baca Juga: MEMBEDAH KEMACETAN KOTA BANDUNG #1: Kota Kembang Lautan Kendaraan Pribadi
MEMBEDAH KEMACETAN KOTA BANDUNG #2: Banjir Sepeda Motor
MEMBEDAH KEMACETAN KOTA BANDUNG #3: Ratapan Pengguna Roda Empat

Bis Trans Metro Pasundan (TMP), Kamis (15/12/2022). Transportasi di Bandung belum terintegrasi dan masih banyak yang perlu dibenahi. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)
Bis Trans Metro Pasundan (TMP), Kamis (15/12/2022). Transportasi di Bandung belum terintegrasi dan masih banyak yang perlu dibenahi. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)

Prioritaskan Pembenahan Transportasi Publik

Transportasi publik adalah solusi untuk mengurai kemacetan di Kota Bandung. Luas geografis cekungan Bandung merupakan potensi untuk membangun tranportasi publik dan menggalakkan penggunaannya. Pemerintah pun sebaiknya lebih fokus membenahi transportasi publik daripada memberikan solusi sesaat seperti pembangunan jalan layang (fly over).

Pendiri dan Ketua Transport for Bandung, Raihan Aulia mendeskripsikan kondisi transportasi publik di Bandung dengan kata rudet atawa rumit. Kemacetan di Kota Bandung diperparah denggan kemacetan di daerah-daerah penyangga seperti Kopo, Bojongsoang, Gunung Batu. Dareah-daererah penyangga ini biasanya hanya memiliki satu akses utama yang selalu dipenuhi kendaraan pribadi.

“Nah alternatifnya adalah transportasi umum, karena mau menambah jalan selebar apa pun bakal kena macet juga. Jadi mau gak mau juga harus (dibenahi) transportasi umum,” ungkap Raihan, Selasa (6/12/2022).

Ia melihat pembangunan fly over maupun underpass hanyalah solusi sementara dan bukan yang utama. Pembangunan fly over maupun underpass merupakan model pengurai kemacetan dengan pendekatan logika pengguna kendaraan pribadi. Artinya, jalan yang dibuat untuk mengurai kendaraan-kendaraan pribadi agar berjalan lancar di jalanan.

Padahal, dana yang digunakan untuk membuat jalan baru tersebut bisa saja digelontorkan untuk membenahi transportasi publik. Sehingga, orang-orang yang dulunya menggunakan kendaraan pribadi bisa menggunakan transportasi publik. Dengan begitu ada upaya memindahkan orang ke dalam satu kendaraan yang sama, bukan menambah jalan untuk kendaraan-kendaraan pribadi.

“Selama pikiran menyelesaikan macet masih dengan mengoprek jalan, menambah jalan, bikin fly over, ubah jalan satu arah, gak bakal ke mana-mana. Masalahnya masih akan ada. Jadi itu (jalan layang) solusi sementara,” tambah Raihan.

Raihan juga menilai transportasi publik di Bandung serba nanggung. Transportasi publik belum menjadi prioritas pembangunan. Padahal Raihan menyebut sebenarnya masyarakat Bandung mau berpindah dan menggunakan transportasi publik. Namun transportasi publiknya yang belum memadai.

Raihan membeberkan tingginya minat masyarakat Bandung dalam mengakses transportasi publik dapat dilihat dari jumlah penumpang TMP. Bandung adalah kota dengan penurunan jumlah penumpang terkecil kedua setelah dihapuskan kebijakan pelayanan gratis pada TMP.

Selain itu, Raihan mengobservasi terhadap respons publik pada berita pembangunan jalan layang. Dari situ diketahui banyak komentar warga yang mendorong diadakannya transportasi publik, alih-alih pembangunan fly over.

“Ini menunjukkan kalau minat orang Bandung memang pengin transportasi umum. Tapi selama enggak ada transportasi umum, ya kapan masyarakatnya mau menggunakan transportasi umum,” tegasnya.

Tentu bukan tidak ada. Transportasi umum di Bandung banyak. Misalnya angkot, jasa transportasi milik swasta ini memiliki banyak rute. Sudah lama angkot dikeluhkan warga karena waktu dan tarif yang tidak menentu.

Belum lagi dengan kereta api lokal. Tetapi kereta api ini tidak bisa diandalkan untuk melayani Bandung Raya atau warga di Cekungan Bandung. Adapun layanan bis seperti TMP, TMB, DAMRI, dan Buratas masing-masing berjalan sendiri, tidak terintegrasi.

Raihan menepis dalih pembenahan transportasi publik belum dilakukan karena tidak ada anggaran. Ia membandingkan APBD tahunan Bandung dengan Semarang. Semarang memiliki anggaran tahunan sebanyak 5 triliunan rupiah per tahun dan dianggarkan untuk bis sebanyak 213 miliar rupiah per tahunnya. Sedangkan Bandung memiliki anggaran tahunan sebanyak 6 triliunan rupiah per tahun dan dianggarkan sebanyak 8 miliar rupiah saja untuk bis.

“Delapan miliar dibanding 213 miliar, tapi anggaran Semarang lebih kecil dari Bandung, terus masalahnya apa dong? Bukan anggaran dong kalau begitu. Bandung itu terlalu berpasrah diri, seakan-akan gak bisa membangun. Seakan-akan anggaran sedikit, padahal kalau emang ditelisik lebih dalam sebenarnya mampu, kalau memang ada keinginan,” sebut Raihan.

Mulai dari yang Terdekat

Banyaknya masalah pada transportasi publik menjadi salah satu sebab turunnya minat masyarakat untuk menggunakannya. Menurut Raihan, pembenahan transportasi publik bisa dimulai dengan penertiban mekanisme dan sistem angkot. Sebab, angkot adalah jasa transportasi publik yang paling banyak, memiliki banyak rute, dan yang paling mudah dijangkau oleh masyarakat saat ini.

Banyak cara membenahi angkot. Ini sudah dilakukan di Bogor yang mengkonversi beberapa angkot menjadi satu bis kecil. Atau membuat mekanisme penataan organisasi pengelolaan angkot. Contohnya seperti Kopaja, koperasi jasa transportasi bis yang sekarang menjadi salah satu operator busway di Ibukota Jakarta.

Terkait bis, menurutnya program buy the service (BTS) adalah salah satu solusi yang baik, seperti TMP. Melalui model ini pemerintah membeli layanan operator yang sudah ada. Program BTS harusnya bisa dilaksankaan secepatnya. Salah satu poin penting dari program BTS adalah integrasi transportasi publik agar tidak berjalan sendiri-sendiri.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//