• Liputan Khusus
  • MEMBEDAH KEMACETAN KOTA BANDUNG #2: Banjir Sepeda Motor

MEMBEDAH KEMACETAN KOTA BANDUNG #2: Banjir Sepeda Motor

Penyebab kemacetan Kota Bandung sudah menjadi rahasia umum, antara lain, tak terbendungnya jumlah kendaraan, mobil maupun sepeda motor.

Situasi lalu lintas di Bundaran Cibiru, Kota Bandung, Kamis (6/5/2021). Bundaran Cibiru salah satu titik kemacetan di Bandung. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Penulis Awla Rajul20 Juli 2022


BandungBergerak.id - Sejumlah sepeda motor berderet di atas trotoar Jalan Banda, Kota Bandung, arah menuju ke Gedung Sate. Yang empunya – para pengemudi ojek online (ojol) – sedang beristirahat di bawah rindang pepohonan, mereka menunggu orderan sambil bermain game ataupun berbincang dengan rekan sejalan.

Lalu lintas Jalan Banda siang itu lancar, berbeda dengan Jalan L.L.R.E. Martadinata yang terbilang cukup padat, sepeda motor dan mobil berlomba di atas Jalan Riau tersebut. Beberapa tahun ke belakang, kemacetan menjadi masalah yang kerap dihadapi oleh masyarakat Bandung. Dalam “Survei Persepsi Masyarakat terhadap Pembangunan Kota Bandung 2019”, kemacetan duduk di peringkat pertama sebagai permasalahan yang paling berat.

Salah satu pengendara ojol, Adit (27), pun mengeluhkan lalu lintas Kota Bandung sejak beberapa tahun ke belakang yang lebih macet. Pria asal Sukajadi yang sudah menggeluti profesi ojol sejak tahun 2015 ini mengaku, kemacetan berdampak besar pada pendapatannya. Kemacetan berefek pada ritme kerjanya.

Namun mau tidak mau, para pengemudi ojol seperti Adit harus “berdamai” dengan kemacetan. Jika ia tak bekerja karena macet, dapur di rumah akan berhenti mengepul.

Biasanya penumpang memilih ojol motor karena ketangkasannya di jalan. Namun di tengah kemacetan, para ojol kadang tak berdaya. Jalan yang macet membuat waktu tempuh lebih lama, akhirnya penumpang lebih memilih jalan kaki jika jarak tempuhnya masih bisa dijangkau dengan jalan kaki.

“Terus kalau menjemput penumpang, jalanan macet kan, kelamaan, di-cancel jadinya. Wah, sering ini mah,” kata Adit, sambil terkekeh, saat ditemui di Jalan Banda, Senin (18/7/2022).

Banjir Sepeda Motor

Penyebab utama kemacetan Kota Bandung adalah tingginya volume kendaraan pribadi baik mobil maupun sepeda motor. Khusus sepeda motor, pertumbuhannya mencatatkan angka mencengangkan.

Menurut Korps Lalu Lintas (Korlantas) Kepolisian RI, berdasarkan data pada 17 Januari 2022, Provinsi Jawa Barat menduduki peringkat ketiga dengan jumlah sepeda motor terbanyak, yaitu sebanyak 15,19 juta unit. Peringkat pertama diduduki DKI Jakarta berjumlah 17,38 juta unit sepeda motor, dan Jawa Tengah peringkat kedua dengan 17,05 juta unit.

Data Korlantas Polri ini berbeda dengan data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2021, tercatat jumlah kendaraan sepeda motor di Jawa Barat sebanyak 12.863.918 unit.

Data dari BPS Kota Bandung menyebutkan lebih detail jumlah kendaraan bermotor jenis sepeda motor dan scooter dalam rentang tahun 2016, 2017, dan 2018. Data berasal dari Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Jawa Barat yang mengelompokkan jumlah kendaraan dari wilayah Kota Bandung I Pajajaran, Kota Bandung II Kawaluyaan, dan Kota Bandung III Soeta, per tahunnya.

Total dari ketiga wilayah tersebut, pada tahun 2016 jumlah kendaraan sepeda motor dan scooter sebanyak 1.251.080 unit. Di tahun 2017 meningkat menjadi 1.328.783 unit, kemudian menurun di tahun 2018 menjadi 1.256.057 unit.

