• Liputan Khusus
  • MEMBEDAH KEMACETAN KOTA BANDUNG #3: Ratapan Pengguna Roda Empat

MEMBEDAH KEMACETAN KOTA BANDUNG #3: Ratapan Pengguna Roda Empat

Lalu lintas Kota Bandung ibarat benang kusut. Jumlah mobil meningkat, jalan sempit, parkir liar, dan kacaunya lampu lalu lintas. Jalan layang bukan solusi kemacetan.

Kemacetan lalu lintas di Jalan Oto Iskandar Dinata, Kota Bandung, 4 ‎Oktober ‎2022. Setiap tahunnya kemacetan lalu lintas di Bandung dirasakan meningkat. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Penulis Awla Rajul4 Oktober 2022


BandungBergerak.idTingginya jumlah kendaraan pribadi, khususnya roda empat, menjadi salah satu penyebab kemacetan kronis di Kota Bandung. Tetapi dari perspektif pengendara mobil, penyebab kemacetan Kota Bandung kompleks seperti benang kusut; mulai dari jalan yang sempit, maraknya parkir liar, lampu lalu lintas (traffic light) yang kacau, dan minimnya moda transportasi publik.

Pengalaman pengendara mobil di jalanan Kota Bandung agaknya berbeda dengan pengendara roda dua. Mobil tak bisa selincah sepeda motor. Manuver-manuver mereka amat terbatas apalagi di tengah lautan kemacetan.

Bimota Ares Daffa, salah seorang pengguna jalan, merasakan tiap tahunnya jumlah mobil pribadi di Kota Bandung terasa bertambah. Hal ini berbanding lurus dengan meningkatnya kemacetan lalu lintas.

Bimota yang selama lima tahun ke belakang lebih banyak menggunakan mobil, mengeluhkan sering terjebak kemacetan di Kota Kembang. Pemakaian mobil menjadi tidak efektif. Mobilnya cukup leluasa jika menggunakan jalan tol. Tetapi sebelum masuk tol, lagi-lagi ia kerap terperangkap lautan kendaraan yang menuju pintu tol. Alhasil, Bimota memutuskan memilih menggunakan kendaraan roda dua agar bisa menerjang kemacetan Kota Bandung.

Jalanan yang sempit dan kecil, persoalan lampu lalu lintas, serta bertebarannya lahan parkir di sisi jalan dinilai menambah lalu lintas Kota Bandung semakin ruwet. Cerita yang serupa soal kemacetan juga dirasakan oleh Thalita Nagata, desainer fesyen yang sehari-hari menggunakan roda empat.

Selain keberka, Thalita sedang melanjutkan pendidikannya di ITB. Ia sudah hafal jam-jam dan lokasi-lokasi kemacetan Kota Bandung. Tempat yang sering ia rasakan kerap dilanda kemacetan adalah Ciumbuleuit. Kini ia pindah ke daerah Tubagus Ismail, namun di sana pun kepadatan lalu lintas selalu terjadi meskipun tidak separah di Ciumbuleuit.

Tidak jauh beda dengan Bimota, Thalita juga mengeluhkan soal lampu lalu lintas yang mengatur perempatan dan maraknya parkir liar di sisi-sisi jalan. Sementara jumlah mobil kian tak terbendung. Rupanya masalah ini menjadi keluhan umum bagi warga pengguna mobil.

Dilihat dari jumlah, menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bandung dalam Kota Bandung dalam Angka 2021, kendaraan jenis sedan, jeep, dan minibus pada tahun 2020 menduduki urutan kedua setelah sepeda motor dengan jumlah 370.623 unit.

Jumlah tersebut menurun sebanyak 2.217 unit di tahun 2021 (Kota Bandung dalam Angka 2022) yang meyebutkan jumlah kendaraan jenis sedan, jeep dan minibus berjumlah 368.406 unit. Rinciannya, sebanyak 360.244 unit kendaraan roda empat milik pribadi. Sisanya, kendaraan milik dinas sebanyak 4.153 unit dan kendaraan umum sebanyak 4.029 unit.

Data tersebut menunjukkan bahwa kendaraan pribadi di Kota Bandung jauh mendominasi daripada kendaraan umum atau transportasi publik.

Kacau-Balau Lampu Lalu Lintas

Thalita bukan warga Bandung. Ia pendatang dari Bogor. Saat pertama kali menginjakkan kaki di Bandung, ia kaget menghadapi lampu lalu lintas di beberapa perempatan kota yang berwarna hijau semua. Dua arus lalu lintas berhadap-hadapan. Jjalanan menjadi macet dan berbahaya.

“Menurut aku kondisi lampu merahnya di beberapa spot daerah Bandung harus bisa lebih dipikirkan lagi. Agar saat jalan mobil itu tidak saling bertemu di lawan arah, walaupun mungkin tujuannya agar mengurangi kemacetan. Tapi dikhawatirkan ada kecelakaan saja sih karena saling bertemu,” terang Thalita, kepada BandungBergerak.id, Senin (19/9/2022).

