• Liputan Khusus
  • MEMBEDAH KEMACETAN KOTA BANDUNG #1: Kota Kembang Lautan Kendaraan Pribadi

MEMBEDAH KEMACETAN KOTA BANDUNG #1: Kota Kembang Lautan Kendaraan Pribadi

Kota Bandung sedang sibuk membangun flyover untuk mengatasi kemacetan di saat membanjirnya volume kendaraan pribadi. Apa kabar dengan transportasi publik?

Pembangunan Flyover Kopo, Kota Bandung, Senin (21/2/2022). (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)

Penulis Awla Rajul21 Februari 2022


BandungBergerak.idDi bawah pohon rindang Jalan Buah Batu, tepat di depan kampus Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung, beberapa pengemudi ojek online (Ojol) memarkirkan kendaraannya. Mereka melepaskan penat sambil melihat-lihat gawainya.

Tidak jauh dari sana, tiga mobil Angkutan Kota (Angkot) terparkir, sebagian ban mobil naik ke atas trotoar, sebagian lagi masih di jalan. Sang sopir terlelap dengan jendela mobil yang dibiarkan terbuka, menyerap udara segar dari rindangnya pepohonan kampus ISBI.

Kondisi jalanan siang itu ramai. Calo jalan sibuk mengatur keluar-masuk kendaraan di tengah deru asap knalpot dan suara klakson dari pengendara yang tidak sabar menghadapi kemacetan.

Di tengah hiruk-pikuk itu Dede (41) duduk santai di atas motornya. Pengemudi ojol ini sesekali memantau gawainya. Baginya, kemacetan di Kota Bandung sudah biasa.

“Kalau Bandung yang macet sudah pasti, tiap hari kayak gitu. Terus jalanan juga sebagian ada yang harus diperbaiki. Ya secara keseluruhan, hampir di setiap titik macet,” ungkapnya saat ditemui BandungBergerak.id, Selasa (15/2/2022).

Dede sudah empat tahun menjadi pengemudi ojek online. Awalnya ia tukang ojek di Garut, daerah asalnya. Namun ia memutuskan mengadu nasib ke Kota Kembang.

Menurutnya, kontur wilayah Bandung yang pegunungan, pertumbuhan kendaraan bermotor yang tinggi, serta ruas jalan yang sempit menjadi sebab kemacetan Kota Bandung. Meski sudah terbiasa menghadapi kemacetan, ia mengaku sempat jenuh juga selama mengarungi lalu lintas Kota Bandung yang selalu padat.

Kemacetan mungkin sudah menjadi pemandangan biasa di Kota Kembang, kota terbesar ke empat di Indonesia dengan jumlah penduduk hampir mencapai tiga juta jiwa. Pada September 2019, Asian Development Bank (ADB) menobatkan Kota Bandung sebagai kota termacet se-Indonesia dalam Update of the Asian Development Outlook. Kota Bandung sendiri menduduki urutan kota termacet ke-14 se-Asia, Jakarta di urutan ke-17, dan Surabaya menduduki posisi ke-20.

Riset ADB menghitung bahwa untuk mencapai titik A ke titik B di Kota Bandung pada jam sibuk, pengendara memerlukan waktu 24 persen lebih banyak dibandingkan jam lowong. Selain itu, pertumbuhan kendaraan di Kota Bandung mengalami peningkatan rata-rata 11 persen per tahun.

Menurut data dari Badan Pendapatan Daerah Jawa Barat, Kota Bandung merupakan daerah dengan jumlah kendaraan bermotor terbanyak dari rentang tahun 2014 sampai 2019 yang jumlahnya mencapai 6.025.481 unit. Menyusul Kota Bekasi dengan angka 4.815.375 unit, dan Kota Bogor dengan angka 4.105.375 unit.

Dari data itu, jumlah kendaran di Kota Bandung bahkan lebih banyak dibandingkan dengan jumlah penduduk Kota Kembang yang sekitar tiga juta jiwa.    

Baca Juga: Pengembangan Transportasi Publik di Bandung Membutuhkan Konsistensi
Bukan Hanya Jalan Layang, tapi Juga Layanan Transportasi Publik
Data Jumlah Angkutan Publik Kota Bandung 2005-2020

Pembangunan Flyover Kopo, Kota Bandung, Senin (21/2/2022). (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)
Pembangunan Flyover Kopo, Kota Bandung, Senin (21/2/2022). (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)

Transportasi Umum Minim

Banyak faktor yang mempengaruhi kemacetan Kota Bandung, di antaranya padatnya penduduk, jumlah kendaraan pribadi yang tinggi, ruas jalan yang relatif pendek dan sempit, kontur pegunungan, serta minimnya transportasi umum. Di Kota Bandung, pilihan transportasi umum tidak banyak, hanya Trans Metro Bandung (TMB), DAMRI, dan Angkot.

Kabar buruknya, DAMRI Kota Bandung terpaksa menghentikan sementara delapan rutenya karena merugi selama pandemi Covid-19 melanda. TMB telah berusaha menutupi beberapa rute yang ditinggalkan DAMRI, meski hasilnya belum optimal. Padahal, sistem transportasi publik yang baik merupakan solusi kemacetan yang bisa diandalkan.