BandungBergerak mencoba mengambil beberapa data penjualan sepeda motor di tiga dealer, yaitu CV. Surya Putra Motor, PT. Berkat Abadi Ujung Berung, dan PT. Jayamandiri Gemasejati. Di CV. Surya Putra Motor, dealer Yamaha Motor Cibiru, rata-rata penjualan perbulannya 180 unit sepeda motor.

Hendar, marketing CV. Surya Putra Motor, menyebutkan bahwa target bulanan pejualan di dealer itu sebanyak 200-an unit. Saat ditemui, Selasa (12/7/2022), Hendar baru saja menjual satu unit motor dan sedang membuat Surat Pemesanan Kendaraan (SPK). Ia membeberkan, dari awal Juli hingga 12 Juli, dealer tersebut sudah laku menjaul 70 unit sepeda motor.

Di PT. Berkat Abadi Ujung Berung, dealer Honda Motor, rata-rata penjualan normalnya sebanyak 150-an unit. Namun belakangan, penjualan menurun di bawah 100 unit. Sales Counter di dealer tersebut, Ica membeberkan bahwa penurunan penjualan terjadi karena tidak adanya stok yang siap dijual. Dari awal Juli hingga 12 Juli, dealer Honda Ujung Berung ini baru laku menjual 30 unit sepeda motor.

Bahkan dari dealer utama di Jawa Barat pun tidak memiliki stoknya. Hal ini disebabkan oleh adanya beberapa bagian motor yang diimpor dari luar negeri, namun negeri pengimpor tersebut sedang berlaku kebijakan lockdown. Akibatnya, banyak konsumen yang harus menunggu (indent) dengan waktu tunggu yang beragam, dua hingga empat bulan lamanya, tergantung tipe sepeda motor.

Di PT. Jayamandiri Gemasejati, dealer JG Motor Yamaha Asia-Afrika rata-rata penjualannya sebanyak 200 unit. Sales Supervisor, Priatna menyebutkan bahwa saat ini sedang pemulihan pascapandemi Covid-19. Sebelum pandemi, penjualan mencapai 250-300 unit per bulannya.

“Lagi pemulihan, kalau rata-rata penjualan 200 unit. Bulan Juni nutup di 259, bulan sebelumnya 220, terbilang sudah normal,” ungkap Priatna, saat ditemui di dealer, Senin (18/7/2022).

Sejak awal Juli hingga 18 Juli, dealer ini laku menjual 62 unit. Namun, banyak konsumen yang sudah melakukan pemesanan, Priatna menunjukkan setumpuk berkas konsumen yang sudah melakukan booking unit, dengan masa indent rata-rata satu hingga dua bulan. Kondisi yang dialami dealer ini sama seperti yang dialami dealer Honda.

Salah satu komponen chip di sepeda motor diimpor dari Shanghai yang kabarnya akan memberlakukan kebijakan lockdown. Karena kabar ini, banyak stok motor yang tidak bisa dilepaskan ke konsumen sebab komponennya yang belum lengkap.

Dari ketiga dealer itu, rata-rata mereka menjual sepeda motor di atas 100 unit normalnya. Hal ini sejalan dengan jumlah kendaraan yang terus bertambah dan membuat lalu lintas di Kota Bandung kian marak dan padat.

Baca Juga: MEMBEDAH KEMACETAN KOTA BANDUNG #1: Kota Kembang Lautan Kendaraan Pribadi
Pengembangan Transportasi Publik di Bandung Membutuhkan Konsistensi
Bukan Hanya Jalan Layang, tapi Juga Layanan Transportasi Publik

Sejumlah kendaraan pribadi memenuhi ruas Jalan Jenderal Amir Mahmud, Kota Cimahi, Rabu (20/7/2022). Kemacetan kendaraan di jalur yang menghubungkan Kota Bandung dan Kota Cimahi ini kerap terjadi di pagi dan sore hari. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)
Sejumlah kendaraan pribadi memenuhi ruas Jalan Jenderal Amir Mahmud, Kota Cimahi, Rabu (20/7/2022). Kemacetan kendaraan di jalur yang menghubungkan Kota Bandung dan Kota Cimahi ini kerap terjadi di pagi dan sore hari. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Banyak Jalan Menuju Macet

Adit, pengemudi ojol dari Sukajadi, mencoba menganalisa penyebab kemacetan yang terjadi di Kota Bandung. Misalnya, fungsi jalan yang berubah-ubah, jalan yang dulunya dua jalur kini hanya satu jalur, seperti di Jalan Sukajadi. Banyak kendaraan yang harus berputar-putar untuk menghindari jalan sejalur sehingga menimbulkan titik-titik baru kemacetan.

