• Opini
  • Hantu Smart City itu, Kereta LRT Bandung

Hantu Smart City itu, Kereta LRT Bandung

Kota ini terus membangun flyover yang jelas-jelas mengakomodir kendaraan pribadi. Bagaimana dengan transportasi publik yang nyaman dan murah?

Frans Ari Prasetyo

Peneliti independen, pemerhati tata kota

Jalan Layang Pasteur Surapati (Pasupati) yang melintasi Kecamatan Sukajadi, Kota Bandung. Jalan layang ini menjadi gerbang Bandung dari wilayah barat (Jakarta). (Foto: Iqbal Kusumadirezza)

15 November 2021


BandungBergerak.idEra digital sekarang ini membawa arus perubahan dalam wajah tata kelola di pelbagai sektor termasuk pada sektor transportasi publik. Berkembangnya beragam moda transportasi publik di kota-kota di dunia, termasuk di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung membawa publik perkotaan ke arena dan wajah baru perkembangan kota, mengikuti template dari kota-kota global. Skenario Kota pintar alias smart city seperti telah disiapkan sebagai langkah bagaimana sebuah kota menerima digitalisasi dan perencanaan kota maju di masa depan, mengikuti kota-kota global lainnya berdasarkan kepada percepatan perkembangan teknologi. Dibangunnya MRT dan LRT di Jakarta membawa perubahan signifikan bagi pola dan moda transportasi pubik serta mobilitas warganya, hal serupa diharapkan terjadi di Bandung dengan LRT Metro Bandung-nya.

Publik kota Bandung tentu masih ingat dengan prototype LRT yang dipajang di Alun-alun kota sejak sekitar tahun 2016 lalu. LRT Metro Bandung, ditampilkan sebagai upaya modernitas transportasi publik berdasarkan kota pintar dan Kota Kreatif yang menjadi slogan dan identitas kota Bandung yang disematkan oleh Wali Kota Ridwan Kamil (2013-2018). Prototype car – bagian dari dari sebuah rangkaian LRT Bandung yang tiba-tiba muncul di ruang publik – di alun alun dan telah mengalami renovasi desain fisik ekteriornya sebanyak dua kali tanpa publik ketahui maksud dan tujuannya, atau itu memang disediakan hanya untuk kepentingan launcing dan sekedar bagian dari ornamen dekoratif landmark kota yang sedang mengalami perbaikan estetika, karena Kota Bandung memang sedang bersolek dalam imajinasi kota pintar dan kota kreatif atau hanya sebagai wahana swafoto saja.

Sesuai dengan rencana ground breaking, LRT Bandung akan dimulai November 2017 dengan menggunakan struktur koridor di atas jalan raya. Namun dalam praktiknya hingga pergantian wali kota kepada Oded M Danial (2018-2023) yang notabene merupakan Wakil Wali Kota era Ridwan Kamil dalam periode ketika rencana LRT ini ditampilkan di muka publik, hal tersebut tidak pernah terealisasi dan prototype-nya pun tiba-tiba menghilang, seperti hantu. Begitu pun terkait slogan ikonik kota pintar, kota kreatif yang juga menghilang. Apa sekarang sudah tidak pintar lagi, tidak kreatif lagi?

Pembangunan LRT Metro Bandung ini tidak realistis dan tidak logis bagi kota Bandung. Pertama, terkait aspek geologis dan geografis Kota Bandung yang berada dalam cekungan yang akan memberikan beban ekologis kota semakin berat dan berdampak pada risiko bencana longsor, banjir hingga kelangkaan air. Selain itu, Kota Bandung berada dalam wilayah risiko bencana patahan Lembang, sehingga infrastruktur besar dan berat sangat tidak direkomendasikan di kota ini, seperti LRT ini.

Kedua, tata ruang Kota Bandung yang merupakan hasil desain era kolonial ini memang direncanakan sebagai compact city yang menyerupai kota-kota di eropa, tidak direncanakan sebagai kota dengan infrastruktur besar untuk mobilitas warganya. Maka, jika ada perubahan tata ruang ekstrem seperti pembangunan tol dalam kota termasuk LRT ini, akan mengubah lansekap dan landmark kota yang menjadi ciri khas Bandung.

Ketiga, terkait pembiayaan LRT ini yang cukup mahal akan membebani neraca anggaran jika tidak dihitung dengan cermat. Apakah ini sepenuhnya dari APBN, APBD, swasta dan kombinasi di antaranya atau menggunakan skenario Public Private Partnersip dengan kesepakatan tertentu, ketersesuaian regulasi yang mengaturnya, hingga bagaimana perhitungan ROI (Return of Investment)-nya, mau berapa tahun modal kembali dan berapa target penumpang setiap harinya, itu semua bisa disimulasikan dan  publik harus mengetahuinya, tapi itu tidak terjadi di LRT Bandung.