Jumlah angkutan publik Kota Bandung menurun dalam kurun waktu empat tahun terakhir, sejak 2017 hingga 2020. Angkutan publik pada tahun 2017 berjumlah 15.139 unit, jumlahnya menurun di tahun 2018 dengan jumlah 14.178 unit, kemudian 13.610 unit di tahun 2019, hingga mencapai 12.514 unit pada tahun 2020.

Turunnya jumlah angkutan publik ini mengindikasikan dua hal, pertama, minat warga Bandung yang berkurang dalam menggunakan angkutan umum; kedua, belum optimalnya kerja pemerintah dalam membenahi sistem transportasi umum.

Menurunnya minat warga Bandung terhadap angkutan umum bukannya tanpa alasan. Salah seorang pengguna transportasi umum, Abdul Hasib Hudaya menuturkan banyak kelemahan mendasar dari angkutan umum di Bandung, mulai dari terlalu lama ngetem menunggu penumpang hingga jalannya yang lambat.

Hasib juga mengeluhkan lalu lintas Kota Bandung kini lebih macet dibandingkan beberapa tahun terakhir. Ia sendiri hingga kini masih menggunakan transportasi umum ketika sedang tidak ada kendaraan pribadi atau saat sedang malas berkendara sendiri. Jika perjalanan dekat, ia biasanya naik angkot, jika perjalanan jauh ia memilih DAMRI.

Di antara kendaraan umum yang paling top menurutnya DAMRI karena fasilitasnya yang cukup nyaman, armadanya laik jalan, tempak duduknya enak, dengan sirkulasi udara yang terjaga.

Sayangnya kenyamanan DAMRI tak didukung dengan kondisi halte. Banyak halte yang tidak laik untuk dijadikan tempat tunggu penumpang. Bahkan halte-halte tersebut kehilangan fungsinya sebagai tempat menjemput dan menurunkan penumpang.

“Terus busnya juga tidak menggunakan halte tersebut, jadi ya turun bisa di mana saja. Tapi kalau ini plus-minus sih. Plusnya ya gak usah ribet lagi kalau tujuan jauh dari halte. Tapi minusnya membahayakan buat pengguna kendaraan di belakangnya, bus segede gitu tiba-tiba ke pinggir berhenti juga kadang bikin macet,” ungkap Hasib, kepada BandungBergerak.id, Jumat (18/2/2022).

Tidak hanya itu, sistem pembayaran bus kota di Bandung juga sudah ketinggalan zaman. Hasib membandingkan dengan Transjakarta yang sudah menggunakan e-money.

Turunnya minat masyarakat Bandung terhadap transportasi umum dikeluhkan Joni (50), salah seorang supir angkot rute Ciwastra-Cijerah. Bahkan menurutnya sudah lama angkot ditinggalkan penumpang. Posisi angkot kini jauh kalah dibandingkan transportasi online.

“Saya mah pindah-pindah rute, ke mana-mana sudah saya coba. Tapi tetap sama (minim penumpang). Apalagi sekarang ada online (ojol). Saya mah kadang-kadang bawa empat, kadang bawa 10, kadang juga kosong. Jadi penumpangnya gak tentulah,” cerita Joni, yang lagi ngetem di di trotoar Jalan Buah Batu.

Saat itu saja Joni sudah dua jam menunggu penumpang. Pelanggannya adalah anak-anak sekolah. Namun anak-anak sekolah ternyata sudah pada bubar.

Joni pun mengeluhkan Kota Bandung yang semakin macet. Penyebabnya karena semakin banyak kendaraan motor dan mobil pribadi. Sedangkan ruas jalan Kota Bandung masih sama, tidak ada perubahan berarti.

Joni sempat menyinggung perihal pembangunan flyover di Jalan Soekarno Hatta. Ia berharap pembangunan jalan layang menjadi solusi untuk mengatasi kemacetan di wilayah yang menghubungkan Kota Bandung dengan Kabupaten Bandung itu. Namun proyek ini belum selesai.

Transportasi Pubik Kurang Sentuhan

Kawasan Kopo merupakan salah satu titik kemacetan paling rumit di Kota Bandung. Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat dan Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung bersama Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) saat ini sedang membangun jalan layang Kopo sebagai salah satu solusi kemacetan tersebut.

Jalan layang Kopo dirancang untuk melewati persimpangan Jalan Raya Kopo dan Jalan persimpangan Cibaduyut di Jalan Soekarno Hatta. Persimpangan ini setiap harinya dilintasi arus besar kendaraan dari Kota Bandung maupun dari arah Kabupaten Bandung.  

Selain jalan layang Kopo, Pemkot Bandung juga berencana membangun jalan layang lainnya, yaitu di simpang Buah Batu dan simpang Kiaracondong. Yang terbaru, ada proyek flyover dadakan di kawasan Ciroyom yang menuai keresahan warga terdampak.

Di saat ngebut membangun flyover, pemerintah seakan lupa dengan pentingnya transportasi publik. Padahal, menurut pakar transportasi publik sekaligus dosen Teknik Sipil ITB, Sony Sulaksono Wibowo, yang perlu didorong di Kota Bandung adalah penyelenggaraan sistem angkutan umum yang lebih baik agar volume kendaraan pribadi berkurang.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//