“Macet di mana-mana sekarang. Orang dari Jakarta pada ke sini kan, main. Paling ya jalan-jalan tertentulah yang kosong, kebanyakan macet,” kata Adit.

Berdasarkan pengalamannya yang lama hidup di jalan, Adit menguraikan tiga sebab utama yang membuat kondisi lalu lintas Kota Bandung kerap disergap kemacetan. Pertama, parkir sembarangan. Jalanan di Bandung yang sempit, ditambah kendaraan yang parkir di pinggir jalan sembarangan membuat ruas jalan semakin sempit. Ia setuju kalau kendaraan yang parkir sembarangan ditindak tegas.

Sebab kedua, kata Adit, banyak ruas jalan yang dibuat searah. Dan sebab ketiga, volume kendaraan semakin bertambah. Pertambahan jumlah kenaraan inilah yang menurutnya menjadi sebab utama kemacetan di Kota Bandung.

“Tapi yang paling penting yang paling berpengaruh mah kendaraannya yang terlalu banyak, intinya itu sih,” pungkasnya.

Beberapa jalan yang sering ditemuinya macet, antara lain, Cihampelas, Sukajadi, Pasteur, dan , daerah-daerah pariwisata. Kemacetan bagi pengemudi ojol menjadi kendala tersendiri. Apalagi di akhir pekan, membuat mereka menjadi malas “narik”.

Pada akhir pekan, waktu tempuh untuk mengantar penumpang yang menuju jarak sejauh 3 kilometer bisa menghabiskan waktu setengah jam atau lebih. Padahal pada hari biasa hanya menghabiskan waktu sekitar 10 menit. Banyaknya kendaraan pribadi dari luar Bandung yang hendak berwisata membuat arus lalu lintas padat. Sebab biasanya para wisatawan berwisata dengan kendaraan pribadi.

Beda cerita dengan Robby Darmawan, pegawai di salah satu instansi pemerintah Kota Bandung. Ia tinggal di Tanjungsari, Kabupaten Sumedang. Ia menempuh waktu selama satu jam setengah untuk sampai di kantornya, berangkat dari rumah pukul 6.30 pagi. Dalam perjalanannya berangkat kerja, ia sering menghadapi kemacetan di wilayah Cileunyi, Cinunuk, dan Cibiru.

“Kalau enggak ada anak sekolah enggak terlalu macet. Kalau ada anak sekolah lumayanlah macetnya. Kalau dari Sumedang itu dari Cileunyi, Cinunuk itu udah macet, parah sih. Kalau di Soekarno-Hatta itu macet sih, tapi gak terlalu parah banget,” ungkap Robby saat dihubungi BandungBergerak, Selasa (19/7/2022).

Robby sendiri lebih memilih melalui jalan Soekarno-Hatta daripada melalui jalan A.H. Nasution. Waktu tempuh melalui A.H. Nasution bisa jadi lebih lama sebab banyak persimpangan jalan yang bisa menimbulkan kemacetan. Berbeda dengan Jalan Soekarno-Hatta, meski cukup padat namun dinilai lancar. Aksesnya pun lebih mudah dari Bundaran Cibiru lalu lurus menuju pusat Kota Bandung.

Saat pulang kerja, ia biasa menghadapi kemacetan di Jalan Ahmad Yani yang terjadi karena jam pulang kerja. Robby mengatakan, lalu lintas di pusat kota Bandung sendiri tidak terlalu macet jika dibandingkan wilayah pinggiran kota Bandung, misalnya Cibiru. Sebab, kawasan Bandung Timur ini merupakan satu-satunya jalan dari dan ke arah Sumedang dan Garut dengan jalanan yang sempit, bergelombang, dan banyak persimpangan.