Rencana awalnya, LRT Metro Bandung ini akan menghabiskan anggaran sekitar Rp 500 miliar yang entah dari mana pembiayaannya, lalu koridor yang dibangun menghubungkan antara Pasar Baru dan Alun-alun kota yang berjarak kurang dari 2 kilometer serta bukan jalur vital mobilitas warga kota. Ini transportasi publik atau kereta wisata dan tidak sesuai untuk penggunaan anggaran sebesar itu, hingga kapan Return of Investment-nya kembali dan itu public harus mengetahuinya, tapi ini tidak.

LRT itu hanya bisa mengangkut maksimal 20 orang saja setiap car, padahal pembuatan infrasrukturnya mahal dan akan menempatkan tiang-tiang pancang beton disepanjang jalan kota yang akan merubah lanskap dan memberi beban ekologis kota semakin berat. Jika mau, bangunlah MRT yang berada di bawah tanah dan itu lebih mahal lagi, dan Bandung lebih tidak cocok lagi dengan MRT.

Jika tetap ingin membangun LRT Bandung, sebaiknya berada di area lingkar luar batas kota yang menghubungkan wilayah peri urban Bandung dan kota-kota satelitnya, misal menghubungkan antara Cimahi dan Jatinangor bahkan hingga Sumedang. Lalu memiliki car yang cukup sesuai perhitungan jumlah yang cermat dengan waktu antrean mobilitas yang pasti dengan konektivitas digital yang aksesible untuk terhubung dalam perangkat gawai personal, baik dalam segi rute, waktu hingga metode tiket pembayarannya hingga konektivitas dengan moda transportasi publik lainnya, seperti bus dan lain-lain, sebagai bagian dari implementasi kota pintar tentu saja.

Tapi itu tidak tersedia di LRT Bandung ini, bahkan baru-baru ini bus dalam Kota Bandung yang telah ada malah berhenti beroperasi. Itu menunjukan betapa pemerintah kota ini tidak peduli dengan transportasi publik, malah terus membangun flyover yang jelas-jelas mengakomodir kendaraan pribadi. Mau sampai kapan? Sampai kota ini mengalami deadlock.  

Baca Juga: Bukan Hanya Jalan Layang, tapi Juga Layanan Transportasi Publik
Pengembangan Transportasi Publik di Bandung Membutuhkan Konsistensi
DAMRI Bandung Berhenti, Kepentingan Umum Tercederai

Pelibatan Publik LRT Bandung Kurang

Setiap transportasi public di Indonesia yang menggunakan infrastruktur berat, lahan luas, teknologi baru hingga finansial besar, seperti LRT ini akan terikat dengan pelbagai regulasi yang ada. LRT ini akan terkait dengan UU Transportasi No.22/2009, UU Jalan No. 38/2004, UU Perkeretaapian No23/2007 dan aspek hukum lainnya yang mengikat seperti UU Agraria No.5/1960 yang diikuti UU penanaman modal asing No.1/1967, UU No.25/2007 tentang penanaman modal, UU No.2/2012 terkait pengadaan tanah bagi kepentingan umum, UU Tataruang No.26/2007 hingga UU terbaru yang No.11/2020 tentang Cipta Kerja, termasuk peraturan-peraturan di daerah dan turunannya, dalam hal ini Kota Bandung yang termaktub dalam produk-produk tata ruangnya, seperti RTRW, RDTR dan RTBL. Apakah pemerintah kota Bandung telah melakukan singkronisasi semua ini untuk LRT Bandung tersebut? Jadi bukan hanya sekedar launcing. Misalnya saja, merujuk kepada RTRW Kota Bandung 2011-2031, RDTR Bandung 2015-2025, tidak ada rencana tentang LRT Bandung ini, termasuk tidak ada dalam RPJMD dan RAPBD kota, maka ini sesat perencanaan, sesat pembangunan. Jadi LRT Bandung ini rencana siapa?

Selain itu, publik mesti mengetahui siapa yang akan membuat car dari LRT-nya, siapa desainernya, siapa pembuat dan bagaimana penggunaan teknologinya yang terintegrasi sebagai transportasi publik, hingga siapa yang membangun infrastruktur fisiknya termasuk siapa yang menyediakan pembiayaannya dan operatornya nanti. Semua harus jelas, ada jaminan hukum, regulasi, finansial, kontrolnya hingga operasionalnya yang seharusnya dipresentasikan di depan publik, berada sebagai informasi yang dipajang di samping prototype LRT di alun-alun itu hingga di portal resmi pemerintah sebagai bagian dari upaya pemerintahan yang baik dalam kerbukaan informasi publik berdasarkan UU No.14/2008.

Jika tidak, maka akan muncul konflik di tata kelola pemerintahan, konflik regulasi hingga konflik kepentingan apartur yang disertai dengan konflik agraria dan konflik permukiman jika sedari awal perencanaan pembangunan LRT ini dilakukan dengan serampangan. Belum lagi jika kemudian ada indikasi kolusi dan korupsi akibat nihilnya transparansi. Harus ada jaminan garansi dari pemerintah daerah melalui peraturan wali kota misalnya, hingga garansi pembiayaan, asuransi, hingga penjamin obligasinya, dan itu tidak secara transparan diwartakan kepada publik tentang LRT Bandung ini.