Thalita heran dengan lampu lalu lintas di Bandung yang jauh berbeda dengan lalu lintas di Bogor atau Jakarta. Selain itu, durasi lampu lalu lintas tidak konsisten. Ini berdasarkan pengalaman Thalita ketika masih tinggal di wilayah Ciumbuleuit. Hal ini pula yang menjadi salah satu penyebab kemacetan.

Masalah serupa ditemukan BandungBergerak.id saat meninjau traffic light di Jalan L.L.R.E Martadinata atau Jalan Riau. Lampu pengaturan lalu lintas di sana sempat menyala hijau berbarengan.

Peristiwa serupa terjadi di perempatan Pahlawan. Di jalur ini, kendaraan berusaha saling mendahului dari kedua arah yang berlawanan demi segera melewati lampu merah. Tidak semua kendaraan dari dua arah itu akan melaju lurus, ada yang berbelok namun terhadang kendaraan dari arah lain. Kemacetan akhirnya tak bisa dihindari.

Perihal durasi lampu lalu lintas, Bimota mempunyai pengalaman tersendiri, yaitu di perempatan Kiaracondong-Jalan Soekarno Hatta. Seharunya traffic light di sini disesuaikan dengan jam-jam padat.

Misalnya, saat jam masuk kantor, durasi lampu hijau dari Cileunyi ke Buah Batu lebih lama sebab banyak dari arah Cileunyi-Cibiru yang hendak masuk ke kota melalui jalan Soekarna-Hatta. Pun sebaliknya saat jam pulang kerja, durasi lampu hijau dari Buah Batu ke Cileunyi diperlama.

“Kurang efektiflah untuk pembagian waktunya. Harusnya kan kalau pagi banyak orang yang mau ke kota itu, nah itu harusnya yang dari arah Cileunyi dilamain lampu hijaunya, dan sebaliknya. Jadi harusnya disesuaikan saja sama jamnya,” saran Bimota.

Saran Bimota sepertinya berlaku juga bagi beberapa lampu lalu lintas lainnya di Kota Bandung. Misalnya di daerah Pasteur menuju pintu tol atau sebaliknya. Di wilayah ini, lonjakan kendaraan biasa meningkat di akhir pekan. Sebab Pasteur merupakan gerbang masuk bagi kendaraan dari luar Bandung menuju Kota Bandung. Rekayasa lalu lintas melalui pembagian waktu lampu lalu lintas patut dicoba.

Pemudik maupun komuter terjebak macet dampak dari aktivitas di pos penyekatan larangan mudik di Cibiru, Bandung, 7 Mei 2021. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)
Pemudik maupun komuter terjebak macet dampak dari aktivitas di pos penyekatan larangan mudik di Cibiru, Bandung, 7 Mei 2021. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Parkir di Jalan Kecil

Maraknya parkir liar menjadi penyebab kemacetan berikutnya di Kota Bandung. Kota Bandung memiliki 256 tempat parkir umum yang terbagi ke dalam tiga zona. Zona Pusat Kota sebanyak 63 tempat, Zona Penyangga sebanyak 155 tempat, dan Zona Pinggiran 38 tempat (Kota Bandung dalam Angka 2022). Dari ketiga zona tersebut, mayoritas ruas parkir justru menjadi bagian dari jalan raya. Artinya, ada ruang jalan yang tersita lahan parkir.

Jika dilihat dari Keputusan Wali Kota Bandung Nomor: 551/Kep.648-DisHub/2017 tentang Penetapan Lokasi dan Posisi Parkir di Tepi Jalan Umum dan Tempat Khusus Parkir di Kota Bandung, hanya terdapat dua pembagian, yaitu Zona Pusat Kota dan Zona Penyangga Kota. Tempat Parkir di Zona Pusat Kota berjumlah 224 tempat parkir, sebanyak  210 tempat parkir di antaranya berada di ruas jalan, sisanya merupakan pelataran parkir di beberapa lokasi. Sedangkan di Zona Penyangga berjumlah 21 tempat parkir, 15 tempat di antaranya berada di sisi jalan, dan sisanya merupakan pelataran parkir.

Dari dua data ini, kita bisa melihat banyak lokasi tempat parkir umum yang menggunakan bagian dari jalan, baik di salah satu sisi maupun kedua-duanya. Padahal, panjang jalanan di kota Bandung tidak banyak berubah. Hingga 2020, panjang jalan di Kota Bandung bahkan berkurang di bandingkan tahun 2021. Total jalan pada tahun 2020 sepanjang 1.254,86 kilometer dan berkurang menjadi 1.129,70 kilometer pada tahun 2021. Adapun jumlah jalan yang berkurang merupakan jalan di bawah kewenangan pemerintahan kabupaten/kota, yakni berjumlah 125,16 kilometer.

Pun jika dilihat dari lebarnya, jalan di Kota Bandung tidak memiliki lebar yang signifikan. Menurut Bimota, jalan di Kota Bandung rata-rata sempit. Jika dipakai parkir sembarangan, jalan yang sempit tersebut akan semakin sempit dan macet.