Pada hari kerja kondisi jalanan di pinggiran Kota Bandung memang sering macet karena banyaknya persimpangan jalan. Berbeda dengan jalanan di pusat kota maupun sentra pariwisata yang macet di akhir pekan karena pengunjung yang datang dari luar kota untuk berwisata. Banyaknya persimpangan jalan ini menurut Robby menciptakan titik-titik kemacetan. Hal ini terjadi karena banyak kendaraan dari jalan-jalan kecil yang mau masuk ke jalan raya maupun sebaliknya.

“Kebanyakan kemacetan itu di pinggiran, kalau daerah pusat kota mah gak terlalu macet sebenarnya. Paling macet weekend karena wisatawan dari luar kota. Kalau hari biasa itu di daerah pinggiran banyak simpangan-simpangan, itu yang bikin macet,” tuturnya.

Robby juga sepakat bahwa meningkatnya kemacetan terkait dengan terus bertambahnya jumlah kendaraan.

Sejumlah kendaraan pribadi memenuhi ruas Jalan Jenderal Amir Mahmud, Kota Cimahi, Rabu (20/7/2022). Kemacetan kendaraan di jalur yang menghubungkan Kota Bandung dan Kota Cimahi ini kerap terjadi di pagi dan sore hari. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)
Sejumlah kendaraan pribadi memenuhi ruas Jalan Jenderal Amir Mahmud, Kota Cimahi, Rabu (20/7/2022). Kemacetan kendaraan di jalur yang menghubungkan Kota Bandung dan Kota Cimahi ini kerap terjadi di pagi dan sore hari. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Persimpangan Pak Ogah

Jumlah kendaraan motor yang terus tumbuh dengan ruas jalan yang sempit dan kecil membuat kemacetan di Kota Bandung tak terelakkan. Menurut Adit, membatasi jumlah kendaraan dan melebarkan jalan merupakan solusi yang tepat.

Menurut Adit, setiap rumah kini pastinya memiliki sepeda motor, bahkan anak SMP sendiri sudah memilikinya. Ditambah lagi dengan kemudahan memiliki motor dengan mengajukan kredit. Dengan jalan yang sempit, tidak akan cukup menampung jumlah kendaraan yang terus tumbuh.

Ia pun meminta agar jalanan di kota Bandung sebaiknya diperlebar, dengan tetap menyisakan trotoar untuk pejalan kaki. Harapannya, dengan jumlah penambahan kendaraan bermotor yang dibatasi dan ruas jalan menjadi lebih lebar, kemacetan di Kota Bandung bisa berkurang.

“Yang paling penting juga, jalan juga agak dilebarin. Jalan di Bandung kan kecil ya, disisain saja buat pejalan kaki. Jalan di Bandung kecil-kecil, dengan debit kendaraan yang banyak jadinya enggak seimbang, gitu,” tandasnya yang duduk di atas motor.

Jalan Cileunyi, Cinunuk, Bundaran Cibiru cukup padat. Dengan jalanan yang terbilang sempit, banyak persimpangan dan beberapa tempat bergelombang. Di setiap persimpangan ada calo jalan atau Pak Ogah yang mengatur jalan.

Keberadaan Pak Ogah menurut Robby memiliki dampak baik dan buruk tersendiri. Namun Robby berharap pengaturan lalu lintas diurus secara langsung oleh pihak yang berwenang, yaitu polisi lalu lintas maupun pihak lainnya.

Meski demikian, kehadiran Pak Ogah sendiri cukup membantu dalam mengurai arus keluar-masuk di persimpangan. Pekerjaan tersebut juga cukup memberikan pemasukan pada Pak Ogah di tengah sulitnya lapangan pekerjaan.

Robby mengusulkan pentingnya memberikan sosialisasi dan edukasi bagi Pak Ogah terhadap pengelolaan lalu lintas. Sebab, jika Pak Ogahnya sendiri tidak benar dan tidak telaten dalam mengatur jalan, situasi lalu lintas malah bisa menjadi semakin macet.

“Harusnya yang lebih aktif itu pihak kepolisian atau pihak lain yang terkaitlah, dia kan lebih paham untuk mengatur lalu lintas. Tapi, adanya pak Ogah sedikit banyaknya membantu, walaupun kenyataannya kalau pak Ogahnya gak benar macet juga. Ya minimal mereka dikasih edukasi, mereka menjadikan itu mata pencaharian juga kan. Ya harusnya mereka dirangkullah, diedukasi gimana mengatur lalu lintas yang baik dan benar gitu, supaya gak macet,” papar Robby.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//