Pengalaman penulis, dapat mengambil contoh pembangunan LRT di Toronto, Kanada. Sebelumnya Kanada telah memiliki subway bawah tanah, corridor bus dan cable car yang keduanya memiliki jalur yang berada di jalan raya dan overlap dengan jalur kendaraan pribadi, di mana kendaraan pribadi harus mengalah dan berhenti jika keduanya melintas atau akan berhenti ketika menaikan dan menurunkan penumpang, jika tidak akan dikenakan denda. Lalu, pemerintah kota membangun LRT, tentu dengan konsultasi publik, mengumpulkan para stakeholder yang terlibat sebagai perencana, pembangun, pembiaya, pembuat regulasi hingga warga sebagai pengguna.

Tujuannya menghubungkan kota-kota satelit di greater area Toronto namun tetap menjangkau area pusat kota di titik-titik tertentu dan publik dapat berpindah menggunakan moda transportasi yang berada di pusat kota tanpa membayar ulang. Setiap rangkaian terdiri dari 2-4 car yang masing-masing car dapat menampung hingga 20 orang dengan frekuensi kedatangan yang tepat dan pasti. Jalur LRT-nya bersebelahan dengan koridor jalan raya namun mandiri dan tidak saling menganggu, namun terintegrasi melalui TOD (Transit Oriented Development) dengan moda transportasi dalam kota lainnya yang telah tersedia, seperti bus, cable car dan subway. Jadi public tinggal memilih yang mana, di mana semuanya terintegrasi di bawah satu control management di bawah TCC termasuk skenario pembayarannya untuk semua moda transportasi yang tersedia hanya menggunakan satu kartu Metro link yang mudah di gunakan dan diisi ulang disetiap stasiun subway.

Hal ini yang coba ditiru oleh Jakarta yang sebelumya telah memiliki busway dan kereta komuter terintegrasi sebagai sarana transportasi publik yang relatif murah dan aksesible serta kemudahan pembayarannya yang payless online sebagai upaya mengganti Metromini dan Kopaja. Lalu sekarang bertambah dengan MRT dan LRT yang akan saling terkoneksi dan terintegrasi termasuk skema pembayarannya dan control management-nya, begitulah kota pintar itu bekerja. LRT Jabodebek terdiri dari 31 train set yang dibuat PT INKA dengan total 186 car, dimulai sejak Oktober 2019 dan akan beroperasi Agustus 2022 dengan menggunakan teknologi Grade of Automation (GOA) level tiga yang dapat meluncur tanpa masinis yang dibuat PT LEN, jadi manufakturnya juga terkoneksi dan sinergis dengan kerja BUMN termasuk peran pembangunnya oleh PT Adhikarya, serta terdapat penjamin emisi obligasinya dan semua ini melibatkan PT KAI. Bagaimana dengan LRT Bandung yang dilauncing itu?

Selain itu, fungsi LRT di Jakarta ini jelas, bukan hanya untuk mobilitas dalam kota saja, tapi yang utamanya menjadi opsi tambahan bagi masyarakat dalam menunjang mobilitas di wilayah aglomerasi Jakarta-Bogor-Depok-Bekasi. Jika diperbandingkan, fungsi LRT Bandung ini menggantikan atau menambah pilihan moda transportasi publik yang mana di Kota Bandung ini. Malah baru-baru ini bus DAMRI pun malah mengalami penutupan layanan, jangan tanya angkot yang sudah remuk sejak adanya transportasi online dan pandemi ini. Bandung ini memang kota yang tidak punya visi dan masterplan bagaimana sebuah kota itu harus memiliki transportasi publik, belum lagi jika political will dari penguasa memang enggan menyediakan public transport bagi warganya.

Studi kelayakan dan studi komparasi yang komprehensip dari pelbagai sektor dan skenario, termasuk tersedianya konsultasi publik yang berjenjang dan berkelanjutan yang membahas langkah demi langkah pembanguan infrastruktur publik ini menjadi sangat penting. Rembug bersama multistakeholder, lintas bidang dan keilmuan, karena ini menyangkut publik – kebijakan yang berdampak untuk banyak orang dengan anggaran yang besar pula.

Kota Bandung seyogyanya mengimplementasikan pelbagai penghargaan yang diperolehnya termasuk dalam proyek LRT Bandung ini dengan merujuk pelbagai syarat, prakondisi yang telah diutarakan sebelumnya, termasuk memahami bagaimana kota pintar itu dapat berwujud nyata. LRT Bandung ini seperti hantu kereta yang tiba-tiba muncul seperti permintaan dari citra pembangunan estetika kota termasuk citra politik, lalu menghilang atas kepentingan yang sama. Entah akan muncul lagi atau tidak, kita tunggu saja episode selanjutnya dan publik kota Bandung tetap berharap akan adanya transportasi publik mudah, murah dan terjangkau aksesnya serta sesuai dengan lanskap dan mobilitas warga kotanya.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//