“Misalkan ada yang bawa mobil terus parkirnya di pinggir jalan sembarangan, itu kadang-kadang suka kesal juga gitu, menghalangi jalan kan itu. Sudah mah jalannya kecil, terus ada yang parkir, susah jadinya," ungkap Bimota.

Thalita melihat dari sisi keamanan parkir di pinggir jalan. Ia khawatir kalau parkir di malam hari. Ia takut karena pernah mendengarkan cerita kasus pemecahan kaca mobil yang parkir di pinggir jalan Kota Bandung. Pada siang hari, mernurutnya tidak ada masalah dengan parkir di pinggir jalan.  

Baca Juga: MEMBEDAH KEMACETAN KOTA BANDUNG #1: Kota Kembang Lautan Kendaraan Pribadi
MEMBEDAH KEMACETAN KOTA BANDUNG #2: Banjir Sepeda Motor
Bukan Hanya Jalan Layang, tapi Juga Layanan Transportasi Publik

Membangun Jalan Layang, Melupakan Transportasi Publik

Pemerintah Kota Bandung menjawab persoalan kemacetan lalu lintas dengan pembangunan fly over atau jalan layang. Jalan layang paling anyar dibangun adalah Fly Over Kopo. Menyusul, pemkot Bandung berencana membangun jalan layang Ciroyom, jalan layang Buah Batu, dan jalan layang Kiaracondong.

Pemkot Bandung seakan gemar membangun jalan layang karena percaya akan menjadi solusi kemacetan. Hal ini menuai kritik dari Ananda Bintang, mahasiswa Sastra Indonesia, Universitas Padjadjaran, yang menuliskan opininya mengenai kemacetan Kota Bandung di salah satu media daring.

Menurut Bintang, sapaan akrabnya, membangun fly over hanya memindahkan titik kemacetan. Ia menilai ada persepsi salah dari Pemkot Bandung dalam menyikapi kemacetan. Pemkot dinilai terlalu berfokus pada kelancaran jalan tanpa memperhitungkan pergerakan manusia yang sebenarnya menjadi titik utama dalam sistem lalu lintas. Alih-alih mengurangi kepadatan, pemerintah hanya menambah ruang kepadatan dengan membangun jalan layang.

“Artinya, masalah ini sebenarnya bisa diselesaikan sama angkutan umum yang mengangkut manusia banyak dan bisa mengurangi volume kepadatan, bukan cuma memindahkan kayak bikin fly over. Karena namanya yang dipindahin, pasti ya bakal ada titik kemacetan lainnya, masalah utamanya ga terurai jadinya,” ungkap Bintang kepada BandungBergerak, Senin (3/10/2022).

Bintang merasa geram dan aneh karena Pemkot Bandung belum mempunyai kesadaran untuk mengubah orientasi, bahwa menambah akses jalan, terutama membangun jalan layang tidak akan bisa mengurai kemacetan. Sebab, jumlah manusia akan bertambah bersamaan dengan bertambahnya kendaraan pribadi. Memang jumlah jalan bertambah dengan dibangunnya jalan layang, akan tetapi solusi utama untuk mengurai kepadatan manusianya belum ada.

Makanya, solusi satu-satunya yang dapat mengurai kemacetan lalu lintas Kota Bandung adalah memperbaiki transportasi publik yang layak pakai. Selama ini, transportasi pubik Kota Bandung masih kurang, begitu juga kelayakan dan kenyamanannya. Banyak fasilitas penunjang seperti halte-halte yang terbengkalai, maraknya premanisme, dan lainnya.

“Akses angkutan umum juga harus diperbanyak rutenya, penambahan jenis angkutan umum juga perlu dilakukan. Karena itu kunci utama mengurai pergerakan manusia bukan sekadar mengurai kendaraan. Kalau Pemkot berkeinginan dan mulai punya kesadaran bahwa mengurai kemacetan sebenarnya mengurai pergerakan manusia bukan cuma kendaraan, dengan memperbaiki fasilitas angkutan umum dan menambah akses, bukan gak mungkin Bandung bakal bisa bebas macet. Apalagi Bandung terbilang kota yang punya skala yang pas dan gak gede-gede banget untuk bisa mengaplikasikan akses transportasi umum yang layak,” pungkas Bintang.

Seperti diketahui, Fly Over Kopo resmi difungsikan per 1 Oktober 2022 lalu. Jalan layang sepanjang 1,3 kilometer ini diharapkan mampu mengurai kemacetan yang terjadi di kawasan perempatan Cibaduyut-Soekarno Hatta dan Jalan Kopo-Soekarno Hatta. Beroperasinya jalan layang ini diklaim mampu mengurai antrean kendaraan di salah satu kantung kemacetan Kota Bandung.

“Berdasarkan data, panjang antrean kendaraan di kaki simpang sebelum adanya fly over ini berkisar di angka 50 sampai 100 meter. Dan setelah uji kelaikan, fly over ini difungsikan, relatif tidak ada antrean kendaraan atau kemacetan di kaki simpang di jam padat kendaraan,” ujar Kepala Bidang Lalu Lintas Dishub Kota Bandung, Khairur Rijal, dalam siaran pers.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//